Hari telah beranjak senja, sudah saatnya aku pulang. Kukayuh
sepedaku melewati jalanan yang lumayan ramai itu. Wajar saja, jam pulang kerja.
Tak mengherankan jika berbagai macam jenis kendaraan akan memenuhi ruas jalan. Kuputuskan
untuk mengambil jalan memutar. Agak jauh memang, tapi aku yakin akan lebih
cepat sampai daripada harus bersimbah peluh di antara kemacetan. Satu hal yang
sebenarnya membuatku enggan melewati jalan setapak memutar ini karena jalan ini
sangat sepi dan jarang dilewati orang. Terlebih rimbun semak dan pepohoan di
kanan kiri jalan akan menemani 80% perjalanan yang makin membuat kesan angker
ketika matahari terbenam. Aku harus bergegas karena rintik hujan mulai turun.
Hari mulai gelap saat aku masih menempuh kurang dari setengah perjalanan. Namun tiba-tiba aku merasakan
ada yang tidak beres pada sepedaku. Aku turun dan kuperiksa. Tepat. Banku bocor.
Sial. Di tengah hujan seperti ini. Di tengah jalan semi gelap seperti ini.
Sambil berdecak kesal aku menuntun sepedaku. Terlalu berbahaya jika aku tetap
menaikinya di kondisi seperti ini. Dengan perasaan kesal namun agak takut aku
melanjutkan perjalananku. Harapanku untuk sampai di rumah lebih cepat buyar
seketika. Rasa ketar-ketir menghantui pikiranku. Gelap dan hujan. Lampu penerangan
seadanya berjarak lumayan jauh satu dengan yang lainnya sama sekali tidak
membantu. Aku mencoba bersenandung untuk sekedar menghibur hati dan mengurangi
ketakutan dan kekhawatiranku. Namun tiba-tiba rasa nyeri terasa di bagian
belakang leherku dan semuanya gelap seketika.
Saat sadar dan membuka mata, semua masih gelap. Tapi aku
merasa ini bukan di pinggir jalan, tetapi dalam sebuah ruangan. Aku terbaring
pada semacam dipan kayu. Aku mencoba bangkit dan kurasakan bagian belakang
leherku masih sakit. Ada apa sebenarnya denganku? Belum sempat terjawab
pertanyaan itu aku dikejutkan oleh sebuah suara. Suara seorang wanita.
“Sudah sadar rupanya. Tadi kau kutemukan tergeletak tak sadarkan
diri di pinggir jalan, jadi kubawa kau ke pondok kecilku ini. Sebenarnya kau
kenapa?” karena gelap gulita aku tidak tahu di mana orang yang berbicara itu. Namun
dari arah suaranya, aku menebak dia ada di sebelah kananku.
“Aku tak tahu, tiba-tiba leher belakangku sakit dan aku tak
sadarkan diri” jawabku.
“Minumlah ini, kau akan segera baikan” kucium aroma coklat. Tapi
aku tidak tahu di mana posisi tempat minum yang dia berikan padaku.
“Maaf, tempat ini terlalu gelap. Aku tak bisa melihat
apapun.” kataku. Lalu kedengar wanita itu tertawa kecil.
“Hahaha.. maaf, maaf.. karena aku suka dan sudah biasa
dengan kegelapan jadi aku sering lupa kalau tamuku berbeda denganku. Sebentar.”
Kedengar dia beranjak dari tempat duduknya. Sangat mengherankan bagiku dia bisa
bergerak bebas di kegelapan ini. Kemudian dia menyalakan sesuatu. Mungkin lilin.
Dia meletakkan lilin itu di depanku. Bentuknya unik. Sebuah tulang tangan kanan
dengan jari tengah menjulang ke atas. Unik sekali, seolah jari tersebut
mengeluarkan api. Aku sekarang jadi lebih bisa melihat keadaan sekitar. Dan wanita
itu ternyata di luar dugaan cukup cantik. Kutaksir umurnya sekitar awal 30an
dengan rambut dikuncir kuda.
“Minumlah. Sekarang sudah kelihatan, kan?” tawarnya sekali
lagi sambil tersenyum simpul yang membuatnya makin terlihat cantik.
“Ah.. eh.. i.. iya.. terima kasih” sambil tergagap aku
menyeruput cokelat hangat yang tersaji di hadapanku itu. Rasanya enak, meskipun
sedikit aneh. Kulihat wanita itu beranjak lagi. Mataku spontan mengikuti ke mana
wanita itu berjalan. Dia mengambil sesuatu. Seperti mangkuk, kemudian dia membuka
tutup panci.
“Kebetulan tadi aku memasak agak banyak.” Dia berkata sambil
menyalakan kompor. Memanaskan sesuatu yang ada di dalam panci. Tak berapa lama
dia matikan dan dia tuangkan isi panci tersebut ke dalam mangkuk. Dia berjalan
lagi ke arahku dan menyodorkan mangkuk tersebut.
“Makanlah selagi hangat.” Dengan agak malu-malu kucing kuterima
mangkuk itu dan kemudian aku mulai menyuapkan isi mangkuk yang ternyata adalah
sup daging ke dalam mulutku. Enak. Gurih sekali. Dagingnya juga lembut. Wanita ini
sangat ahli memasak. Perutku yang memang keroncongan karena belum makan malam
kini tidak lagi menjerit.
Setelah berterima kasih, aku mencoba mengakrabkan diri di
malam yang dingin di tengah hujan deras di luar pondok. Ternyata dia adalah
seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal 5 tahun lalu, sementara anaknya meninggal
setahun setelahnya. Dia bekerja sebagai pengrajin sekaligus kolektor benda
antik. Dia berkata bahwa ruang kerja dan ruang koleksinya ada di lantai 2. Aku mulai
memahaminya karena di lantai 1 ini sama sekali tidak ada benda berbau antik,
kecuali lilin tadi.
Kemudian dia berkata bahwa dia akan keluar sebentar untuk
membeli sesuatu dan menyuruhku untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda. Aku
mengangguk setuju. Aku mencoba membaringkan diriku lagi di dipan kayu tadi. Mencoba
memejamkan mata sejenak. Rasa kantuk mulai menyerangku. Tapi tiba-tiba ada
sesuatu yang menetes ke dahiku dari langit-langit. Sontak aku membuka mataku
lagi. Kuseka tetesan tadi, namun aku heran karena warnanya yang gelap. Ini bukan
air yang merembes dari langit-langit. Lebih kental. Dan berwarna agak gelap. Sekali
lagi ada tetesan yang jatuh. Kuseka lagi dan kucoba untuk mencium baunya. Anyir.
Seperti bau.... darah? Satu lagi tetesan jatuh. Benarkah ini darah? Mengapa bisa
merembes di langit-langit? Apa mungkin langit-langitnya ada yang berlubang? Mungkin.
tapi kenapa darah? Rasa penasaran memenuhi pikiranku.
Sambil menelan ludah akhirnya aku memutuskan untuk mencoba
mencari tau. Kubawa lilin unik tadi dan menuju ke lantai 2. Kunaiki anak tangga
perlahan-lahan. Namun saat aku mencapai lantai dua kaki kananku terantuk anak
tangga terakhir sehingga aku terjerembab. Lilin itu terjatuh, tapi untungnya
tidak mati. Kucoba bangkit sambil tanganku menahan badan di dinding, namun aku
merasakan keanehan karena yang kurasakan di telapak tanganku bukan dinding. Lebih
halus. Kuambil lilin tadi dan kuarahkan ke dinding. Ya. Ini bukan kayu. Mungkin
tembok biasa namun dilapisi sesuatu. Kuamati dari jarak lebih dekat. Ini...
tekstur ini... seperti kulit. Ya, sepertinya memang kulit, tapi aku tak yakin. Tapi
bukan kulit reptil karena seperti yang kubilang tadi, lebih halus.
Kuarahkan lilin lebih ke atas. Dinding berlapis sesuatu yang
kuyakini adalah kulit tersebut ternyata bertuliskan sesuatu. Kucoba mengeja tulisan
tersebut. Patrick. Patrick? Nama orang? Sekitar setengah meter dari tulisan
Patrick ternyata ada tulisan lain. Kali ini Lisa. Nama tokoh favorit wanita itu?
Di sebelah Lisa ada tulisan lain. Kali ini Papa. Sebelahnya lagi My Honey. Sebelahnya
lagi My Sweety. Sebelahnya lagi Mama. Sebelahnya lagi My Sista. Sekitar satu meter
di atas nama-nama itu masih ada nama-nama lain yang tak jelas kulihat. Apa ini?
Anggota keluarganya? Silsilah keluarganya? Atau jangan-jangan nama itu
menunjukkan... ah tidak. Tidak mungkin. Aku menepis pikiranku tentang kemungkinan
itu.
Kini aku berada di depan pintu bertuliskan “Storage”. Tempat
penyimpanan? Penyimpanan apa? Bahan makanan kah? Kupegang gagang pintunya,
kuputar, dan terbuka! Tidak dikunci. Aku mengintip ke dalam. Gelap. Aku mencoba
masuk ke dalam dengan mengarahkan lilin di tangan kiriku ke seluruh penjuru
ruangan. Terlihat ada beberapa lemari pendingin mirip tempat yang digunakan
untuk menyimpan ice cream di supermarket. Kuhitung ada 7 buah. Kudekati lemari
di pojok kiri ruangan. Kulihat lemari pendingin itu bertuliskan Monday. Aku bergeser
melihat yang lain. Berurutan membentuk huruf U mengikuti bentuk ruangan lemari
pendingin itu bertuliskan Monday sampai Sunday. Agak takut-takut aku membuka
lemari pendingin bertuliskan Tuesday, hari ini. Dan yang kulihat di dalamnya mengingatkanku
pada pelajaran biologi mengenai organ tubuh manusia. Ada paru-paru, jantung,hati,
daging dsb yang kesemuanya beku dan berplastik. Mirip seperti yang dijual di
supermatket. Jangan-jangan tadi.... Aku mulai mual. Aku segera beranjak keluar.
Apakah aku harus segera pergi dari pondok ini? Tapi masih
banyak hal yang mengganjal di pikiranku. Aku segera menuju ruangan lain. Kali ini
pintunya bertuliskan “My Collection”. Sama seperti ruangan sebelumnya, ruangan
ini tak dikunci. Dan pemandangan yang terhampar di hadapanku adalah berbagai
macam tulang belulang mulai tengkorak, tulang rusuk, tulang belakang, tulang
tangan, tulang kaki dsb. Kesemuanya berlapis lilin. Kemudian di sudut ruangan
terdapat lemari kaca. Saat kudekati aku sangat terkejut karena isinya berupa
otak, dan organ pembeda pria dan wanita. Keterkejutanku berlanjut karena di
antara pajangan di bagian depan ada otak dengan nama yang tadi kutemukan di
dinding, Lisa. Di bagian bawah lemari ada yang bertuliskan Papa. Kucoba melihat
pajangan tulang kaki. Kulihat bagian bawah penyangganya. My Bro. Aku menelan
ludah. Jangan-jangan lilin yang kubawa ini.... Tanganku semakin gemetar. Tapi aku
tak berani melihat nama di lilin tangan kanan itu maupun melepaskan lilin
tersebut.
Kulahkankan kakiku keluar dan menuju ruangan bertuliskan “My
Office” yang menurut perkiraanku berada tepat di atas tempatku tidur tadi. Dengan
kata lain, tempat tetesan yang menurutku darah berasal. Saat kubuka, bau anyir
menyengat menyeruak. Segera kututup hidungku dengan tangan kananku. Dan keterkejutanku
kali ini jauh melebihi ketika melihat pemandangan di kedua ruangan sebelumnya. Karena
yang kulihat adalah kesadisan total. Di sebelah kiri ada mayat yang tak
kukenali pria atau wanita tanpa lengan yang telah dikuliti dan digantung
terbalik dengan organ dalam yang sudah kosong. Namun jika kuamati lebih dekat,
dengan bekas sayatan di dada mayat itu, kemungkinan besar itu mayat wanita. Di sebelah
kanannya ada meja yang membuktikan pemikiranku itu. Ada organ khas wanita yang
dijajarkan, ada pula dua lengan yang salah satunya separuh bagiannya tinggal
tulang, dan ada pula benda mirip kain yang ternyata adalah kulit. Aku pusing,
mual melihat semua hal yang tidak mengenakkan itu. Di sebelah kanan ruangan
terdapat tabung kaca berisi cairan berwarna pekat yang ternyata agak bocor di
bagian bawah yang menjawab pertanyaanku mengenai tetasan tadi. Dari baunya yang
bisa memaksa semua isi perutku keluar ini aku yakin cairan ini benar-benar
darah.
Semakin pusing aku dan karena tidak tahan lagi aku muntah di
ruangan itu. Aku telah terjebak di tempat yang mengerikan. Seorang wanita sadis
yang menganggap perbuatannya itu merupakan karya seni yang dikoleksi. Pengrajin
mayat. Dan aku juga yakin bahwa dia yang menjadikan korban-korbannya menjadi
mayat. Entah sudah berapa orang yang menjadi korbannya. Gawat! Aku harus segera
pergi dari si.... Belum selesai aku berpikir untuk kabur aku merasakan nyeri
dan sakit yang amat sangat di bagian perutku. Mulutku juga memuntahkan darah. Saat
kulihat, ternyata perutku tertembus benda besi. Dengan gemetar kupegang benda yang
membuat ususku terburai itu. Ini.... linggis? Begitu pikiranku bertanya.
Belum juga pertanyaan itu terjawab benda itu dicabut paksa
dari perutku yang membuatku terjatuh ke belakang. Dengan cahaya redup lilin
yang terjatuh kulihat wanita cantik sadis itu tersenyum padaku.
“Seingatku aku menyuruhmu untuk beristirahat, bukan untuk
berjalan mengelilingi ruang kerjaku” aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Aku hanya mengerang menahan sakit di perutku.
“Sebenarnya aku ingin membuatmu tidur dengan nyaman dengan
kondisi badan yang sempurna. Tapi sayangnya, aku terlanjur emosi karena aku
benci kepada orang yang mengintip sembarangan.” Lanjutnya dengan sedikit
menyesal.
“Yah, tapi bagaimanapun, kau akan menjadi bagian koleksiku. Kau
yang ke-33!! Akhirnya setelah seminggu aku akan menambah jumlah koleksiku lagi.
Ups... aku lupa aku harus menyelesaikan karya perempuan jalang yang merebut
pacarku itu dulu. Jadi maaf ya... kau harus sabar menunggu dulu...” katanya
sambil tersenyum manis. Terlalu manis untuk seseorang yang sadis.
Kata-katanya
selanjutnya mulai lirih terdengar di telingaku. Mungkin ini akhir dari hidupku.
Ah, ya... sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, aku ingatkan kalian. Hati-hati
ketika melewati jalan setapak sepi yang rimbun kanan kiri dan minim penerangan.
Perhatikan pula daging yang kalian makan, jika terlalu enak mungkin itu daging
yang sama dengan yang kumakan tadi. Aku yakin kalian mengerti maksudku. Ah,
kesadaranku menipis, yang samar-samar kulihat untuk terakhir kalinya adalah
tangan wanita itu memegang catut dan dia mengarahkannya ke mataku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar