"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Minggu, 30 November 2014

Dia Yang Sedang Berjalan

          Dengan langkah ringan dia menyusuri tepi pantai di kala senja menyapa. Tercetak jelas di atas pasir basah jejak kakinya. Kedua tangan dipendamnya dalam-dalam di saku jaketnya, menahan udara yang mulai menurunkan derajatnya menjelang malam. Dingin yang sedikit demi sedikit menusuk tipis kulitnya mungkin hanya akan semakin membekukan hatinya. Hati yang tak lagi menanti. Hati yang tak lagi merindu. Hati yang tak lagi mencinta. Hati yang mungkin sudah lelah dengan semua sandiwara rasa. Hati yang ingin sendiri.
          Dia terus melangkah menambah jumlah jejak ke depan, sementara jejak di belakangnya mulai menipis tersapu ombak, dan perlahan lenyap. Jejaknya kembali menjadi hamparan pasir basah yang rata. Sambil meresapi udara mengisi rongga dadanya yang masih sesak, dalam hatinya dia berharap secara bertahap dia mampu seperti kisah jejak pasirnya, terus melangkah ke depan sambil menghapus pahit masa lalu yang membayangi. Menghapus hingga tak tersisa rupa bentuknya, kecuali sebentuk kenangan pengantar bening masa depan. Kenangan yang tidak menenggelamkannya pada kisah yang telah usai, namun kenangan yang menjadi penempa jiwanya lebih kuat menyongsong realitas jelas di depan mata. Bukan kenangan yang akan menarik mundurkan perjalanan, namun kenangan yang mendorong punggung biar dada gagah membusung buktikan kemampuan. Memaafkan masa lalu untuk membuka lembaran-lembaran baru. Tak perlu hapuskan ingatan, cukup jadikan pelajaran. Biarkan mengalir apa adanya. Tanpa dipaksa. Seperti saat ini, dia belajar untuk itu, meski perih dan butuh waktu. Meski lelah berpeluh menusuk pembuluh. Biar.
          Seperti saat ini, dia hanya perlu terus berpindah titik. Bergerak maju, tidak jalan di tempat karena waktu tidak akan menunggu. Dengan kejam dia akan meninggalkan jiwa yang terbungkam masa silam. Dengan kejam dia akan menjadi guru sambil berlalu dan selalu membisu. Hanya dengan kepekaan terasa tegurannya. Pahit mungkin, tapi layaknya obat dia akan menjadi penyembuh, bukan pelumpuh. Dia melangkah perlahan. Tak apa. Ada kabut di matanya. Biarkan. Ada butiran yang merebak membasahi pipinya, menyekat tenggorokannya. Jangan ditahan. Relakan. Belajar tentang keikhlasan memang tak semudah ucapan. Dia belajar melalui keadaan. Dia berguru dari pengalaman. Biarkan dia menuntut ilmu, bukan dari formalnya seragam dan bangku kayu. Dia sedang rapuh saat ini tapi tidak untuk nanti. Dia hanya perlu berjalan beriring dengan waktu, membuka tirai misteri baru yang akan membuat senyuman berlagu, derai tawa bernada bahagia. Dia hanya perlu berjalan untuk menemukan, mungkin belum saat ini, di sini, mungkin nanti di masa depan yang harus dia sibak sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar