"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Sabtu, 27 Desember 2014

Terjebak



Hari telah beranjak senja, sudah saatnya aku pulang. Kukayuh sepedaku melewati jalanan yang lumayan ramai itu. Wajar saja, jam pulang kerja. Tak mengherankan jika berbagai macam jenis kendaraan akan memenuhi ruas jalan. Kuputuskan untuk mengambil jalan memutar. Agak jauh memang, tapi aku yakin akan lebih cepat sampai daripada harus bersimbah peluh di antara kemacetan. Satu hal yang sebenarnya membuatku enggan melewati jalan setapak memutar ini karena jalan ini sangat sepi dan jarang dilewati orang. Terlebih rimbun semak dan pepohoan di kanan kiri jalan akan menemani 80% perjalanan yang makin membuat kesan angker ketika matahari terbenam. Aku harus bergegas karena rintik hujan mulai turun. 

Hari mulai gelap saat aku masih menempuh kurang dari  setengah perjalanan. Namun tiba-tiba aku merasakan ada yang tidak beres pada sepedaku. Aku turun dan kuperiksa. Tepat. Banku bocor. Sial. Di tengah hujan seperti ini. Di tengah jalan semi gelap seperti ini. Sambil berdecak kesal aku menuntun sepedaku. Terlalu berbahaya jika aku tetap menaikinya di kondisi seperti ini. Dengan perasaan kesal namun agak takut aku melanjutkan perjalananku. Harapanku untuk sampai di rumah lebih cepat buyar seketika. Rasa ketar-ketir menghantui pikiranku. Gelap dan hujan. Lampu penerangan seadanya berjarak lumayan jauh satu dengan yang lainnya sama sekali tidak membantu. Aku mencoba bersenandung untuk sekedar menghibur hati dan mengurangi ketakutan dan kekhawatiranku. Namun tiba-tiba rasa nyeri terasa di bagian belakang leherku dan semuanya gelap seketika.

Saat sadar dan membuka mata, semua masih gelap. Tapi aku merasa ini bukan di pinggir jalan, tetapi dalam sebuah ruangan. Aku terbaring pada semacam dipan kayu. Aku mencoba bangkit dan kurasakan bagian belakang leherku masih sakit. Ada apa sebenarnya denganku? Belum sempat terjawab pertanyaan itu aku dikejutkan oleh sebuah suara. Suara seorang wanita.

“Sudah sadar rupanya. Tadi kau kutemukan tergeletak tak sadarkan diri di pinggir jalan, jadi kubawa kau ke pondok kecilku ini. Sebenarnya kau kenapa?” karena gelap gulita aku tidak tahu di mana orang yang berbicara itu. Namun dari arah suaranya, aku menebak dia ada di sebelah kananku.

“Aku tak tahu, tiba-tiba leher belakangku sakit dan aku tak sadarkan diri” jawabku.

“Minumlah ini, kau akan segera baikan” kucium aroma coklat. Tapi aku tidak tahu di mana posisi tempat minum yang dia berikan padaku.

“Maaf, tempat ini terlalu gelap. Aku tak bisa melihat apapun.” kataku. Lalu kedengar wanita itu tertawa kecil.

“Hahaha.. maaf, maaf.. karena aku suka dan sudah biasa dengan kegelapan jadi aku sering lupa kalau tamuku berbeda denganku. Sebentar.” Kedengar dia beranjak dari tempat duduknya. Sangat mengherankan bagiku dia bisa bergerak bebas di kegelapan ini. Kemudian dia menyalakan sesuatu. Mungkin lilin. Dia meletakkan lilin itu di depanku. Bentuknya unik. Sebuah tulang tangan kanan dengan jari tengah menjulang ke atas. Unik sekali, seolah jari tersebut mengeluarkan api. Aku sekarang jadi lebih bisa melihat keadaan sekitar. Dan wanita itu ternyata di luar dugaan cukup cantik. Kutaksir umurnya sekitar awal 30an dengan rambut dikuncir kuda.

“Minumlah. Sekarang sudah kelihatan, kan?” tawarnya sekali lagi sambil tersenyum simpul yang membuatnya makin terlihat cantik.

“Ah.. eh.. i.. iya.. terima kasih” sambil tergagap aku menyeruput cokelat hangat yang tersaji di hadapanku itu. Rasanya enak, meskipun sedikit aneh. Kulihat wanita itu beranjak lagi. Mataku spontan mengikuti ke mana wanita itu berjalan. Dia mengambil sesuatu. Seperti mangkuk, kemudian dia membuka tutup panci.

“Kebetulan tadi aku memasak agak banyak.” Dia berkata sambil menyalakan kompor. Memanaskan sesuatu yang ada di dalam panci. Tak berapa lama dia matikan dan dia tuangkan isi panci tersebut ke dalam mangkuk. Dia berjalan lagi ke arahku dan menyodorkan mangkuk tersebut.

“Makanlah selagi hangat.” Dengan agak malu-malu kucing kuterima mangkuk itu dan kemudian aku mulai menyuapkan isi mangkuk yang ternyata adalah sup daging ke dalam mulutku. Enak. Gurih sekali. Dagingnya juga lembut. Wanita ini sangat ahli memasak. Perutku yang memang keroncongan karena belum makan malam kini tidak lagi menjerit.

Setelah berterima kasih, aku mencoba mengakrabkan diri di malam yang dingin di tengah hujan deras di luar pondok. Ternyata dia adalah seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal 5 tahun lalu, sementara anaknya meninggal setahun setelahnya. Dia bekerja sebagai pengrajin sekaligus kolektor benda antik. Dia berkata bahwa ruang kerja dan ruang koleksinya ada di lantai 2. Aku mulai memahaminya karena di lantai 1 ini sama sekali tidak ada benda berbau antik, kecuali lilin tadi.

Kemudian dia berkata bahwa dia akan keluar sebentar untuk membeli sesuatu dan menyuruhku untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda. Aku mengangguk setuju. Aku mencoba membaringkan diriku lagi di dipan kayu tadi. Mencoba memejamkan mata sejenak. Rasa kantuk mulai menyerangku. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menetes ke dahiku dari langit-langit. Sontak aku membuka mataku lagi. Kuseka tetesan tadi, namun aku heran karena warnanya yang gelap. Ini bukan air yang merembes dari langit-langit. Lebih kental. Dan berwarna agak gelap. Sekali lagi ada tetesan yang jatuh. Kuseka lagi dan kucoba untuk mencium baunya. Anyir. Seperti bau.... darah? Satu lagi tetesan jatuh. Benarkah ini darah? Mengapa bisa merembes di langit-langit? Apa mungkin langit-langitnya ada yang berlubang? Mungkin. tapi kenapa darah? Rasa penasaran memenuhi pikiranku.

Sambil menelan ludah akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mencari tau. Kubawa lilin unik tadi dan menuju ke lantai 2. Kunaiki anak tangga perlahan-lahan. Namun saat aku mencapai lantai dua kaki kananku terantuk anak tangga terakhir sehingga aku terjerembab. Lilin itu terjatuh, tapi untungnya tidak mati. Kucoba bangkit sambil tanganku menahan badan di dinding, namun aku merasakan keanehan karena yang kurasakan di telapak tanganku bukan dinding. Lebih halus. Kuambil lilin tadi dan kuarahkan ke dinding. Ya. Ini bukan kayu. Mungkin tembok biasa namun dilapisi sesuatu. Kuamati dari jarak lebih dekat. Ini... tekstur ini... seperti kulit. Ya, sepertinya memang kulit, tapi aku tak yakin. Tapi bukan kulit reptil karena seperti yang kubilang tadi, lebih halus.

Kuarahkan lilin lebih ke atas. Dinding berlapis sesuatu yang kuyakini adalah kulit tersebut ternyata bertuliskan sesuatu. Kucoba mengeja tulisan tersebut. Patrick. Patrick? Nama orang? Sekitar setengah meter dari tulisan Patrick ternyata ada tulisan lain. Kali ini Lisa. Nama tokoh favorit wanita itu? Di sebelah Lisa ada tulisan lain. Kali ini Papa. Sebelahnya lagi My Honey. Sebelahnya lagi My Sweety. Sebelahnya lagi Mama. Sebelahnya lagi My Sista. Sekitar satu meter di atas nama-nama itu masih ada nama-nama lain yang tak jelas kulihat. Apa ini? Anggota keluarganya? Silsilah keluarganya? Atau jangan-jangan nama itu menunjukkan... ah tidak. Tidak mungkin. Aku menepis pikiranku tentang kemungkinan itu.

Kini aku berada di depan pintu bertuliskan “Storage”. Tempat penyimpanan? Penyimpanan apa? Bahan makanan kah? Kupegang gagang pintunya, kuputar, dan terbuka! Tidak dikunci. Aku mengintip ke dalam. Gelap. Aku mencoba masuk ke dalam dengan mengarahkan lilin di tangan kiriku ke seluruh penjuru ruangan. Terlihat ada beberapa lemari pendingin mirip tempat yang digunakan untuk menyimpan ice cream di supermarket. Kuhitung ada 7 buah. Kudekati lemari di pojok kiri ruangan. Kulihat lemari pendingin itu bertuliskan Monday. Aku bergeser melihat yang lain. Berurutan membentuk huruf U mengikuti bentuk ruangan lemari pendingin itu bertuliskan Monday sampai Sunday. Agak takut-takut aku membuka lemari pendingin bertuliskan Tuesday, hari ini. Dan yang kulihat di dalamnya mengingatkanku pada pelajaran biologi mengenai organ tubuh manusia. Ada paru-paru, jantung,hati, daging dsb yang kesemuanya beku dan berplastik. Mirip seperti yang dijual di supermatket. Jangan-jangan tadi.... Aku mulai mual. Aku segera beranjak keluar.

Apakah aku harus segera pergi dari pondok ini? Tapi masih banyak hal yang mengganjal di pikiranku. Aku segera menuju ruangan lain. Kali ini pintunya bertuliskan “My Collection”. Sama seperti ruangan sebelumnya, ruangan ini tak dikunci. Dan pemandangan yang terhampar di hadapanku adalah berbagai macam tulang belulang mulai tengkorak, tulang rusuk, tulang belakang, tulang tangan, tulang kaki dsb. Kesemuanya berlapis lilin. Kemudian di sudut ruangan terdapat lemari kaca. Saat kudekati aku sangat terkejut karena isinya berupa otak, dan organ pembeda pria dan wanita. Keterkejutanku berlanjut karena di antara pajangan di bagian depan ada otak dengan nama yang tadi kutemukan di dinding, Lisa. Di bagian bawah lemari ada yang bertuliskan Papa. Kucoba melihat pajangan tulang kaki. Kulihat bagian bawah penyangganya. My Bro. Aku menelan ludah. Jangan-jangan lilin yang kubawa ini.... Tanganku semakin gemetar. Tapi aku tak berani melihat nama di lilin tangan kanan itu maupun melepaskan lilin tersebut.

Kulahkankan kakiku keluar dan menuju ruangan bertuliskan “My Office” yang menurut perkiraanku berada tepat di atas tempatku tidur tadi. Dengan kata lain, tempat tetesan yang menurutku darah berasal. Saat kubuka, bau anyir menyengat menyeruak. Segera kututup hidungku dengan tangan kananku. Dan keterkejutanku kali ini jauh melebihi ketika melihat pemandangan di kedua ruangan sebelumnya. Karena yang kulihat adalah kesadisan total. Di sebelah kiri ada mayat yang tak kukenali pria atau wanita tanpa lengan yang telah dikuliti dan digantung terbalik dengan organ dalam yang sudah kosong. Namun jika kuamati lebih dekat, dengan bekas sayatan di dada mayat itu, kemungkinan besar itu mayat wanita. Di sebelah kanannya ada meja yang membuktikan pemikiranku itu. Ada organ khas wanita yang dijajarkan, ada pula dua lengan yang salah satunya separuh bagiannya tinggal tulang, dan ada pula benda mirip kain yang ternyata adalah kulit. Aku pusing, mual melihat semua hal yang tidak mengenakkan itu. Di sebelah kanan ruangan terdapat tabung kaca berisi cairan berwarna pekat yang ternyata agak bocor di bagian bawah yang menjawab pertanyaanku mengenai tetasan tadi. Dari baunya yang bisa memaksa semua isi perutku keluar ini aku yakin cairan ini benar-benar darah.

Semakin pusing aku dan karena tidak tahan lagi aku muntah di ruangan itu. Aku telah terjebak di tempat yang mengerikan. Seorang wanita sadis yang menganggap perbuatannya itu merupakan karya seni yang dikoleksi. Pengrajin mayat. Dan aku juga yakin bahwa dia yang menjadikan korban-korbannya menjadi mayat. Entah sudah berapa orang yang menjadi korbannya. Gawat! Aku harus segera pergi dari si.... Belum selesai aku berpikir untuk kabur aku merasakan nyeri dan sakit yang amat sangat di bagian perutku. Mulutku juga memuntahkan darah. Saat kulihat, ternyata perutku tertembus benda besi. Dengan gemetar kupegang benda yang membuat ususku terburai itu. Ini.... linggis? Begitu pikiranku bertanya.

Belum juga pertanyaan itu terjawab benda itu dicabut paksa dari perutku yang membuatku terjatuh ke belakang. Dengan cahaya redup lilin yang terjatuh kulihat wanita cantik sadis itu tersenyum padaku.

“Seingatku aku menyuruhmu untuk beristirahat, bukan untuk berjalan mengelilingi ruang kerjaku” aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya mengerang menahan sakit di perutku.

“Sebenarnya aku ingin membuatmu tidur dengan nyaman dengan kondisi badan yang sempurna. Tapi sayangnya, aku terlanjur emosi karena aku benci kepada orang yang mengintip sembarangan.” Lanjutnya dengan sedikit menyesal.

“Yah, tapi bagaimanapun, kau akan menjadi bagian koleksiku. Kau yang ke-33!! Akhirnya setelah seminggu aku akan menambah jumlah koleksiku lagi. Ups... aku lupa aku harus menyelesaikan karya perempuan jalang yang merebut pacarku itu dulu. Jadi maaf ya... kau harus sabar menunggu dulu...” katanya sambil tersenyum manis. Terlalu manis untuk seseorang yang sadis. 

Kata-katanya selanjutnya mulai lirih terdengar di telingaku. Mungkin ini akhir dari hidupku. Ah, ya... sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, aku ingatkan kalian. Hati-hati ketika melewati jalan setapak sepi yang rimbun kanan kiri dan minim penerangan. Perhatikan pula daging yang kalian makan, jika terlalu enak mungkin itu daging yang sama dengan yang kumakan tadi. Aku yakin kalian mengerti maksudku. Ah, kesadaranku menipis, yang samar-samar kulihat untuk terakhir kalinya adalah tangan wanita itu memegang catut dan dia mengarahkannya ke mataku....

Minggu, 30 November 2014

Dia Yang Sedang Berjalan

          Dengan langkah ringan dia menyusuri tepi pantai di kala senja menyapa. Tercetak jelas di atas pasir basah jejak kakinya. Kedua tangan dipendamnya dalam-dalam di saku jaketnya, menahan udara yang mulai menurunkan derajatnya menjelang malam. Dingin yang sedikit demi sedikit menusuk tipis kulitnya mungkin hanya akan semakin membekukan hatinya. Hati yang tak lagi menanti. Hati yang tak lagi merindu. Hati yang tak lagi mencinta. Hati yang mungkin sudah lelah dengan semua sandiwara rasa. Hati yang ingin sendiri.
          Dia terus melangkah menambah jumlah jejak ke depan, sementara jejak di belakangnya mulai menipis tersapu ombak, dan perlahan lenyap. Jejaknya kembali menjadi hamparan pasir basah yang rata. Sambil meresapi udara mengisi rongga dadanya yang masih sesak, dalam hatinya dia berharap secara bertahap dia mampu seperti kisah jejak pasirnya, terus melangkah ke depan sambil menghapus pahit masa lalu yang membayangi. Menghapus hingga tak tersisa rupa bentuknya, kecuali sebentuk kenangan pengantar bening masa depan. Kenangan yang tidak menenggelamkannya pada kisah yang telah usai, namun kenangan yang menjadi penempa jiwanya lebih kuat menyongsong realitas jelas di depan mata. Bukan kenangan yang akan menarik mundurkan perjalanan, namun kenangan yang mendorong punggung biar dada gagah membusung buktikan kemampuan. Memaafkan masa lalu untuk membuka lembaran-lembaran baru. Tak perlu hapuskan ingatan, cukup jadikan pelajaran. Biarkan mengalir apa adanya. Tanpa dipaksa. Seperti saat ini, dia belajar untuk itu, meski perih dan butuh waktu. Meski lelah berpeluh menusuk pembuluh. Biar.
          Seperti saat ini, dia hanya perlu terus berpindah titik. Bergerak maju, tidak jalan di tempat karena waktu tidak akan menunggu. Dengan kejam dia akan meninggalkan jiwa yang terbungkam masa silam. Dengan kejam dia akan menjadi guru sambil berlalu dan selalu membisu. Hanya dengan kepekaan terasa tegurannya. Pahit mungkin, tapi layaknya obat dia akan menjadi penyembuh, bukan pelumpuh. Dia melangkah perlahan. Tak apa. Ada kabut di matanya. Biarkan. Ada butiran yang merebak membasahi pipinya, menyekat tenggorokannya. Jangan ditahan. Relakan. Belajar tentang keikhlasan memang tak semudah ucapan. Dia belajar melalui keadaan. Dia berguru dari pengalaman. Biarkan dia menuntut ilmu, bukan dari formalnya seragam dan bangku kayu. Dia sedang rapuh saat ini tapi tidak untuk nanti. Dia hanya perlu berjalan beriring dengan waktu, membuka tirai misteri baru yang akan membuat senyuman berlagu, derai tawa bernada bahagia. Dia hanya perlu berjalan untuk menemukan, mungkin belum saat ini, di sini, mungkin nanti di masa depan yang harus dia sibak sendiri.

Senin, 24 November 2014

Ratu Hati

aku duduk di kursi itu, memandanginya.. puas.. kupejamkan mataku sambil menghela napas panjang.. baunya... aahh.. sungguh menggetarkan jiwa.
baunya seolah menjadi candu.. nikmat.. tak terungkapkan kata.. terlebih bau itu darinya.. dari dia yang kucintai, kusayangi..
aku bangkit dari dudukku, kemudian berjalan ke arahnya.. ke dinding di hadapanku.. kupandangi wajahnya, kubelai rambutnya, kusentuh wajahnya..
jariku lembut menelusuri setiap relief wajahnya.. dingin yang kurasakan.. dia hanya menatapku dengan tatapan kosong.. kembali aku tersenyum.
tak jemu kupandangi wajah rupawan yg tergolek di dinding villa ku ini.. bersama pedang asli jepang yg menyangganya.. aku mengagumi keduanya..
kubelai mereka bergantian.. tak rugi aku membelinya dari proses lelang bulan lalu.. kudekatkan wajahku dengan wajahnya, makin tercium baunya..
kuhirup perlahan, kubiarkan bau anyir yang memenuhi seluruh ruangan itu mengisi rongga paru-paruku.. kunikmati setiap hirupanku..

ya.. nikmat sekali.. bau itu darinya.. mengalir seiring kucuran yang berganti tetesan dari tubuhnya yang kini terkumpul di gelas itu..
hampir penuh.. sudah gelas kelima.. mungkin sebaiknya kusiapkan gelas ukuran jumbo lainnya.. untuk menampung jus asli pompaan tubuhnya..
kuganti gelasnya dengan yang baru.. kuletakkan tepat di bawah kakinya.. kemudian aku berdiri dan menari layaknya seorang balerina..
aku berputar makin cepat dan
makin cepat hingga akhirnya aku jatuh terduduk.. kutatap apa yang tergeletak di hadapanku.. berpikir sejenak..
agak heran sebenarnya aku.. namanya dua belas jari.. tapi ternyata sepanjang ini.. akhirnya aku punya ide bagus yang sangat romantis..
kuambil pisau dan kupotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil.. panjang masing-masing mungkin seukuran telunjuk.. lalu kudekati dia lagi..
kucari lantai yang masih agak bersih.. kuatur potongan kecil tadi membentuk gambar hati.. aku tersenyum lagi.. tp aku merasa ada yang kurang..

ah.. warna lantaiku putih.. tidak cocok dengan bentuk hati itu.. aku berpikir keras.. kemudian kulihat gelas gelas tadi.. aku tersenyum lagi..
kuambil satu gelas, hendak kutuangkan dia atas bentuk hati tadi tapi kuurungkan niatku..kuambil kuas cat di almari perkakasku.. sempurna..
dengan begini akan jadi lebih rapi.. lalu mulai kucelup dan kusapukan kuas itu pada bentuk hati tadi.. tak berapa lama aku telah selesai..
kupandangi sekali lagi.. bagus.. warna merahnya pas sekali.. aku kembali tersenyum.. kuputar otak lagi untuk menyempurnakan semuanya..
kuambil lilin lalu kujajarkan mengikuti bentuk hati tadi.. kunyalakan satu persatu.. lalu aku memandangnya lagi.. aku mengernyitkan alis..
kuambil setangkai bunga dari vas, kugenggamkan di tangannya.. kuambil beberapa tangkai lagi.. lalu kurangkai membentuk lingkaran..
sederhana, namun aku yakin dia suka.. lalu kupasangkan di atas rambutnya.. cocok sekali.. bagai mahkota sungguhan.. mahkota cinta dariku..
sempurna.. kataku dalam hati.. mahkota.. setangkai bunga di tangan.. dan lambang hati di lantai.. benar-benar sempurna!! perfect!! parfait!!
sambil mengitari jajaran lilin berbentuk hati aku berkata "Selamat ulang tahun, Sayang.. You are the real Queen of my heart.. You are mine now and forever.. i won't let anybody have your body and your soul... Just mine.. I love you..." kembali aku tersenyum.
dia kembali hanya memandangku dengan tatapan kosong dengan tubuh yang mendingin, tapi tak apa itu sudah cukup buatku.. ya, cukup seperti ini.

Sabtu, 08 Februari 2014

Tanggal Ini dan Kenekatan Itu



            Pada tanggal ini tepatnya 4 tahun lalu, kurasa saat itu merupakan saat-saat ternekat selama hidupku. Saat itu aku masih setengah tahun menjadi mahasiswa. Belum juga menginjak semester baru, tapi sesuatu yang kulakukan bisa dibilang baru dalam sejarah kehidupanku. Aku masih ingat kejadian itu. Kejadian ketika aku baru pertama kali memperkenalkan diriku kepada Hinata Neesan, sekaligus mengungkapkan perasaanku kepadanya dengan mengatakan bahwa suatu saat aku ingin menikah dengannya. Kalian tidak percaya pun tak mengapa, haha. Tapi memang itulah kenyataannya.
            Seperti yang telah kuungkapkan pada tulisanku sebelumnya bahwa aku telah jatuh hati pada Hinata Neesan sejak pertama kali aku melihatnya. Semenjak saat itu, aku selalu menjadi secret admirer-nya. Kebiasaan lamaku, ketika suka dengan seseorang lebih sering berdiam dalam hati. Banyak alasan mengapa aku lebih memilih melakukan hal itu. Dulu maupun sekarang. Ada situasi dan kondisi tertentu yang kuhadapi.
            Sejak September ketika aku pertama kali melihatnya di hari pertama Student Day Fakultasku, aku selalu mencari sosoknya. Tapi tentu aku tidak berlagak menjadi seorang stalker yang memburu dan mengikutinya ke sana sini. Aku hanya menanti kesempatan untuk melihatnya, untuk bertemu dengannya, untuk berpapasan dengannya, untuk melihat senyumnya dan untuk semuanya. Aku menunggu dan selalu berharap kesempatan itu datang setiap hari, tapi tentu saja hal itu tidak mungkin. Lebih tepatnya kemungkinannya sangat kecil (kalau tidak mau dibilang tidak mungkin), mengingat aku dengannya beda angkatan dan beda program studi.
            Ya begitulah. Semua mengalir begitu saja. Aku sangat bahagia ketika dapat melihat sosoknya. Membuat nyaman perasaan. Bikin adem kalo kata orang. Dengan sosoknya yang menurutku selalu cantik, manis, anggun, santun dalam balutan pakaian syar’i-nya, aku selalu dibuatnya meleleh setiap kali aku melihatnya. Dia juga rajin beribadah. Beberapa kali aku mendapat kesempatan berharga sholat bersamanya (sama-sama sebagai makmum, haha) yang tentu dibatasi tabir/hijab musholla fakultasku.
            Aku tak tahu apa yang disukainya, tak pernah tahu pula apa yang dibencinya. Aku tak tahu tanggal lahirnya (saat itu), aku tak tahu alamatnya, aku tak tahu no.hpnya (saat itu), aku tak tahu mengenai keluarganya. Aku hampir buta semua tentangnya kecuali nama lengkapnya, NIM-nya, program studinya, rekan yang (paling) sering bersamanya, dan apa lagi ya? Hanya itu seingatku.
            Kalau dilihat memang absurd. Sangat absurd. Menyukai seseorang pada pandangan pertama lalu kemudian mencintainya dalam diam. Selalu melihatnya dari jauh tanpa berucap sepatah katapun. Sekali lagi sangat absurd. Terlebih orang mengatakan jangan menilai orang dari luarnya, don’t judge the book from its cover, tapi entah mengapa aku membandel dan tetap meyakini dalam hati bahwa dengan tampilan luar yang dia punya, aku yakin dia merupakan sosok yang baik. Aku yakin dia juga memiliki inner beauty yang sama atau lebih cantik daripada penampilan luarnya. Sangat yakin. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya, bahwa dia sosok terindah, tersempurna yang pernah kulihat seumur hidupku. Packaging yang lengkap, haha. Karena itu aku memiliki pengharapan dan impian suatu saat aku dapat menikah dengannya.
            Keinginan itu yang pernah kuungkapkan pada teman dan sahabatku. Aku kadang bercerita kepada mereka mengenainya. Terutama kepada sahabatku. Aku sering bercerita kepadanya. Bercerita ini itu. Dia juga yang terkadang menjadi spy-ku, haha. Ya maklum, mereka sama-sama wanita, jadi mungkin bisa jadi lebih dekat satu sama lain. Kalau aku? Sepertinya sulit. Biasanya seorang wanita dengan penampilan sepertinya agak menjaga jarak dengan lawan jenis. Biasanya sih, biasanya. Aku juga tak tahu pasti. Aku hanya tahu ketika dia bersama rekan 4 sekawan yang terdiri dari 2 cowok dan 2 cewek (termasuk dia) mereka biasa-biasa saja.
            Setelah berbulan-bulan aku berada dalam diam, lama-lama aku berfikir untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Saat itu sudah memasuki tahun baru 2010, aku memiliki keinginan untuk bisa berbicara dengannya 4 mata. Berkali-kali aku melihatnya lewat di depan atau berpapasan denganku, namun aku hanya bisa membisu. Lidahku kelu. Aku malu. Aku takut untuk mengungkapkan semua. Berkali-kali aku mengatakan kepada diriku untuk nekat berbicara kepadanya langsung di depan teman-temannya, namun niatan itu selalu kandas.
            Aku sering berfikir dan sering berimajinasi saat-saat aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ketika dia lewat di hadapanku, atau aku yang mendatangi tempatnya berkumpul dengan anggota 4 sekawannya, aku mengatakan kepadanya bahwa aku ingin meminta sedikit waktunya untuk berbicara 4 mata dengannya. Ketika dia mengijinkan, aku akan mengajaknya untuk sedikit meisahkan diri dengan kelompoknya sebentar. Jika tidak maka aku akan berbicara blak-blakan di depan teman-temannya. Tentu dengan menahan rasa malu yang pasti akan sangat menjadi-jadi, karena memang aku orangnya pemalu.
            Tapi kenyataan tidak semudah berlatih dalam imaji. Berkali-kali aku menguatkan hati, tapi keberanianku selalu menyusut. Sampai suatu saat menjelang tanggal kelahiranku, aku memutuskan bahwa aku akan berbicara kepadanya saat hari ulang tahunku itu. Harus. Hal itu hampir saja terjadi saat tanggal ulang tahunku tiba, aku kebetulan bertemu dengannya. Aku saat itu sedang duduk-duduk santai di depan fakultas, dan aku melihatnya berjalan menuju fakultas. Ini berkah, begitu pikirku. Aku juga berkata pada diriku now or never. Ini hari spesialku, buatlah sesuatu yang spesial juga supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari. Meskipun itu hanya sekedar mengungkapkan isi hati supaya dia tahu tanpa berharap terlalu banyak untuk mendapatkan jawaban. Jikalaupun mendapat jawaban secara langsung baik positif ataupun negatif, maka hal itu menjadi bonus buatku.
            Namun yang terjadi semakin dia berjalan mendekat menuju pintu masuk gedung fakultas, aku masih belum memiliki ketetapan hati untuk nekat berbicara kepadanya. Keteguhan yang sudah kupersiapkan memudar begitu saja karena aku takut dan malu. Sampai akhirnya dia melewatiku, aku hanya mampu menunduk dan membisu. Sial. Aku gagal. Lagi. Lagi-lagi aku gagal karena ketakutanku. Karena rasa maluku. Aku marah pada diriku sendiri saat itu yang melewatkan kesempatan berharga untuk mengungkapkan perasaanku kepada Hinata Neesan. Aku kesal. Aku muak kepada diriku sendiri. Aku sedih karena keinginanku untuk melakukan sesuatu yang ‘spesial’ di hari spesialku urung kulakukan. Sedih, marah, kesal, semua bercampur menjadi satu.
            Setelah kemarahanku kepada diriku sendiri itu, aku berjanji kepada diriku bahwa hal itu tak akan terulang lagi. Pada kesempatan berikutnya aku akan benar-benar nekat untuk mengatakan kepadanya. Namun aku tentu tidak tahu pasti kapan aku akan bertemu dengannya. Aku hanya bisa menunggu. Berharap ada kesempatan kedua yang diberikan Tuhan kepadaku. Dan aku beruntung. Kesempatan itu benar-benar datang beberapa hari setelah tanggal lahirku. Ya, pada tanggal ini. Tanggal 8 Februari 2010.
            Saat itu aku sudah menyelesaikan segala urusan administrasiku di kampus. Aku sudah melakukan registrasi ulang dan mengurusi urusan lain. Kebetulan saat itu aku masih belum pulang, aku memutuskan untuk sholat dhuhur terlebih dahulu di musholla fakultasku. Selesai sholat aku segera keluar dan tiba-tiba saja aku berpapasan dengan Hinata Neesan dan seorang temannya (cewek) yang sepertinya hendak sholat juga. Aku sempat bingung apa yang harus aku lakukan saat itu. Aku menuruni tangga dengan perasaan bingung, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berbicara kepadanya, namun tentu menunggu dia selesai sholat terlebih dahulu. Entah memang aku sedang beruntung atau memang takdirnya seperti ini, selepas dia sholat temannya pergi ke toilet. Akhirnya kuberanikan diri untuk menegurnya.
            Sungguh, saat itu jantungku berdetak keras dan tak karuan. Setelah menegur, aku meminta ijin untuk berbicara dengannya, dan dia mengiyakan. Fyuh, satu tahap terlewati. Kekuatan mentalku saat ini diuji. Benar-benar diuji. Seperti yang kukatakan di awal tadi, aku belum pernah berbicara sekalipun kepadanya. Jadi saat-saat seperti merupakan saat yang menegangkan bagiku. Kalau bagi mereka yang playboy mungkin aku akan ditertawakan karena tingkahku yang seperti anak kecil ini.
            Sebelum aku berbicara mengenai masalah utama yang ingin kuutarakan, terlebih dahulu aku memperkenalkan diriku. Setalah itu, aku salah tingkah. Ya. Salah tingkah. Kalian tidak salah baca. Aku salah tingkah tak karuan. Aku hanya bisa bisa mengatakan “Sebenernya saya mau ngomong... ng... anu... anu...” seperti itu berkali-kali dengan pose yang berbeda-beda. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, memiringkan kepala, atau menggaruk-garukkan jari ke tembok. Serius. Tentu bukan garukan ala Catwoman atau Wolverin yang sampai membekas, aku hanya menggaruk-garuk kecil. Tingkahku yang tak karuan dan pastinya sangat tidak jelas itu bahkan sampai ditertawakan oleh Hinata Neesan. Tentu hal ini semakin membuatku grogi.
            Akhirnya setelah beberapa saat aku utarakan juga maksudku. Kurang lebih dengan kata-kata seperti ini “Ng... sebenernya saya mau ngomong... sebenernya saya suka sama Mbak XXXX... dan kalau misalnya suatu saat nanti memang jodoh, saya pengen nikah sama Mbak XXXX...”. Ketika aku mengatakan hal itu, aku melihat raut keterkejutan di wajahnya. Ya wajar saja sih dia terkejut. Kalau dia tidak terkejut sama sekali, malah itulah yang aneh, haha. Bagaimana tidak, bayangkan saja ketika ada seseorang yang tak pernah kalian kenal sebelumnya, kemudian tiba-tiba dengan gaya yang salting tidak karuan memperkenalkan diri kepada kalian, dan langsung mengatakan bahwa dia menyukai kalian serta ingin menikah dengan kalian suatu hari nanti, pasti kalian kaget, kan? Haha.
            Setelah mengatakan hal itu, aku masih menambahkan beberapa kalimat yang sudah kupersiapkan sebelumnya (dengan versi berantakan karena dalam posisi sangat grogi). Kurang lebih aku mengatakan bahwa untuk menikahinya, tentu sangat tidak cukup dan tidak layak dengan kondisi diriku yang sekarang ini. Aku mengatakan juga padanya bahwa aku akan memperbaiki diri dan memantaskan dii untuk bisa menikah dengannya, tentu sekali lagi, jika memang aku dan dia berjodoh, jika tidak ya pasti ada takdir lain yang menantiku. Tapi jika melihat keadaanku sekarang ini (tahun 2014), aku tidak yakin bahwa ada peningkatan berarti dari janjiku yang kuucapkan padanya saat itu. Hhh... menyedihkan memang, tapi bukan berarti aku akan berhenti dan menyerah begitu saja.
            Kemudian aku juga berkata bahwa sebelum semua itu, sebagai awalnya, aku bertanya apakah aku boleh menjadi temannya. Dia mengiyakan. Aku lega. Sangat lega ketika dia mengatakan hal itu. Jujur, segala ketakutanku akan reaksinya tidak terjadi. Ketakutanku yang macam-macam tidak terjadi sama sekali. Aku lega dan bersyukur. Setelah itu aku berterima kasih kepadanya dan meminta maaf jikalau aku telah mengganggu dan juga bila ada kata-kata yang tidak berkenan. Bersamaan dengan itu aku berpamitan dan mengucapkan salam kepadanya.
Sesegera mungkin aku mencari tempat untuk menenangkan diriku. Aku berhenti di bawah pohon palem depan fakultasku. Dengan menyandarkan tanganku di batang kokohnya, aku menghela napas panjang. Aku mengingat lagi perbuatan nekatku barusan. Benar-benar nekat! Dan pastinya absurd! Sulit dicerna! Dalam hati aku menertawakan diriku sendiri atas kenekatanku itu. Benar-benar gila! Haha. Entah. Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Haha. Aku sendiri kehabisankata-kata untuk mengungkapkan kegilaan dan kenekatanku itu, haha.
Tapi yang jelas, setelah itu aku bisa pulang ke rumahku dengan perasaan riang (dengan sisa-sisa degupan jantung yang masih belum reda benar). Aku lega, telah mengungkapkan perasaanku. Aku lega telah mengatakannya. Hanya supaya dia tahu. Mengenai jawabannya? Biar nanti dijawab oleh Sang Waktu. Ya! Salah satu hal terberat, ternekat dan tergila sudah kulakukan. Aku telah mengalahkan rasa takut dan rasa maluku. Baru saja kulakukan. I DID IT!!!! :D

Selasa, 04 Februari 2014

Curhat? Bisa jadi...!! Bisa jadi...!! :D



                Terus terang saja aku lupa kapan tepatnya aku memulai perkuliahan di sebuah Universitas yang (katanya) salah satu yang terbaik di Jawa Timur, bahkan Nasional. Sebut saja namanya UB. Kalau tidak salah, sih akhir bulan Agustus tahun 2009. Lebih lupa lagi jika harus mengingat kapan pertama kali aku melakukan daftar ulang binti registrasi akademik di Universitas ini. Yang kuingat biasanya momen-momen menarik yang kualami, kalau tanggal kejadian, tergantung. Misalnya saja waktu pertama kali ospek, saat itu kami diharuskan membawa bekal hamburger buatan sendiri dengan isi telur ceplok ditambahkan saos dan sosis kalau tidak salah. Aku yang pilih-pilih makanan tentu akan berpikir 2 kali untuk memakan makanan yang menurutku aneh dan tidak pernah kurasakan sebelumnya. Akhirnya waktu itu aku memutuskan untuk berpuasa saja, haha. Karena aku sudah sering makan 2 kali sehari saat SMA, maka hal seperti ini tidak akan terlalu mengganggu aktivitasku, meskipun saat itu ospek, yang katanya orang, keras. Tentu saja hal itu bisa juga menjadi alasan kuat untuk tidak memakan barang bawaan itu, haha ( daripada aku dimarahi karena memuntahkan makanan).
            Itu masa-masa ospek. Kemudian tentu berlanjut masa ketika mulai bertemu dengan teman sekelas. Kebetulan karena mahasiswa Bahasa dan Sastra Prancis tidak terlalu banyak, hanya sekitar 34 anak, maka kelas kami satu angkatan (angkatan 47) hanya terdiri dari 2 kelas saja. Artinya setiap kelas hanya berisi 17 orang mahasiswa, kelas yang cukup ideal menurutku. Berbeda dengan mahasiswa Sastra Jepang dan Sasta Inggris yang jumlahnya bejibun, sehingga mereka terbagi menjadi berkelas-kelas, haha.
            Angkatan kami yang sedikit itu diharapkan bisa menjadi satu kesatuan yang kuat, hangat layaknya saudara nyatanya masih belum terbentuk. Tahun pertama kami menjadi 2 blok yang jarang menyatu antara satu dengan lainnya, antara kelas A (kelasku, yang katanya masih imut-imut dan lugu2, katanya sih, tapi kenyataannya tidak 100% seperti itu) dan kelas B (kelas yang menurut ketua kelasku saat itu  [sosok terbesar di kelasku, sebut saja namanya Dendry, nama sebenarnya] merupakan kelas preman, haha). Maaf, bukan bermaksud menghina, sama sekali tidak. Itu hanya sekedar guyonan dia saat salah satu teman sekelasku, sebut saja Yudhis (nama sebenarnya), ingin bertengkar dengan anak fakultas lain. Si ketua kelasku tadi mengatakan bahwa dia harus mengajak cowok2 dari kelas B karena mereka beberapa berbadan besar dan sepertinya sangat sesuai bila dijadikan rekan setim dalam pertarungan. Karena itulah saat itu dia, entah sadar atau tidak, memilih diksi ‘preman’ untuk teman2 kami di kelas B, terutama yang cowok, haha.
            Jujur, baru sekitar di pertengahan 2010 jarak antara kelas A dan kelas B mulai memudar karena saat itu kami diharuskan bekerja sama bersama kakak tingkat untuk menggelar acara Multikomparasi Mahasiswa Bahasa Prancis se-Indonesia yang diselenggarakan di UB sebagai tuan rumah. Saat itu kami harus kami harus bekerja sama setiap hari selama seminggu dari pagi samai sore, jadi sedikit banyak kami mulai saling mengenal teman di kelas B, hihi. Kami mulai bisa bertukar cerita, mulai bercanda dan lain sebagainya, bahkan kemi yang dulunya selalu memilih kelas yang sama saat registrasi akademik, perlahan mulai berubah. Ya kadang memang mereka yang registrasi di menit akhir, sih, akhirnya mereka harus kebagian jam kelas yang lebih lambat dari kelas pertama, alias kelas A (hanya ada 2 pembagian jam saja di angkatan kami, jamnya ya itu2 saja, bedanya ya hanya segitu2 aja).
            Banyak hal yang kami lalui bersama. Susah senang kuliah kami lalui bersama. Ada yang semangat, ada yang malas (wajar, namanya juga manusia). Ada yang pergi sementara kemudian kembali lagi. Ada pula yang pergi namun tak kunjung kembali. Begitulah. Memang kami tak selengkap dulu, tapi life must go on, on doit continuer notre vie. Kita menjalani hidup kita masing-masing. Mereka yang di sana kita harapkan juga meraih kesuksesan, seperti yang kita harapkan pada diri kita sendiri.
            Semester-semester akhir mungkin bisa dibilang menjadi puncak kejenuhan (kalau menurutku, sih). Saat mata kuliah mulai jarang, tak sepadat semester awal. Saat pertemuan mulai jarang anatara satu orang dengan yang lain. Terkecuali mungkin mereka yang sudah menjadi BFF atau yang memang menjadi penghuni kampus sejati macam aktivis. Meskpun begitu, tugas masih ada lah, namanya juga masih mahasiswa. Malah terkadang lebih banyak proyek kelompok atau individu sebagai penilaian akhir (pengganti UAS) daripada pertemuan di kelas. Mata kuliah yang mengasah bahasa Prancis sudah tidak lagi kami dapatkan semenjak menginjak semester 7. Bosan dengan tugas, bosan dengan ini itu. Jenuh, tidak ada sesuatu yang baru. Kadang beberapa di antara kami yang beruntung, masih mempunyai kegiatan lain di luar kegiatan kuliah, sehingga kejenuhan tersebut dapat diminimalisir.
            Kejenuhan utama menurutku adalah saat skripsi, haha (ya selain memang aku tidak suka membuat karya ilmiah, sih). Objek material yang kupakai tetap sama seperti yang kugunakan saat metode penelitian di semester sebelumnya. Harusnya saat semester 8 (di angkatanku, baru bisa mengambil skripsi pada semester ini, sementara di fakultas lain rata2 bisa mulai semester 7, bahkan ada yang bisa mulai dari semester 6, begitu pula dengan angkatan bawahku) aku bisa segera menyempurnakan bahanku sebelumnya untuk segera maju seminar proposal, bukan? Nyatanya? Aku termasuk golongan terakhir yang melaksanakan seminar proposal. Mengapa? Karena aku malas. Ya. Sangat. Aku tidak serajin rekan-rekanku yang lain. Mereka bisa memaksakan diri untuk tetap semangat mengerjakan skripsi walaupun mereka jenuh, walaupun mereka lelah, walaupun mereka sebenarnya juga tidak terlalu suka (mungkin). Namun aku masih berkutat dengan mood-ku.
            Hasilnya tentu bisa dilihat, rekan pertamaku melaksanakan seminar proposalnya di awal bulan April (2013). Ada juga yang di akhir bulan April. Di mana aku? Pergerakanku ke arah skripsi masih tersendat-sendat walaupun sudah mulai kusentuh. Awal Mei ada lagi beberapa rekanku yang melaksanakan sempro. Saat itu aku masih dalam masa revisi, dan aku baru melaksanakan sempro di pertengahan Mei. Ada pula yang melaksanakan setelah aku. Parahnya, setelah sempro aku tidak lagi melihat skripsiku. Moodku hilang entah ke mana. Awalnya aku hanya ingin rehat sejenak dari aktivitas mengerjakan skripsi nyatanya hal terus berlanjut. Rekanku awalnya ada yang merasakan hal yang sama denganku. Kami menamainya sindrom pasca sempro, haha. Bedanya, mereka masih bisa bangkit, masih bisa memaksakan diri untuk bangkit. Ups, ralat. Mungkin lebih tepatnya mereka masih mau melakukan hal itu, atau memaksakan diri untuk mau (kalau sebenarnya mereka tidak mau), namun hal itu yang tidak terjadi padaku. Aku masih menuruti mood yang menginginkan untuk rehat, rehat dan rehat. Sementara rekanku mulai berjalan lagi, aku masih diam di tempat. Sampai akhirnya aku kesal dengan diriku sendiri yang kalah oleh mood. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Aku takut. Aku sedih. Aku jengkel. Aku marah. Aku sedih melihat diriku sendiri yang selemah ini. hingga akhirnya air mata yang menjadi saksi saat kuutarakan kekalutanku pada orang tuaku, pada ibuku, pada ayahku, pada kakak perempuanku. Aku takut. Aku takut tidak lulus tepat waktu. Hal yang sangat kuinginkan sebelumnya. Aku takut. Aku takut mengecewakan orang tuaku. Aku marah pada diriku yang lemah.
            Namun kata-kata dari ibu, ayah dan kakakku sedikit banyak mengobati kekesalan itu. Meskipun begitu, tetap tersisa penyesalan pada diriku karena aku masih merasa aku telah mengecewakan mereka. Mereka menenangkanku untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, menyuruhku untuk fokus saja pada semester depan. Ya. Aku menambah masa kuliahku. Setengah tahun. Satu semester lagi. Beban bagi orang tuaku lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Sedih? Sangat. Menyesal? Iya. Terlebih melihat beberapa rekanku telah lulus dan wisuda terlebih dahulu. Bahkan salah satu orang yang kusuka, Hinata Neesan, Ma Première Déesse, juga lulus dan wisuda bersama mereka. Dan aku melewatkan kesempatan itu.  
            Namun aku tidak berubah begitu saja. Di awal semester baru pun aku masih kesulitan untuk memulai lagi. Kadang objek materiku hanya kulihat, hanya kubaca, namun tak kuapa-apakan. Kadang saat berkumpul dan bercanda bersama teman2ku, aku sempat memikirkan apa yang inginkutulis nantinya, bagaimana jalannya penelitianku selanjutnya. Namun semua hasilnya hanya ada di angan. Begitu pula saat aku mandi, aku sering mendapat inspirasi menulis cerpen atau puisi saat aku berada di kamar mandi, saat tubuhku diguyur dengan dinginnya air yang menjernihkan kepala dan pikiranku. Namun karena tak kunjung kutulis, hal itu menghilang begitu saja, menyisakan hanya sedikit sisa-sisa kata yang kuingat.
            Awal semester aku terkadang masih menjadi pengajar pengganti untuk mereka yang belajar bahasa Prancis di UPT lintas bahasa. Dengan kemampuan seadanya ya kujalani saja. Lumayan, selain membunuh waktu dan kejenuhan, hal itu menurutku juga penting untuk menambah pengalaman. Guiding juga sempat kulakoni walaupun hanya 2 kali, pada bulan Juli dan  bulan Oktober lalu. Saat rekanku wisuda pada tanggal 6 Oktober, aku berada di Bromo. Skripsi? Tersentuh sedikit kalau tidak mau dibilang belum tersentuh. Setelah guiding itu ada beberapa kali pertemuan aku membantu dosen bersama adik tingkatku untuk melakukan sosialisasi ujian DELF (anggap saja semacam TOEFL-nya bahasa Prancis, tapi berlaku seumur hidup lhoo.. haha ) di SMA 1 Malang.  Setelah itu masih membantu-bantu lagi menjadi pengajar pengganti di les UPT lagi, bergantian dengan salah satu dosen pembimbing skripsiku. Tidak menguras waktu sebenarnya, tapi ya itu tadi stimulasi untuk mengerjakan skripsi kurang (atau mungkin tidak kurasakan, ya? Haha). Terlebih dosen pembimbingku jarang mencariku, hihi.
Bisa dibilang aku benar-benar mulai bergerak di bulan November. Saat itu aku pertama kali memberikan uraian di bab III setelah sekian lama menghilang. Itupun hanya 6 halaman. Mungkin kalian yang membaca tulisan akan berkata “how pathetic...” sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin kalian juga geregetan dengan sikapku, hihi. Revisi kudapat dari dosbing I dan II, kemudian dosbing II memintaku menyelesaikan revisi dengan beliau terlebih dahulu sebelum ke dosbing I, dan hal itu disetujui oleh dosbing I (biasanya ke dosbing I dulu, baru ke dosbing II). Beberapa kali aku revisi dengan dosbing II, aku kembali bosan. Terlebih aku hanya bisa bertemu dengan dosbing II sekali dalam seminggu pada hari Jum’at. Aku bosan menunggu. Aku bosan dengan revisi. Akhirnya aku berhenti lagi. Aku pergi lagi. Tanpa kabar. Aku kembali mencari moodbooster untuk rajin mengerjakan skripsi lagi. Menonton puluhan episode anime, menyewa puluhan komik dan melakukan banyak hal yang kusukai. Hingga pada awal tanggal belasan bulan Desember aku kembali menemukan keinginanku untuk mengerjakan skripsiku.
Saat itu aku bahkan sampai mematikan sementara hubunganku dengan dunia maya (facebook, twitter, WA, Line dkk). Yang aktif saat itu hanya akun instagramku. Aku ingin fokus mengerjakan skripsi. Aku menemukan gairah untuk menyelesaikannya. Terlebih menurutku sudah mendekati deadline (mungkin ini yang menjadi pemicu utama, haha). Pilihannya, memaksa untuk mengerjakan atau bersantai dan menambah semester lagi, dan membayar lagi. Aku memilih pilihan pertama. Hingga dapat kuselesaikan skripsi mentah bab III dan IV pada pertengahan Desember. Tidak mentah-mentah amat sih, sebenarnya karena sebelumnya sudah pernah kukonsultasikan dengan dosbing II. Hampir sebulan lalu.
Dosbing I sempat kaget waktu kuberitahu tentang pengumuman terakhir pendaftaran ujian skripsi, yaitu akhir tanggal tunggal di bulan Januari. Namun setelah kukonfirmasikan, ternyata diundur menjadi pertengahan Januari. Beliau mengatakan bahwa pasti akan mencoba mengejar deadline tersebut. Revisi kami lakukan, tidak terlalu banyak revisi dari dosbing I. Beliau mengatakan bahwa revisi akan dilakukan sambil jalan. Akhirnya di akhir Desember beliau mengatakan bahwa aku dapat memulai revisi dengan dosbing II. Awalnya kukira tidak terlalu banyak revisi dari dosbing II, namun ternyata separuh umur Januari dihabiskan untuk revisi dengan beliau. Kesal? Capek? Bosan? Ya. Sangat. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak punya pilihan lain selain menurut. Kalaupun aku merengek meminta untuk dipercepat juga belum tentu dikabulkan.
Akhirnya setelah berpacu dengan waktu tanpa melodi, aku bisa menyelesaikan revisi dan mendaftar untuk seminar hasil. Seminal hasil yang dilaksanakan sehari setelah hari pendaftaran ( aku mendaftar tanggal 15 Januari) kulalui dengan peluh. Mengapa? Karena dari 1,5 jam alokasi waktu untuk seminar hasil, 1 jam dihabiskan sendiri oleh penguji yang juga merupakan Kaprodiku. Alhasil semhasku selesai dalam waktu kira-kira 1 jam 45 menit alias hampir 2 jam. Revisinya? Lumayan. Setelah konsultasi dengan dosbing I, segera kurevisi sesuai saran beliau (aku juga segera mendaftar ujian skripsi di tanggal terakhir pendaftaran, tanggal 17). Kucari buku-buku di perpustakaan untuk menambah data di bab kedua. Setelah kukembalikan dan mendapatkan revisi, aku mengirimkannya kembali kepada beliau, tentu setelah kurevisi sekali lagi (tanggal 23). Kukira aku akan segera mendapat balasan email dari beliau, namun ternyata tepat seminggu setelah kukirimkan revisi terakhirku, beliau membalas dan mengatakan bahwa aku bisa melakukan dengan dosbing II (tanggal 30). Sangat mepet menurutku, karena dosbing I, II dan penguji setuju untuk melaksanakan ujian pada tanggal 4 Februari.
Tanggal tersebut kupilih karena aku telah melewatkan satu tanggal yang sangat ingin kupakai sebagai tanggal ujian skripsiku. Kalian tahu? Tanggal ulang tahun Hinata Neesan. Aku sangat ingin bisa melaksanakan ujian skripsi dan mendapatkan gelar sarjana pada tanggal itu. Namun apa mau dikata, aku tak bisa melakukan hal itu karena terbentur banyak hal. Akhirnya ketika dosbingku menawarkan antara tanggal 4-7 Februari untuk ujian, aku memilih tanggal 4, karena selain pas satu minggu setelah tanggal ulang tahun Hinata Neesan, tanggal itu adalah tanggal kelahiranku, yang artinya hari ini! :D Setelah aku melewatkan tanggal lahir Hinata Neesan sebagai tanggal ujianku, aku memilih tanggal lahirku sendiri sebagai tanggal Last Battle-ku. Terlebih besok, tanggal 5 merupakan tanggal ulang tahun ibuku, jadi sekalian meraih gelar sarjana pada tanggal lahirku, kemudian hal itu bisa juga menjadi kado untuk ibuku. Kuharap beliau menyukainya.
Tadi, sempat aja kejadian menjengkelkan saat penguji meminta untuk mengganti jam ujian menjadi jam 12 setelah sebelumnya telah disepakati pada jam 11. Kalau beliau mengatakan sehari sebelumnya masih mending, tapi beliau baru menginformasikan padaku bahwa beliau ada acara mendadak penting pada tanggal 4 Februari jam 9.58 via sms, yang artinya 1 jam 2 menit sebelum ujian. Beruntung kedua dosbing setuju dan juga tidak masalah dengan penggunaan ruang ujiannya
Aku tegang waktu ujian. Bahasa Prancis yang kugunakan baik saat presentasi maupun saat tanya jawab belepotan sana sini sampai-sampai dosbing II ku beberapa kali tertawa melihat tingkahku yang kebingungan. Setelah 1 jam 15 menit, aku diminta keluar ruangan untuk menunggu hasil rundingan para dosbing dengan penguji mengenai nasibku. Di luar meskipun aku tertawa2 dengan rekanku, namun dalam hati tetap saja aku merasa dagdigdug. Setelah berapa lama, aku dipanggil lagi ke dalam ruangan. Awalnya dosbing I dan penguji mengatakan hal yang membuat hatiku lemas, mereka mengatakan bahwa aku akan diminta untuk melakukan ujian ulang, dalam hati aku bertanya, separah itukah presentasi dan jawaban yang kuberikan pada mereka.
Mereka menenangkan hatiku dengan kata-kata bijak “ya namanya juga hidup, ada liku-likunya” atau semacam itulah untuk menguatkan hatiku. Pengujiku malah sempat menanyakan tanggal terakhir ujian, sehingga aku sempat mengira bahwa itu merupakan kenyataan yang memang harus kuhadapi. Namun ternyata semua itu tak perlu kulakukan karena setelahnya dosbing I menyatakan bahwa aku akhirnya LULUS!!! Seketika hatiku lega bukan main. Akhirnya setelah sekian lama, setelah banyak kebosanan dan kemalasan yang kulalui, aku mendapatkan gelar sarjana. Alhamdulillah... setidaknya aku telah memenuhi kewajibanku kepada orangtuaku yang telah bersusah payah menyekolahkanku sampai jenjang ini. Dan kini, saatnya menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Ya. Ini bukan akhir segalanya. Tapi awal dari kerasnya kehidupan yang harus kulalui dalam perjalanan hidupku.
Terima kasih untuk orang tua dan keluargaku atas do’a, dukungan yang yang diberikan, terima kasih atas kesabaran menanti anak nakalnya ini menjadi sarjana (belum wisuda sih memang, tapi setidaknya one step closer.. hehe ). Kepada dosbing2ku terima kasih telah sabar menemani saya meskipun saya sering menghilang, malas, moody, dkk, saya masih akan merepotkan Anda sedikit lagi, tapi terima kasih atas bantuannya selama ini sampai mencapai gelar ini. Teruntuk sahabat2, teman2 yang selama ini telah membantu dengan do’a, support dan lain sebagainya, terima kasih atas segalanya. Jazakumullah khairan katsira :). Yang paling spesial tentu untuk Tuhanku tercinta, Allah SWT, karena telah mendengarkan segala keluh kesahku yang jarang bersyukur ini dengan segala kenikmatan yang tak pernah terhenti tercurah kepadaku yang penuh dosa ini. Terima kasih Engkau telah memberikan aku kekuatan untuk menghadapi segalanya. Terima kasih karena Engkau selalu bersamaku, bagaimanapun keadaanku. :)

Sedikit saran:
***Menurutku untuk menyelesaikan skripsi terkadang tidak membutuhkan orang yang pintar segalanya, namun orang yang berkemauan keras, gigih, rajin, dan memiliki ketahanan diri (lahir dan bathin) yang lebih dari yang lain, seperti yang telah ditunjukkan oleh rekan2ku yang lulus sebelum aku, maupun adik2 tingkatku yang lulus bersamaan denganku. Kalau seorang yang pintar memiliki beberapa hal di atas, tentu itu lebih plus plus lagi... hehe :)
***Waktu berlalu begitu cepat Bro, Sist... kayaknya baru kemaren aku ospek... sekarang udah lulus aja... ( saran macam apa ini??? -_- )