"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Jumat, 08 Maret 2013

Gelap

           Lampu mati! Kalian tau apa artinya itu? Gelap. Ya, gelap. Dan aku menyukainya. Kegelapan. Gelap yang pekat. Gelap yang menghisap. Gelap yang menjadikan semuanya satu warna. Menurut konvensi, warna kegelapan adalah hitam. Warna yang mampu menghapus warna lain. Warna pelangi seketika hilang ketika hitam menimpanya. Warna lain nasibnya tidak jauh berbeda. Hitam itu mutlak. Hitam mampu menghapus eksistensi warna lain dalam sekejap, sebaliknya warna lain tidak mudah untuk menghapus warna hitam. Senada dengan gelap.
            Kegelapan ada di mana saja. Bahkan di tempat bercahaya. Musuh besarnya. Semakin terang cahaya itu menyinarkan dirinya, semakin gelap bayangan yang terbentuk. Bayangan itu yang merepresentasikan kegelapan. Sementara semakin pekat kegelapan itu, tidak ada representasi cahaya yang ada. Di mana ada cahaya, di situ pula ada gelap (bayangan). Di mana tidak ada cahaya, di situlah letak kegelapan mutlak.
            Dalam gelap semua akan terhisap. Menyatu. Relief dan lekuk tubuh takkan terlihat. Mata tak melihat hal lain kecuali satu, hitam. Gelap. Keseimbangan dan gravitasi takkan terasa ketika telah tenggelam. Dalam. Gelap. Membuka dan menutup mata bukanlah lagi hal yang berbeda. Karena sama saja. Gelap. Semakin jauh.
            Angkasa juga dipenuhi dengan kegelapan. Lihat saja bintang gemintang yang berserakan di antara gelap, layaknya butiran pasir yang mengambang di samudera. Mereka hidup dan kemudian kehabisan energi dalam gelap. Bintang bercahaya dan menjadi abu dalam gelap. Selalu dalam gelap. Kegelapan yang masih dianggap abadi dan masih belum tertelusuri juga ada di angkasa. Entah belum pernah atau belum ada yang berani. Kau tahu? Ya! Black Hole. Lubang Hitam. Saat terhisap, entah di mana kau akan terdampar. Beruntung jika bisa terdampar. Entah jika kau akan terombang ambing selamanya dalam gelap. Tanpa pijakan. Tanpa arah pasti. Entah ke atas, ke bawah, ke depan, atau ke belakang, kau tidak tahu. Selamanya seperti itu. Kegelapan tiada ujung. Kegelapan dalam dimensi yang luasnya tak terkira. Kegelapan yang menghisap hidupmu, hingga kau pun ragu untuk tetap hidup atau lebih memilih menjemput maut. Kau ingin merasakannya? Datanglah dalam gelap. Gelap. Gelap yang pekat. Gelap yang menghisap. Gelap yang mutlak.

Senin, 04 Maret 2013

Senyummu Memudarkan Cintaku

            Banyak orang di dunia ini yang menyukai lawan jenis melalui ketertarikan fisik. Tidak sepenuhnya salah, karena ada quote -yang entah siapa pencetusnya- yang kurang lebih berbunyi begini, “Cinta itu dari mata turun ke hati”. Diakui ataupun tidak, mayoritas penghuni dunia fana ini, tidak peduli dia dari rumpun mana ras apa merupakan penganut setia dari quote tersebut. Tidak banyak dari mereka yang mampu mengalahkan nafsu mata terlebih ketika terpampang tampang rupawan di hadapannya, kecuali mereka yang tidak mampu melihat dengan baik, sebagian ataupun seluruhnya. Coba saja buat survei cowok atau cewek seperti apa yang menjadi idaman, pasti tidak ada yang secara sengaja memilih golongan manusia buluk nan berdaki plus berbau asam dengan tampang yang ketidaksejajarannya agak keterlaluan. Fisik seakan menjadi tujuan pertama sebelum menyelami hati seseorang, dan entah sial atau bukan hal itu juga menimpaku, dan itu karenamu! Ya, karenamu!
            Kalau kebanyakan laki-laki dapat jatuh hati kepada mereka yang berparas cantik dan atau yang semlohai­ –entah bahasa dari mana ini-, aku cukup jatuh hati padamu melalui senyummu. Ya, cukup dengan senyummu. Semenjak pertama kali bertemu, senyummu tidak pernah berubah. Well, okelah kuakui setelah senyummu, kuakui bahwa kamu memang rupawan. Di atas rata-rata menurut radar kecantikanku. Jika aku diharuskan menilaimu, wajahmu akan mendapat nilai 9 dari 10 dariku. Sementara senyummu akan mendapat nilai 10 dari 10, yang berarti SEMPURNA! Kalau ada penilaian di atas sempurna, akupun tak akan segan-segan memberikan nilai itu kepadamu. Percaya atau tidak, melalui senyummu yang makcling itu, mata kepala dan mata batinku seakan dipenuhi binar-binar cahaya yang seolah membawaku berada di dunia yang lain. Duniamu dan duniaku, hanya kamu dan aku, bayanganku seperti itu.
            Kamu mungkin tidak mengingat kapan tepatnya kita pertama kali bertemu. Namun hal itu masih terpahat dengan jelas di benakku, karena di hari itulah aku melihat senyum terindah selama aku hidup. Lebay? Alay? Mungkin iya, mau bagaimana lagi. Sulit bagiku untuk menemukan ungkapan yang tepat. Saat itu kamu mungkin masih tidak sadar aku berada di kelas yang sama denganmu, tapi di hari pertama tahun kedua kuliah kelas terjemahan lantai 4 ruang D2 dengan dosen bapak kepala plontos berkumis bertampang sangar di ujung hari itulah kamu menunjukkan senyum mautmu. Di saat penghuni kelas yang lain, termasuk aku mulai terkapar karena rentetan kuliah hari itu, kamu tetap mampu menunjukkan senyum manismu. Teramat manis malah. Padahal kamu memakai baju kurung lengkap tanpa kurang satupun, tapi hal itu tidak menghalangi senyummu tetap bersinar.
           Padahal jika dilogika, peluhmu pasti lebih banyak daripada mereka yang baju kurang bahan, tapi senyummu itu lho masih saja tersungging. Seharusnya kamu menampakkan wajah lelah dan resa gerah yang melebihi kamum hawa lain. Karena meskipun berbeda kelas sebelumnya, aku tahu bahwa hari ini semua mahasiswa seangkatanku di jurusan ini setidaknya menempuh 3-4 mata kuliah. Saking tidak habis pikirnya aku, sepanjang pelajaran kuhabiskan melihatmu dari kursi pojok dengan sudut tidak lebih dari 100. Kulihat terus wajah seriusmu yang memperhatikan penjelasan dari biksu brewok di depan kelas. Sesekali kamu menoleh ke arah temanmu yang bertanya, aku tetap memperhatikanmu. Aku hanya melewatkan pandanganku padamu ketika mataku berkedip, tentu dengan frekuensi yang jauh lebih lambat daripada biasanya. Kuperhatikan terus dirimu, kunantikan senyum itu muncul sekali lagi. Senyum yang langsung menancapkan anak panahnya di hati ini. Namun sayang sekali senyum yang kulihat sebelum kelas dimulai tadi adalah senyum pertama dan terakhir yang kulihat darimu hari itu.
            Semenjak saat itu entah sudah berapa kali aku berusaha untuk selalu dapat melihat senyummu. Jika di luar kelas aku akan berusaha sesering mungkin untuk mencuri pandang ke arahmu, tentunya jika kamu masih berada di wilayah yang bisa dijangkamu penglihatanku yang dibatasi oleh minus ini. Range yang bisa kuperjauh dengan kacamata tak mampu kumanfaatkan lebih banyak jika kamu berada di balik gedung atau tidak berada di kampus. Saat-saat seperti itu yang membuatku kesal. Karena aku harus melihat senyum-senyum biasa yang tersebar di sana-sini. Tidak ada senyum seindah senyummu. Ketika suatu saat aku mendapatkan anugrah terindah –ya, melihat senyummu tentunya, apalagi.-, saat itu pula senyumku turut terkembang dengan sendirinya.
            Terkadang aku bertindak di luar nalar. Kelakuanku sedikit banyak bisa dibilang mirip stalker. Tentu aku melakukannya selama aku dan kamu masih berada di kampus. Jika hal itu kulakukan juga di luar, maka aku akan benar-benar dicap sebagai stalker. Untungnya aku masih memiliki akal sehat untuk tidak berbuat sekonyol itu, karena aku tahu konsekuensinya. Jika aku sampai tertangkap tangan oleh polisi karena menjadi stalker, maka saat itu pula aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan momen terindahku, melihat senyummu. Aku juga bukan seorang yang akan berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan sebanyak foto senyummu dimanapun dan kapanpun kamu berada. Karena bagiku foto hanya bersifat sementara, tapi ingatanku mampu menyimpan sebanyak apapun memori senyumanmu.
                                                            #$%^&^%$#

            2 tahun 336 hari sudah aku melihat senyummu. Dan kini tiba saatnya wisuda. Bisa jadi saat ini merupakan saat-saat terakhir aku bisa melihat senyummu. Hatiku seakan belum bisa menerimanya. Setelah sekian lama aku setia menantikan senyummu, apakah aku tidak punya hak untuk mendapatkan lebih dari itu? Karena sepanjang aku mengumpulkan senyummu di ingatanku, benih cintaku secara perlahan terkumpul menjadi satu. Setiap senyummu yang kulihat mewakili beningnya kepribadianmu. Melalui satu per satu senyummu itu aku juga menemukan sisi lain darimu yang membuat perahu cintaku memutuskan untuk berlabuh di dermaga hatimu. Namun hal itu kini berada di ambang khayal. Setelah wisuda ini aku mungkin tidak akan bertemu lagi denganmu.
             Apakah hanya sampai di sini saja? Batinku menjerit. Tuhan ternyata mendengarkan jeritan batinku. Di saat aku tertunduk lesu setelah prosesi wisuda -meskipun berada di jajaran top member-, aku melangkahkan kakiku keluar gedung bersama rombongan keluargaku di belakang dan secara tidak sengaja aku bertemu denganmu di luar gedung. Hal ini tentu saja mengejutkanku. Aku hanya mampu berdiri diam dengan jarak tidak lebih dari 3 meter di depanmu dan keluargamu. Bibirku bergetar dan kelu tak mampu berkata sepatah katapun. Kemudian –secara gerak lambat dalam pikiranku- kamu menoleh kepadaku, tak ayal mata kita saling bertemu. Kemudian kamu mengeluarkan jurus pamungkasmu ke arahku, senyum manis itu.
            Bak diserang dengan serangan yang mengandung maximum critical damage, sekali lagi aku hanya mampu mematung, namun hatiku tentu saja telah meleleh sejak tadi. Jika saja aku berada di dunia lain, sudah pasti aku berada di nirwana karena terbuai oleh senyummu. Tapi kupertahankan alam sadarku, karena itu senyumku –entah sadar atau tidak- ikut terkembang. Tiba-tiba aku tersadar. HEI! Ini pertama kalinya senyum kita saling bertemu! Tahukah kamu? Sadarkah kamu? Hatiku menjerit tak karuan. Senang! Bahagia! Teramat sangat! Tak terurai kata! Tak tergambar apapun jua! Dan tak kuduga, kejutan darimu masih berlanjut.
            “Arga, selamat ya! Kamu jadi salah satu top member lulusan angkatan kita.”
            HEI! Hatiku kembali menjerit dengan sendirinya. Kamu tahu namaku! Eh, ralat! Kamu ingat namaku! Padahal aku hanya pernah memperkenalkan diriku di kelas dengan kamu salah satu penghuninya, di kelas tata bahasa tahun kedua. Artinya aku tidak pernah berkenalan ataupun berinteraksi secara langsung denganmu sebelum ini. Namun kamu masih mengingat namaku. Padahal jujur saja aku tidak punya banyak kenalan dan aku tidak yakin pula banyak yang mengenalku. Tapi kamu... ah... hal ini benar-benar membuat hatiku semakin berbunga! Saat-saat yang paling indah ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Kamu masih belum mengisyaratkan untuk berhenti memberikan kejutan.
            “Eh, Arga! Rumah kamu masih di kisaran kota ini ‘kan? Boleh minta?”
            “Buat apa Fey?” Eh? Pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya di luar kesadaranku. Pertama kali pula bagiku memanggil namamu secara langsung. Dan lagi-lagi senyummu itu kamu lemparkan kepadaku. Again, critical damage.
            “Himitsu... himitsu...!” jawabmu kemudian sambil mengerlingkan matamu. Oh Tuhaaan... harus berapa kali kamu lancarkan serangan dengan maximum damage seperti itu kepadaku baru kamu puas, Fey.... jerit lirih batinku. Namun di antara jeritan lirih itu tersirat kegembiraan yang tiada tara. Akhirnya interaksi kita berakhir dengan lambaian tangan kita berdua ketika langkah menjauhkan jarak kita. Senyumku tak henti-hentinya terkembang hari itu. Hari yang kurasa menjadi hari paling menyedihkan, diubah-Nya menjadi hari terindah. Terima kasih Tuhan...

                                                            #$%^&^%$#

            Dalam renunganku selama masa vakum aku belum mendapatkan jawaban dari rahasia yang kamu berikan kepadaku, dan juga hasil musyawarah keluarga -setelah kuceritakan semua hal tentangmu-, aku memutuskan untuk segera meminangmu. Ya, telah kubulatkan tekadku. Aku ingin menjadikanmu pelengkap hidupku. Keluargaku tidak ada yang menolak. Semua setuju dengan keputusan itu. Semua turut berbahagia karena baru saja beberapa hari aku menjadi wisudawan, aku juga akan segera melepas masa lajang.
            Esoknya aku dan keluarga telah bersiap untuk pergi melamar Fey. Hatiku bergetar karena bahagianya. Dalam hatiku pula aku bersyukur... Terima kasih Tuhan.. Kamu akan segera menghadirkan bidadari di sela jemari ini.. Sebagaimana telah aku nanti selama hampir separuh hidup yang telah kujalani.. Di saat yang tepat, Kamu turunkan hujan di antara kegersangan... dan tanpa sadar aku menitikkan air mata bahagia. Kemudian aku tersenyum melihat bayanganku di cermin yang terlihat rapi dan... menurutku cukup bisa mempesona wanita.
            Tiba-tiba beberapa anggota keluarga masuk ke kamarku. Aku cuek saja karena sibuk memeriksa penampilanku supaya tampak lebih sempurna. Namun aku heran ketika melihat air muka mereka –yang terpantul di cermin- yang tampak mengasihaniku. Seharusnya mereka bahagia ‘kan hari ini? Mengapa menampakkan raut wajah seperti itu? Ayahku kemudian memegang bahu kiriku ketika aku sedang membenahi dasiku. Aku berbalik karena aku yakin itu yang dipintanya. Di depan pintu kamarku kulihat kakak perempuan dan ibuku manangis pilu. Aku semakin heran ada apa sebenarnya. Perhatianku kemudian direbut oleh ayah. Beliau memberikan amplop hijau muda kepadaku. Kemudian beliau memegang pundakku kembali dan berbalik menuju ibu dan anggota keluarga lain. Ketika kubuka amplop itu dan kubaca isinya, akhirnya aku mengerti arti dari tangisan ibuku, dan juga himitsu itu...

                                                            #$%^&^%$#

            Kuteguhkan hatiku untuk berangkat ke rumahmu. Meskipun harus kuakui tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Ketika tawa dalam sekejap menjadi tangis, aku tahu bagaimana perihnya itu. Tapi setidaknya aku ingin menyaksikan anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan kepadaku. Kulangkahkan kakiku setegap mungkin meskipun hati ini masih luluh lantak sejak datangnya undangan pernikahanmu seminggu lalu. Di hari yang harusnya menjadi hari bersejarah karena aku akan melamarmu, nyatanya harus berakhir dengan isak tangis seluruh keluarga, tak terkecuali aku.
            Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku tersenyum miris. Awalnya aku dan kamu tidak saling kenal. Aku hanya mengenalmu lewat senyummu. Aku hanya melihatmu dari kejauhan. Selama itu pula benih itu bersemi dengan sendirinya. Kusangka hanya sampai situ saja cerita di antara kita. Oh well... baiklah... ralat. Ceritaku tentangmu. Namun siapa sangka di hari wisuda ternyata kamu memberikan kejutan yang sangat tak terduga. Ternyata kamu mengenalku tanpa kutahu. Bahkan kamu menyelamatiku, meminta alamatku dan mengatakan akan ada himitsu untukku. Tapi tak pernah kusangka himitsu seperti itu yang kuterima. Namun apalah daya. Inilah jalan cerita yang digariskan oleh Yang Kuasa.
            Dalam serpihan hatiku itu masih tersisa senyummu. Senyum yang membawa dan meniupkan ruh cinta dalam hidupku. Senyum yang... ah... sudahlah. Dan kini, ketika aku berdiri di antara ribuan tamu –dan mungkin lagi-lagi tak kamu tahu- aku masih memperhatikanku. Kumenatapmu. Masih melekat senyum pertamamu. Kini senyummu jauh lebih berbinar dibandingkan saat itu. Rona wajahmu menyiratkan kegembiraan. Matamu memancarkan hal yang sama. Dan aku yakin hatimu pun juga. Artinya kamu benar-benar bahagia. Dengan dia, laki-laki yang kini telah menjadi sandaran hidupmu. Tempatmu meletakkan dirimu sebagai rusuk yang hilang.
            Lalu... adakah hal lain yang menghalangiku untuk tidak turut berbahagia? Sejak lama aku selalu menantikan senyum yang sama. Senyum yang memancarkan binar bahagia. Lalu apa lagi yang bisa kupinta kepada Tuhan untukmu? Tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaanmu. Senyummu adalah senyumku juga. Senyum bahagiamu yang kamu tunjukkan hari ini adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Itu artinya aku harus berusaha dan wajib memudarkan rasa cintaku padamu –sebagai laki-laki- yang sebelumnya telah tumbuh di hatiku demi menjaga senyum terindahmu itu tetap merekah sepanjang sisa hidupmu. Dan aku akan berusaha dan wajib mencintai serta menyayangimu sebagai saudara, bukan lagi sebagai laki-laki. Terima kasih atas segalanya Fey... terima kasih pula Tuhan karena Engkau pernah menyirami cinta di hatiku melalui senyum itu...

                                                            #$%^&^%#