"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Sabtu, 28 Juli 2012

Tentang Kami, Aku dan Dia




         Jariku berhenti mengetik. Setelah memastikan tidak ada kesalahan, pesan singkat itu langsung kukirim. Beberapa saat kemudian, message sent. Yap! Terkirim dengan mulus. Kuletakkan ponselku di meja. Sambil menghela napas panjang, kusandarkan punggungku ke dada kursi. Mataku menerawang langit-langit kamar kos sederhana ini. Hari terakhirku di kota ini. Di kota tempat aku bertemu dengan teman-teman baru, pengalaman baru dan tentu saja, dia. Aku tersenyum sekaligus heran. Hanya dalam waktu sesingkat ini, bahkan teramat singkat bagiku,hatiku seolah telah tertambat.
         Sekali lagi aku mengembuskan napas panjang. Tentu bukan napas terakhir. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini aku terus menerus menghela napas panjang. Seolah ada sesak dalam dada yang ingin menyeruak namun tertahan. Sulit untuk diungkap kata, tapi penuh dalam rasa. Kupejamkan mataku, mengingat saat-saat singkat itu...

                                         @#$%^^%$#@

         “Le nom de ce village est Megal, Madame...” kata Michel penuh percaya diri. Tanpa dikomando, semua yang berada di ruang kelas kecil itu mengerutkan kening. Tak terkecuali Sang Pengajar, Madame Ami, begitu kami memanggilnya.
         “C’est quoi Megal, Michel?” Madame Ami balik bertanya kepada Michel, pemuda sunda yang hobi memancing tawa dan mencairkan suasana selama pelatihan di kota Pahlawan ini, meskipun kadang (atau bahkan sering) terkesan sangat Crunchy melebihi ayam Kentucky.
         “Medan et Tegal, Madame.” Sahutnya singkat. Sontak tawa menggema di kelas itu. Namun tawa mereka juga membuat pipiku merona. Terasa hangat, kalau tidak mau dibilang panas. Aku jadi salah tingkah. Tapi sebisa mungkin kututupi perasaan itu. Aku harus mengendalikan diriku sebaik mungkin supaya tidak semakin menjadi bulan-bulanan mereka yang menggodaku. Meskipun tidak secara langsung, aku tahu kalau Medan itu mengacu padaku, satu satunya peserta yang berasal dari luar pulau jawa. Sementara, Tegal mengacu kepadanya. Ya! Dia!

                                        @#$%^^%$#@

         Semua mungkin berawal akhir minggu pertama pelatihan, saat aku menghabiskan waktu untuk berkeliling kota pahlawan ini bersamanya. Tak terasa memang awalnya. Hanya sekedar teman untuk melewatkan waktu luang, berbagi cerita dan juga teman travelling. Benar-benar tak terasa. Mengalir begitu saja. Mengalir bagai air dari hulu ke muara. Muara yang mempunyai sejuta rasa.
         Namun tak bisa kupungkiri bahwa rasa itu perlahan tapi pasti merasuk dan mengisi sudut hati ini. Rasa itu sering mengembangkan senyum bahkan tawa di tengah kesendirian dan hiruk pikuk ibukota kedua ini. Mencairkan suasana yang sering beku meski panas matahari tak jua berhenti menyengat kulitku. Rasa itu selalu menemani. Kapanpun dan dimanapun aku menapakkan kaki.

                                         @#$%^^%$#@

         Kupandangi ponselku. Ragu. Hendak mengirim pesan itu atau tidak. Akhirnya kubatalkan. Kuhapus pesan yang sudah tertulis di layar. Kurebahkan tubuhku lalu kupejamkan mataku. Mengenang hal-hal yang telah terjadi selama 2-3 minggu terakhir ini. Hal baru yang tanpa kusangka akan menjadi sejarah tersendiri dalam perjalanan hidupku. Ya. Tak pernah kusangka sama sekali jika dia yang datang jauh-jauh ke Surabaya untuk mengikuti pelatihan (yang juga kuikuti) tanpa sengaja dan tanpa rekayasa menjadi tempatku untuk berbagi rasa.
         Tapi hari ini adalah hari terakhirnya di sini. Besok dia akan pergi meninggalkan Surabaya. Dan... entah disadarinya atau tidak... sebagian hatiku juga akan dibawanya pergi. Mungkin sama dengan judul lagu Anang Hermansyah, Separuh Jiwaku Pergi, meskipun liriknya tidak mencerminkan keadaanku. Sama sekali tidak. Aku tidak dicurangi. Aku tidak disakiti. Sebaliknya, aku merasa dicintai, dikasihi, disayangi.
         Teramat singkat memang waktu kami bersama di Surabaya ini. Ingin kuperpanjang masa jika aku punya kuasa. Sayangnya aku hanyalah seorang hamba yang tidak punya daya selain meminta. Dadaku terasa agak berat jika mengingat air mata yang tak henti meleleh di pipinya saat akan berpisah dengan kawan-kawan barunya. Ingin kuhapus air mata itu dengan tanganku, tapi... ah.... Aku menyesali rasa malu yang sempat mengalahkan inginku.
         Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada sms. Dan betapa kagetnya ketika kubuka. Itu sms darinya! Sona. Tanpa sadar aku tersenyum melihat nama itu yang masuk ke inbox ponselku. Tapi hatiku malah berdebar-debar saat akan membaca isi pesan singkat itu. Aku menata hati sambil membaca basmalah. Tak peduli lagi aku perlu atau tidak aku membacanya. Aku melakukannya begitu saja. Dan saat kubaca, ternyata memang singkat saja isinya...

         “Terima kasih atas segalanya, Mas Kurnia...

         Aku tersenyum membacanya. Seolah segala tanya telah terjawab. Lega. Setelah tadi tiada kata yang mampu terucap saat berpisah di bawah purnama. Kini aku merasa tak perlu lagi kata yang diucap karena segala rasa seolah telah terjembatani. Hanya dalam hati aku bernyanyi...


Mais... si à cet instant

Très doucement, je sens ta main
Se poser sur la mienne...
De joie, je crois, je pleurerai
En répétant ces mots stupides:
"Je t'aime! Je t'aime! Je t'aime!"

            Ya... Kini... Dua hati berjuta rasa tanpa kata kini tinggal merajut asa, mendamba bahagia. Semoga...

                                          @#$%^^%$#@


             Tunggulah aku di ujung waktu
         Di kala restu telah tergenggam pasti di tanganku
                 Aku akan menjemputmu
          Mendekapmu tuk temaniku
                    Hingga akhir nafasku
                         Tunggulah aku
        Kini kutitipkan dulu janji, cinta dan hatiku kepadamu
        Jagalah hingga kusematkan cincin di jari manismu

                                             @#$%^^%$#@