Terus terang saja aku lupa kapan tepatnya aku
memulai perkuliahan di sebuah Universitas yang (katanya) salah satu yang
terbaik di Jawa Timur, bahkan Nasional. Sebut saja namanya UB. Kalau tidak
salah, sih akhir bulan Agustus tahun 2009. Lebih lupa lagi jika harus mengingat
kapan pertama kali aku melakukan daftar ulang binti registrasi akademik di
Universitas ini. Yang kuingat biasanya momen-momen menarik yang kualami, kalau
tanggal kejadian, tergantung. Misalnya saja waktu pertama kali ospek, saat itu
kami diharuskan membawa bekal hamburger buatan sendiri dengan isi telur ceplok
ditambahkan saos dan sosis kalau tidak salah. Aku yang pilih-pilih makanan
tentu akan berpikir 2 kali untuk memakan makanan yang menurutku aneh dan tidak
pernah kurasakan sebelumnya. Akhirnya waktu itu aku memutuskan untuk berpuasa
saja, haha. Karena aku sudah sering makan 2 kali sehari saat SMA, maka hal
seperti ini tidak akan terlalu mengganggu aktivitasku, meskipun saat itu ospek,
yang katanya orang, keras. Tentu saja hal itu bisa juga menjadi alasan kuat
untuk tidak memakan barang bawaan itu, haha ( daripada aku dimarahi karena memuntahkan
makanan).
Itu masa-masa ospek. Kemudian tentu
berlanjut masa ketika mulai bertemu dengan teman sekelas. Kebetulan karena
mahasiswa Bahasa dan Sastra Prancis tidak terlalu banyak, hanya sekitar 34
anak, maka kelas kami satu angkatan (angkatan 47) hanya terdiri dari 2 kelas
saja. Artinya setiap kelas hanya berisi 17 orang mahasiswa, kelas yang cukup
ideal menurutku. Berbeda dengan mahasiswa Sastra Jepang dan Sasta Inggris yang
jumlahnya bejibun, sehingga mereka terbagi menjadi berkelas-kelas, haha.
Angkatan kami yang sedikit itu
diharapkan bisa menjadi satu kesatuan yang kuat, hangat layaknya saudara
nyatanya masih belum terbentuk. Tahun pertama kami menjadi 2 blok yang jarang
menyatu antara satu dengan lainnya, antara kelas A (kelasku, yang katanya masih
imut-imut dan lugu2, katanya sih, tapi kenyataannya tidak 100% seperti itu) dan
kelas B (kelas yang menurut ketua kelasku saat itu [sosok terbesar di kelasku, sebut saja namanya
Dendry, nama sebenarnya] merupakan kelas preman, haha). Maaf, bukan bermaksud
menghina, sama sekali tidak. Itu hanya sekedar guyonan dia saat salah satu
teman sekelasku, sebut saja Yudhis (nama sebenarnya), ingin bertengkar dengan
anak fakultas lain. Si ketua kelasku tadi mengatakan bahwa dia harus mengajak
cowok2 dari kelas B karena mereka beberapa berbadan besar dan sepertinya sangat
sesuai bila dijadikan rekan setim dalam pertarungan. Karena itulah saat itu dia,
entah sadar atau tidak, memilih diksi ‘preman’ untuk teman2 kami di kelas B,
terutama yang cowok, haha.
Jujur, baru sekitar di pertengahan
2010 jarak antara kelas A dan kelas B mulai memudar karena saat itu kami
diharuskan bekerja sama bersama kakak tingkat untuk menggelar acara Multikomparasi
Mahasiswa Bahasa Prancis se-Indonesia yang diselenggarakan di UB sebagai tuan
rumah. Saat itu kami harus kami harus bekerja sama setiap hari selama seminggu
dari pagi samai sore, jadi sedikit banyak kami mulai saling mengenal teman di
kelas B, hihi. Kami mulai bisa bertukar cerita, mulai bercanda dan lain
sebagainya, bahkan kemi yang dulunya selalu memilih kelas yang sama saat
registrasi akademik, perlahan mulai berubah. Ya kadang memang mereka yang
registrasi di menit akhir, sih, akhirnya mereka harus kebagian jam kelas yang
lebih lambat dari kelas pertama, alias kelas A (hanya ada 2 pembagian jam saja
di angkatan kami, jamnya ya itu2 saja, bedanya ya hanya segitu2 aja).
Banyak hal yang kami lalui bersama. Susah
senang kuliah kami lalui bersama. Ada yang semangat, ada yang malas (wajar,
namanya juga manusia). Ada yang pergi sementara kemudian kembali lagi. Ada pula
yang pergi namun tak kunjung kembali. Begitulah. Memang kami tak selengkap
dulu, tapi life must go on, on doit continuer notre vie. Kita menjalani
hidup kita masing-masing. Mereka yang di sana kita harapkan juga meraih
kesuksesan, seperti yang kita harapkan pada diri kita sendiri.
Semester-semester akhir mungkin bisa
dibilang menjadi puncak kejenuhan (kalau menurutku, sih). Saat mata kuliah
mulai jarang, tak sepadat semester awal. Saat pertemuan mulai jarang anatara
satu orang dengan yang lain. Terkecuali mungkin mereka yang sudah menjadi BFF
atau yang memang menjadi penghuni kampus sejati macam aktivis. Meskpun begitu,
tugas masih ada lah, namanya juga masih mahasiswa. Malah terkadang lebih banyak
proyek kelompok atau individu sebagai penilaian akhir (pengganti UAS) daripada
pertemuan di kelas. Mata kuliah yang mengasah bahasa Prancis sudah tidak lagi
kami dapatkan semenjak menginjak semester 7. Bosan dengan tugas, bosan dengan
ini itu. Jenuh, tidak ada sesuatu yang baru. Kadang beberapa di antara kami
yang beruntung, masih mempunyai kegiatan lain di luar kegiatan kuliah, sehingga
kejenuhan tersebut dapat diminimalisir.
Kejenuhan utama menurutku adalah
saat skripsi, haha (ya selain memang aku tidak suka membuat karya ilmiah, sih).
Objek material yang kupakai tetap sama seperti yang kugunakan saat metode
penelitian di semester sebelumnya. Harusnya saat semester 8 (di angkatanku,
baru bisa mengambil skripsi pada semester ini, sementara di fakultas lain rata2
bisa mulai semester 7, bahkan ada yang bisa mulai dari semester 6, begitu pula
dengan angkatan bawahku) aku bisa segera menyempurnakan bahanku sebelumnya
untuk segera maju seminar proposal, bukan? Nyatanya? Aku termasuk golongan
terakhir yang melaksanakan seminar proposal. Mengapa? Karena aku malas. Ya. Sangat.
Aku tidak serajin rekan-rekanku yang lain. Mereka bisa memaksakan diri untuk
tetap semangat mengerjakan skripsi walaupun mereka jenuh, walaupun mereka
lelah, walaupun mereka sebenarnya juga tidak terlalu suka (mungkin). Namun aku
masih berkutat dengan mood-ku.
Hasilnya tentu bisa dilihat, rekan
pertamaku melaksanakan seminar proposalnya di awal bulan April (2013). Ada juga
yang di akhir bulan April. Di mana aku? Pergerakanku ke arah skripsi masih tersendat-sendat
walaupun sudah mulai kusentuh. Awal Mei ada lagi beberapa rekanku yang
melaksanakan sempro. Saat itu aku masih dalam masa revisi, dan aku baru
melaksanakan sempro di pertengahan Mei. Ada pula yang melaksanakan setelah aku.
Parahnya, setelah sempro aku tidak lagi melihat skripsiku. Moodku hilang entah
ke mana. Awalnya aku hanya ingin rehat sejenak dari aktivitas mengerjakan
skripsi nyatanya hal terus berlanjut. Rekanku awalnya ada yang merasakan hal
yang sama denganku. Kami menamainya sindrom pasca sempro, haha. Bedanya, mereka
masih bisa bangkit, masih bisa memaksakan diri untuk bangkit. Ups, ralat. Mungkin
lebih tepatnya mereka masih mau melakukan hal itu, atau memaksakan diri untuk mau
(kalau sebenarnya mereka tidak mau), namun hal itu yang tidak terjadi padaku. Aku
masih menuruti mood yang menginginkan
untuk rehat, rehat dan rehat. Sementara rekanku mulai berjalan lagi, aku masih
diam di tempat. Sampai akhirnya aku kesal dengan diriku sendiri yang kalah oleh
mood. Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku bingung dengan apa yang harus kulakukan. Aku takut. Aku sedih. Aku
jengkel. Aku marah. Aku sedih melihat diriku sendiri yang selemah ini. hingga
akhirnya air mata yang menjadi saksi saat kuutarakan kekalutanku pada orang
tuaku, pada ibuku, pada ayahku, pada kakak perempuanku. Aku takut. Aku takut
tidak lulus tepat waktu. Hal yang sangat kuinginkan sebelumnya. Aku takut. Aku takut
mengecewakan orang tuaku. Aku marah pada diriku yang lemah.
Namun kata-kata dari ibu, ayah dan
kakakku sedikit banyak mengobati kekesalan itu. Meskipun begitu, tetap tersisa
penyesalan pada diriku karena aku masih merasa aku telah mengecewakan mereka. Mereka
menenangkanku untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, menyuruhku untuk fokus
saja pada semester depan. Ya. Aku menambah masa kuliahku. Setengah tahun. Satu semester
lagi. Beban bagi orang tuaku lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Sedih? Sangat. Menyesal?
Iya. Terlebih melihat beberapa rekanku telah lulus dan wisuda terlebih dahulu. Bahkan
salah satu orang yang kusuka, Hinata Neesan, Ma Première Déesse, juga lulus dan
wisuda bersama mereka. Dan aku melewatkan kesempatan itu.
Namun aku tidak berubah begitu saja.
Di awal semester baru pun aku masih kesulitan untuk memulai lagi. Kadang objek
materiku hanya kulihat, hanya kubaca, namun tak kuapa-apakan. Kadang saat
berkumpul dan bercanda bersama teman2ku, aku sempat memikirkan apa yang
inginkutulis nantinya, bagaimana jalannya penelitianku selanjutnya. Namun semua
hasilnya hanya ada di angan. Begitu pula saat aku mandi, aku sering mendapat
inspirasi menulis cerpen atau puisi saat aku berada di kamar mandi, saat
tubuhku diguyur dengan dinginnya air yang menjernihkan kepala dan pikiranku. Namun
karena tak kunjung kutulis, hal itu menghilang begitu saja, menyisakan hanya
sedikit sisa-sisa kata yang kuingat.
Awal semester aku terkadang masih
menjadi pengajar pengganti untuk mereka yang belajar bahasa Prancis di UPT
lintas bahasa. Dengan kemampuan seadanya ya kujalani saja. Lumayan, selain
membunuh waktu dan kejenuhan, hal itu menurutku juga penting untuk menambah
pengalaman. Guiding juga sempat
kulakoni walaupun hanya 2 kali, pada bulan Juli dan bulan Oktober lalu. Saat rekanku wisuda pada
tanggal 6 Oktober, aku berada di Bromo. Skripsi? Tersentuh sedikit kalau tidak
mau dibilang belum tersentuh. Setelah guiding
itu ada beberapa kali pertemuan aku membantu dosen bersama adik tingkatku untuk
melakukan sosialisasi ujian DELF (anggap saja semacam TOEFL-nya bahasa Prancis,
tapi berlaku seumur hidup lhoo.. haha ) di SMA 1 Malang. Setelah itu masih membantu-bantu lagi menjadi
pengajar pengganti di les UPT lagi, bergantian dengan salah satu dosen
pembimbing skripsiku. Tidak menguras waktu sebenarnya, tapi ya itu tadi
stimulasi untuk mengerjakan skripsi kurang (atau mungkin tidak kurasakan, ya? Haha).
Terlebih dosen pembimbingku jarang mencariku, hihi.
Bisa dibilang aku benar-benar mulai bergerak di
bulan November. Saat itu aku pertama kali memberikan uraian di bab III setelah
sekian lama menghilang. Itupun hanya 6 halaman. Mungkin kalian yang membaca
tulisan akan berkata “how pathetic...”
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin kalian juga geregetan dengan
sikapku, hihi. Revisi kudapat dari dosbing I dan II, kemudian dosbing II
memintaku menyelesaikan revisi dengan beliau terlebih dahulu sebelum ke dosbing
I, dan hal itu disetujui oleh dosbing I (biasanya ke dosbing I dulu, baru ke
dosbing II). Beberapa kali aku revisi dengan dosbing II, aku kembali bosan. Terlebih
aku hanya bisa bertemu dengan dosbing II sekali dalam seminggu pada hari Jum’at.
Aku bosan menunggu. Aku bosan dengan revisi. Akhirnya aku berhenti lagi. Aku pergi
lagi. Tanpa kabar. Aku kembali mencari moodbooster
untuk rajin mengerjakan skripsi lagi. Menonton puluhan episode anime, menyewa
puluhan komik dan melakukan banyak hal yang kusukai. Hingga pada awal tanggal
belasan bulan Desember aku kembali menemukan keinginanku untuk mengerjakan
skripsiku.
Saat itu aku bahkan sampai mematikan sementara
hubunganku dengan dunia maya (facebook,
twitter, WA, Line dkk). Yang aktif saat itu hanya akun instagramku. Aku ingin
fokus mengerjakan skripsi. Aku menemukan gairah untuk menyelesaikannya. Terlebih
menurutku sudah mendekati deadline
(mungkin ini yang menjadi pemicu utama, haha). Pilihannya, memaksa untuk
mengerjakan atau bersantai dan menambah semester lagi, dan membayar lagi. Aku memilih
pilihan pertama. Hingga dapat kuselesaikan skripsi mentah bab III dan IV pada
pertengahan Desember. Tidak mentah-mentah amat sih, sebenarnya karena
sebelumnya sudah pernah kukonsultasikan dengan dosbing II. Hampir sebulan lalu.
Dosbing I sempat kaget waktu kuberitahu tentang
pengumuman terakhir pendaftaran ujian skripsi, yaitu akhir tanggal tunggal di
bulan Januari. Namun setelah kukonfirmasikan, ternyata diundur menjadi
pertengahan Januari. Beliau mengatakan bahwa pasti akan mencoba mengejar
deadline tersebut. Revisi kami lakukan, tidak terlalu banyak revisi dari
dosbing I. Beliau mengatakan bahwa revisi akan dilakukan sambil jalan. Akhirnya
di akhir Desember beliau mengatakan bahwa aku dapat memulai revisi dengan
dosbing II. Awalnya kukira tidak terlalu banyak revisi dari dosbing II, namun
ternyata separuh umur Januari dihabiskan untuk revisi dengan beliau. Kesal? Capek?
Bosan? Ya. Sangat. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak punya pilihan lain selain
menurut. Kalaupun aku merengek meminta untuk dipercepat juga belum tentu
dikabulkan.
Akhirnya setelah berpacu dengan waktu tanpa melodi,
aku bisa menyelesaikan revisi dan mendaftar untuk seminar hasil. Seminal hasil
yang dilaksanakan sehari setelah hari pendaftaran ( aku mendaftar tanggal 15
Januari) kulalui dengan peluh. Mengapa? Karena dari 1,5 jam alokasi waktu untuk
seminar hasil, 1 jam dihabiskan sendiri oleh penguji yang juga merupakan
Kaprodiku. Alhasil semhasku selesai dalam waktu kira-kira 1 jam 45 menit alias
hampir 2 jam. Revisinya? Lumayan. Setelah konsultasi dengan dosbing I, segera
kurevisi sesuai saran beliau (aku juga segera mendaftar ujian skripsi di
tanggal terakhir pendaftaran, tanggal 17). Kucari buku-buku di perpustakaan
untuk menambah data di bab kedua. Setelah kukembalikan dan mendapatkan revisi,
aku mengirimkannya kembali kepada beliau, tentu setelah kurevisi sekali lagi
(tanggal 23). Kukira aku akan segera mendapat balasan email dari beliau, namun
ternyata tepat seminggu setelah kukirimkan revisi terakhirku, beliau membalas
dan mengatakan bahwa aku bisa melakukan dengan dosbing II (tanggal 30). Sangat mepet
menurutku, karena dosbing I, II dan penguji setuju untuk melaksanakan ujian
pada tanggal 4 Februari.
Tanggal tersebut kupilih karena aku telah melewatkan
satu tanggal yang sangat ingin kupakai sebagai tanggal ujian skripsiku. Kalian tahu?
Tanggal ulang tahun Hinata Neesan. Aku sangat ingin bisa melaksanakan ujian
skripsi dan mendapatkan gelar sarjana pada tanggal itu. Namun apa mau dikata,
aku tak bisa melakukan hal itu karena terbentur banyak hal. Akhirnya ketika
dosbingku menawarkan antara tanggal 4-7 Februari untuk ujian, aku memilih
tanggal 4, karena selain pas satu minggu setelah tanggal ulang tahun Hinata
Neesan, tanggal itu adalah tanggal kelahiranku, yang artinya hari ini! :D Setelah
aku melewatkan tanggal lahir Hinata Neesan sebagai tanggal ujianku, aku memilih
tanggal lahirku sendiri sebagai tanggal Last
Battle-ku. Terlebih besok, tanggal 5 merupakan tanggal ulang tahun ibuku,
jadi sekalian meraih gelar sarjana pada tanggal lahirku, kemudian hal itu bisa
juga menjadi kado untuk ibuku. Kuharap beliau menyukainya.
Tadi, sempat aja kejadian menjengkelkan saat penguji
meminta untuk mengganti jam ujian menjadi jam 12 setelah sebelumnya telah
disepakati pada jam 11. Kalau beliau mengatakan sehari sebelumnya masih
mending, tapi beliau baru menginformasikan padaku bahwa beliau ada acara
mendadak penting pada tanggal 4 Februari jam 9.58 via sms, yang artinya 1 jam 2
menit sebelum ujian. Beruntung kedua dosbing setuju dan juga tidak masalah
dengan penggunaan ruang ujiannya
Aku tegang waktu ujian. Bahasa Prancis yang kugunakan
baik saat presentasi maupun saat tanya jawab belepotan sana sini sampai-sampai
dosbing II ku beberapa kali tertawa melihat tingkahku yang kebingungan. Setelah
1 jam 15 menit, aku diminta keluar ruangan untuk menunggu hasil rundingan para
dosbing dengan penguji mengenai nasibku. Di luar meskipun aku tertawa2 dengan
rekanku, namun dalam hati tetap saja aku merasa dagdigdug. Setelah berapa lama,
aku dipanggil lagi ke dalam ruangan. Awalnya dosbing I dan penguji mengatakan
hal yang membuat hatiku lemas, mereka mengatakan bahwa aku akan diminta untuk
melakukan ujian ulang, dalam hati aku bertanya, separah itukah presentasi dan
jawaban yang kuberikan pada mereka.
Mereka menenangkan hatiku dengan kata-kata bijak “ya
namanya juga hidup, ada liku-likunya” atau semacam itulah untuk menguatkan
hatiku. Pengujiku malah sempat menanyakan tanggal terakhir ujian, sehingga aku
sempat mengira bahwa itu merupakan kenyataan yang memang harus kuhadapi. Namun ternyata
semua itu tak perlu kulakukan karena setelahnya dosbing I menyatakan bahwa aku akhirnya
LULUS!!! Seketika hatiku lega bukan main. Akhirnya setelah sekian lama, setelah
banyak kebosanan dan kemalasan yang kulalui, aku mendapatkan gelar sarjana. Alhamdulillah...
setidaknya aku telah memenuhi kewajibanku kepada orangtuaku yang telah bersusah
payah menyekolahkanku sampai jenjang ini. Dan kini, saatnya menghadapi
kehidupan yang sebenarnya. Ya. Ini bukan akhir segalanya. Tapi awal dari
kerasnya kehidupan yang harus kulalui dalam perjalanan hidupku.
Terima kasih untuk orang tua dan keluargaku atas do’a,
dukungan yang yang diberikan, terima kasih atas kesabaran menanti anak nakalnya
ini menjadi sarjana (belum wisuda sih memang, tapi setidaknya one step closer.. hehe ). Kepada dosbing2ku
terima kasih telah sabar menemani saya meskipun saya sering menghilang, malas, moody, dkk, saya masih akan merepotkan Anda
sedikit lagi, tapi terima kasih atas bantuannya selama ini sampai mencapai
gelar ini. Teruntuk sahabat2, teman2 yang selama ini telah membantu dengan do’a,
support dan lain sebagainya, terima kasih atas segalanya. Jazakumullah khairan katsira :). Yang paling spesial tentu untuk Tuhanku tercinta,
Allah SWT, karena telah mendengarkan segala keluh kesahku yang jarang bersyukur
ini dengan segala kenikmatan yang tak pernah terhenti tercurah kepadaku yang
penuh dosa ini. Terima kasih Engkau telah memberikan aku kekuatan untuk
menghadapi segalanya. Terima kasih karena Engkau selalu bersamaku, bagaimanapun
keadaanku. :)
Sedikit saran:
***Menurutku untuk menyelesaikan skripsi terkadang tidak
membutuhkan orang yang pintar segalanya, namun orang yang berkemauan keras, gigih,
rajin, dan memiliki ketahanan diri (lahir dan bathin) yang lebih dari yang lain,
seperti yang telah ditunjukkan oleh rekan2ku yang lulus sebelum aku, maupun
adik2 tingkatku yang lulus bersamaan denganku. Kalau seorang yang pintar
memiliki beberapa hal di atas, tentu itu lebih plus plus lagi... hehe :)
***Waktu berlalu begitu cepat Bro, Sist... kayaknya
baru kemaren aku ospek... sekarang udah lulus aja... ( saran macam apa ini??? -_-
)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar