Hidup sebagai artis, mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang
luar biasa. Apalagi jika namanya semakin lama semakin tenar dan
semakin dikenal, tentu saja akan membahagiakan orang tersebut. Tapi,
ada pandangan bahwa artis kadangkala – bahkan mungkin sering –
bersikap egois, semaunya sendiri. Merasa dirinya telah memiliki semua
dan mampu melakukan segalanya, dia bisa berbuat sesukanya. Namun hal
ini bisa berakibat buruk ketika dia telah memiliki pasangan. Hubungan
tidak akan terjalin dengan harmonis jika tidak menghilangkan atau
setidaknya meminimalisasi sifat egois, seperti yang dipahami penulis
dari cerpen berjudul Le Modèle.
Di
cerpen tersebut diceritakan bahwa seorang pelukis tertarik kepada
model lukisannya yang rupawan. Dia yakin bahwa dia memang mencintai
gadis itu dan dia berjanji untuk setia dan hidup bersamanya. Setelah
beberapa bulan, hubungan mereka tidak berjalan dengan baik karena si
pelukis cenderung acuh terhadap si gadis. Hingga akhirnya terjadi
“perang besar” di antara mereka berdua tiga bulan kemudian. Si
pelukis berniat untuk mengakhiri semuanya. Dia meninggalkan uang
hasil penjualan lukisan dan hasil pinjaman dari temannya kepada gadis
itu, kemudian pergi begitu saja. Dia memilih untuk tinggal di rumah
temannya.
Si
gadis yang tidak terima diperlakukan seperti itu, mendatanginya lagi
dan mengembalikan uang yang telah diberikan kepadanya. Dia menyatakan
bahwa dia tidak membutuhkan uang, dia hanya ingin dijaga dan
diperhatikan. Namun si pelukis ternyata akan dinikahkan oleh orang
tuanya. Si gadis mengancam akan bunuh diri jika pelukis itu tetap
menikah. Si pelukis yang tidak ingin termakan ancaman seorang gadis
malah menantangnya. Dia mempersilakan gadis itu untuk bunuh diri.
Ternyata omongan gadis itu bukan sekedar ancaman belaka, dia
benar-benar mencoba untuk bunuh diri dengan melompat dari jendela.
Akibatnya, dia tidak bisa lagi berjalan, dan karena si pelukis merasa
menyesal dan tersentuh hatinya, dia memutuskan untuk menikahi gadis
itu.
Menurut
pandangan penulis, dari cerpen tersebut tergambar sifat lelaki yang
cenderung egois, memikirkan dirinya sendiri. Hal tersebut
direfleksikan dari tokoh si pelukis. Apalagi sebelumnya sudah muncul
anggapan umum tentang bagaimana kehidupan seorang pelukis yang
cenderung memiliki hubungan pernikahan yang aneh di mata orang.
Mereka menganggap bahwa pelukis menikahi hampir semua modelnya,
ataupun nyonya-nyonya tua. Selain itu muncul pula anggapan bahwa si
pelukis menikahi gadis itu karena dia terlanjur cacat. Mereka mungkin
menganggap itu merupakan suatu kebodohan jika menikahi seseorang
karena merasa kasihan atau iba belaka.
Entah hal itu merupakan suatu kebodohan atau bukan, tapi kenyatannya
si pelukis harus “rela” menikahi gadis yang terlanjur cacat,
sesuatu yang pada awalnya tidak dia inginkan. Sedikit banyak, si
pelukis juga turut andil membuat gadis itu cacat. Karena sikapnya
yang acuh dan egois serta kurang bisa memahami perasaan wanita-lah
yang menyebabkan gadis itu berbuat nekat. Dan ketika gadis itu
benar-benar membuktikan ucapannya, tidak ada yang tersisa dalam diri
si pelukis selain penyesalan yang dalam. Sebuah perasaan yang
pastinya tidak akan bisa hilang dengan mudah.
Memang, penyebab gadis itu cacat memang bukan hanya kesalahan si
pelukis, namun juga gadis itu sendiri. Dia yang sudah gelap mata dan
seolah sudah tidak mempedulikan apa-apa lagi bahkan hidupnya sendiri,
nekat melompat dari jendela untuk membuktikan bahwa kata-katanya
bukan sekedar ancaman belaka. Seharusnya jika dinalar, apa yang
dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah kebodohan. Tidak sepatutnya
dia mengorbankan nyawanya sendiri yang sangat berharga hanya demi
memenuhi “tantangan” dari laki-laki yang telah meninggalkannya.
Orang pasti banyak yang berpikir lebih baik mencari pasangan lain,
karena laki-laki tidak hanya satu di dunia, apalagi ketika dia sudah
mengetahui “keburukan” laki-laki itu sebelum melanjutkan ke
jenjang pernikahan. Orang yang luar biasa biasanya akan memilih untuk
bersyukur karena mengetahui lebih awal lebih baik daripada terlambat
di kemudian hari.
Sayangnya, terkadang bagi wanita emosi lebih berperan daripada
logika. Seperti kritikan atau lebih tepatnya pandangan laki-laki
terhadap sifat wanita yang sulit ditebak yang dijabarkan di halaman
59. Di bagian tersebut dinyatakan bahwa wanita itu perasaannya mudah
berubah, emosi yang terkadang bahkan sering tidak bisa ditebak,
mereka juga sering melakukan hal tidak terduga yang sering tidak bisa
dipahami oleh pihak laki-laki. Seolah semua itu merupakan teka-teki
yang tak terpecahkan bagi para lelaki. Tidak sepenuhnya salah memang,
tinggal bagaimana cara menghadapinya, karena hal itu adalah sesuatu
yang alamiah dan sudah ada dalam diri setiap wanita.
Menurut
penulis, keinginan para wanita sebenarnya sederhana. Mereka ingin
dimengerti. Namun begitu sederhananya keinginan mereka sehingga
membuat para lelaki kebingungan untuk memenuhinya. Seperti gadis
bernama Joséphine itu. Keinginannya sederhana, dia ingin
diperhatikan dan dijaga oleh Jean Summer sang pelukis. Dia juga
berkata bahwa dia tidak membutuhkan uang dari Jean, dia menginginkan
kasih sayangnya. Tidak dipungkiri materi itu penting, namun
terkadang pemenuhan kebutuhan bathiniyah bisa menjadi lebih mendesak
daripada kebutuhan ragawi. Hal itu yang sebenarnya dituntut oleh
Joséphine. Tapi Jean yang merasa sudah memberikan semuanya tidak
bisa memahami apa keinginan Joséphine.
Mungkin di sinilah penyebab masalah di antara mereka. Jean kurang
bisa mempelajari dan memahami keinginan wanita sehingga dia bertindak
dan berpikir dari sudut pandangnya pribadi, tanpa melihat sudut
pandang Joséphine yang telah menjalin hubungan dengannya. Terlebih
dia adalah seorang laki-laki dan seorang pelukis. Laki-laki bisa
dibilang cukup terkenal dengan sifatnya yang egois, bukan berarti
wanita tidak, tapi sifat itu biasanya lebih dominan ada pada diri
laki-laki. Lalu seorang pelukis juga cenderung lebih tertutup, banyak
berdiam diri dengan pemikirannya sendiri. Begitu pula ketika membuat
karya, meskipun ada obyek di depan mata, mereka pastinya punya
interpretasi tersendiri untuk memunculkan aura dari karyanya
tersebut. Interpretasi itu tentunya tidak mungkin bisa berkembang
jika dia mudah dipengaruhi oleh orang lain. Pun ketika tidak ada
hasrat untuk membuat karya atau melanjutkan karya yang tertunda,
mereka pastinya lebih memilih untuk diam dan mencari inspirasi,
kemudian akan kembali berkarya ketika hasrat itu telah muncul
kembali. Mungkin karena profesinya itu pula sifat egois dari seorang
laki-laki seperti Jean menjadi lebih besar.
Hal
seperti itu yang harusnya dihindari ketika seseorang sudah memutuskan
untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain. Jean yang awalnya
sudah berjanji akan setia dan hidup bersama Joséphine harusnya
menepati janjinya itu dan harus mau berubah menjadi lebih baik demi
keharmonisan hidup berpasangan. Joséphine, terlepas dari segala
kekurangan yang ada dalam dirinya, sebagai seorang wanita ketika ada
seorang laki-laki yang memohon kepadanya dan berjanji kepadanya,
tentu dia akan menantikan realisasi dari janji tersebut. Dia ingin
hidup sebagaimana layaknya pasangan. Dan ketika hal itu tidak
terpenuhi, bahkan dia akan dikhianati, wanita pasti akan sakit hati
diperlakukan seperti itu. Apalagi ketika Jean meninggalkan uang
untuknya, dia merasa harga diri dan hidupnya sebagai seorang wanita
seolah bisa dibeli dengan uang. Wanita manapun tidak akan terima jika
diperlakukan semena-mena seperti itu. Jadi jangan heran jika ada
sebagian orang yang membenarkan tindakan nekat dari Joséphine. Bisa
jadi dengan kenekatan itu menunjukkan bahwa lelaki tidak bisa begitu
saja mempermainkan wanita, habis manis sepah dibuang. Dengan
kenekatan itu pula paling tidak bisa membuat luka di hati yang tidak
akan pernah hilang dalam diri seorang laki-laki yaitu penyesalan.
Mungkin bagi para pihak yang pro, mereka menganggap itu adalah “balas
dendam” dan “balasan setimpal” dari apa yang telah dilakukan
oleh laki-laki kepada wanita.
Karena
itulah dalam suatu hubungan, penulis berpikir bahwa kita sudah tidak
bisa berbicara lagi tentang ego pribadi. Mau bagaimana lagi, kita
sudah memutuskan untuk hidup bersama, itu artinya ada hak orang lain
yang wajib dipenuhi, bukan hanya pemikiran kita sendiri yang harus
diikuti, bukan hanya perasaan kita yang harus dimengerti, tapi juga
cara berpikir dan perasaan pasangan kita. Seorang laki-laki harus mau
menurunkan kadar keegoisannya dan mencoba belajar untuk memahami
keinginan pasangan. Begitu pula seorang wanita harus mau mengatur
emosinya dan tidak hanya berpegang pada perasaannya. Bukan hanya
wanita yang ingin dimengerti, laki-laki juga butuh pengertian dari
pasangan.
Intinya,
tidak ada yang lebih baik daripada mencari keseimbangan, keselarasan
dan keharmonisan dalam hidup berpasangan. Jika hal itu tidak
terpenuhi, tidaklah mengherankan jika kita menemui banyaknya pasangan
yang sudah terikat oleh janji suci pernikahan putus dengan begitu
mudahnya dan tanpa pikir panjang. Tidak mengherankan pula jika banyak
orang yang mulai antipati dengan hubungan sah seperti itu dan lebih
memilih hubungan yang lebih “bebas” daripada hubungan yang
“terikat”. Mereka sudah gerah dengan keegoisan yang masih
mendominasi dalam kehidupan berpasangan. Karena itulah kita harus
bisa mengendalikan sifat-sifat yang sekiranya bisa mengganggu
kehidupan berpasangan demi mendapatkan kehidupan yang harmonis dan
langgeng.
Praditya
dian Tami Anggara / 0911130007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar