"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Jumat, 06 Januari 2012

Ulasan Cerpen Perancis :Le Modele"

                                                    Hubungan Berbalut Keegoisan?


Hidup sebagai artis, mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang luar biasa. Apalagi jika namanya semakin lama semakin tenar dan semakin dikenal, tentu saja akan membahagiakan orang tersebut. Tapi, ada pandangan bahwa artis kadangkala – bahkan mungkin sering – bersikap egois, semaunya sendiri. Merasa dirinya telah memiliki semua dan mampu melakukan segalanya, dia bisa berbuat sesukanya. Namun hal ini bisa berakibat buruk ketika dia telah memiliki pasangan. Hubungan tidak akan terjalin dengan harmonis jika tidak menghilangkan atau setidaknya meminimalisasi sifat egois, seperti yang dipahami penulis dari cerpen berjudul Le Modèle.
         Di cerpen tersebut diceritakan bahwa seorang pelukis tertarik kepada model lukisannya yang rupawan. Dia yakin bahwa dia memang mencintai gadis itu dan dia berjanji untuk setia dan hidup bersamanya. Setelah beberapa bulan, hubungan mereka tidak berjalan dengan baik karena si pelukis cenderung acuh terhadap si gadis. Hingga akhirnya terjadi “perang besar” di antara mereka berdua tiga bulan kemudian. Si pelukis berniat untuk mengakhiri semuanya. Dia meninggalkan uang hasil penjualan lukisan dan hasil pinjaman dari temannya kepada gadis itu, kemudian pergi begitu saja. Dia memilih untuk tinggal di rumah temannya.
         Si gadis yang tidak terima diperlakukan seperti itu, mendatanginya lagi dan mengembalikan uang yang telah diberikan kepadanya. Dia menyatakan bahwa dia tidak membutuhkan uang, dia hanya ingin dijaga dan diperhatikan. Namun si pelukis ternyata akan dinikahkan oleh orang tuanya. Si gadis mengancam akan bunuh diri jika pelukis itu tetap menikah. Si pelukis yang tidak ingin termakan ancaman seorang gadis malah menantangnya. Dia mempersilakan gadis itu untuk bunuh diri. Ternyata omongan gadis itu bukan sekedar ancaman belaka, dia benar-benar mencoba untuk bunuh diri dengan melompat dari jendela. Akibatnya, dia tidak bisa lagi berjalan, dan karena si pelukis merasa menyesal dan tersentuh hatinya, dia memutuskan untuk menikahi gadis itu.
        Menurut pandangan penulis, dari cerpen tersebut tergambar sifat lelaki yang cenderung egois, memikirkan dirinya sendiri. Hal tersebut direfleksikan dari tokoh si pelukis. Apalagi sebelumnya sudah muncul anggapan umum tentang bagaimana kehidupan seorang pelukis yang cenderung memiliki hubungan pernikahan yang aneh di mata orang. Mereka menganggap bahwa pelukis menikahi hampir semua modelnya, ataupun nyonya-nyonya tua. Selain itu muncul pula anggapan bahwa si pelukis menikahi gadis itu karena dia terlanjur cacat. Mereka mungkin menganggap itu merupakan suatu kebodohan jika menikahi seseorang karena merasa kasihan atau iba belaka.
Entah hal itu merupakan suatu kebodohan atau bukan, tapi kenyatannya si pelukis harus “rela” menikahi gadis yang terlanjur cacat, sesuatu yang pada awalnya tidak dia inginkan. Sedikit banyak, si pelukis juga turut andil membuat gadis itu cacat. Karena sikapnya yang acuh dan egois serta kurang bisa memahami perasaan wanita-lah yang menyebabkan gadis itu berbuat nekat. Dan ketika gadis itu benar-benar membuktikan ucapannya, tidak ada yang tersisa dalam diri si pelukis selain penyesalan yang dalam. Sebuah perasaan yang pastinya tidak akan bisa hilang dengan mudah.
Memang, penyebab gadis itu cacat memang bukan hanya kesalahan si pelukis, namun juga gadis itu sendiri. Dia yang sudah gelap mata dan seolah sudah tidak mempedulikan apa-apa lagi bahkan hidupnya sendiri, nekat melompat dari jendela untuk membuktikan bahwa kata-katanya bukan sekedar ancaman belaka. Seharusnya jika dinalar, apa yang dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah kebodohan. Tidak sepatutnya dia mengorbankan nyawanya sendiri yang sangat berharga hanya demi memenuhi “tantangan” dari laki-laki yang telah meninggalkannya. Orang pasti banyak yang berpikir lebih baik mencari pasangan lain, karena laki-laki tidak hanya satu di dunia, apalagi ketika dia sudah mengetahui “keburukan” laki-laki itu sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan. Orang yang luar biasa biasanya akan memilih untuk bersyukur karena mengetahui lebih awal lebih baik daripada terlambat di kemudian hari.
Sayangnya, terkadang bagi wanita emosi lebih berperan daripada logika. Seperti kritikan atau lebih tepatnya pandangan laki-laki terhadap sifat wanita yang sulit ditebak yang dijabarkan di halaman 59. Di bagian tersebut dinyatakan bahwa wanita itu perasaannya mudah berubah, emosi yang terkadang bahkan sering tidak bisa ditebak, mereka juga sering melakukan hal tidak terduga yang sering tidak bisa dipahami oleh pihak laki-laki. Seolah semua itu merupakan teka-teki yang tak terpecahkan bagi para lelaki. Tidak sepenuhnya salah memang, tinggal bagaimana cara menghadapinya, karena hal itu adalah sesuatu yang alamiah dan sudah ada dalam diri setiap wanita.
        Menurut penulis, keinginan para wanita sebenarnya sederhana. Mereka ingin dimengerti. Namun begitu sederhananya keinginan mereka sehingga membuat para lelaki kebingungan untuk memenuhinya. Seperti gadis bernama Joséphine itu. Keinginannya sederhana, dia ingin diperhatikan dan dijaga oleh Jean Summer sang pelukis. Dia juga berkata bahwa dia tidak membutuhkan uang dari Jean, dia menginginkan kasih sayangnya. Tidak dipungkiri materi itu penting, namun terkadang pemenuhan kebutuhan bathiniyah bisa menjadi lebih mendesak daripada kebutuhan ragawi. Hal itu yang sebenarnya dituntut oleh Joséphine. Tapi Jean yang merasa sudah memberikan semuanya tidak bisa memahami apa keinginan Joséphine.
Mungkin di sinilah penyebab masalah di antara mereka. Jean kurang bisa mempelajari dan memahami keinginan wanita sehingga dia bertindak dan berpikir dari sudut pandangnya pribadi, tanpa melihat sudut pandang Joséphine yang telah menjalin hubungan dengannya. Terlebih dia adalah seorang laki-laki dan seorang pelukis. Laki-laki bisa dibilang cukup terkenal dengan sifatnya yang egois, bukan berarti wanita tidak, tapi sifat itu biasanya lebih dominan ada pada diri laki-laki. Lalu seorang pelukis juga cenderung lebih tertutup, banyak berdiam diri dengan pemikirannya sendiri. Begitu pula ketika membuat karya, meskipun ada obyek di depan mata, mereka pastinya punya interpretasi tersendiri untuk memunculkan aura dari karyanya tersebut. Interpretasi itu tentunya tidak mungkin bisa berkembang jika dia mudah dipengaruhi oleh orang lain. Pun ketika tidak ada hasrat untuk membuat karya atau melanjutkan karya yang tertunda, mereka pastinya lebih memilih untuk diam dan mencari inspirasi, kemudian akan kembali berkarya ketika hasrat itu telah muncul kembali. Mungkin karena profesinya itu pula sifat egois dari seorang laki-laki seperti Jean menjadi lebih besar.
            Hal seperti itu yang harusnya dihindari ketika seseorang sudah memutuskan untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain. Jean yang awalnya sudah berjanji akan setia dan hidup bersama Joséphine harusnya menepati janjinya itu dan harus mau berubah menjadi lebih baik demi keharmonisan hidup berpasangan. Joséphine, terlepas dari segala kekurangan yang ada dalam dirinya, sebagai seorang wanita ketika ada seorang laki-laki yang memohon kepadanya dan berjanji kepadanya, tentu dia akan menantikan realisasi dari janji tersebut. Dia ingin hidup sebagaimana layaknya pasangan. Dan ketika hal itu tidak terpenuhi, bahkan dia akan dikhianati, wanita pasti akan sakit hati diperlakukan seperti itu. Apalagi ketika Jean meninggalkan uang untuknya, dia merasa harga diri dan hidupnya sebagai seorang wanita seolah bisa dibeli dengan uang. Wanita manapun tidak akan terima jika diperlakukan semena-mena seperti itu. Jadi jangan heran jika ada sebagian orang yang membenarkan tindakan nekat dari Joséphine. Bisa jadi dengan kenekatan itu menunjukkan bahwa lelaki tidak bisa begitu saja mempermainkan wanita, habis manis sepah dibuang. Dengan kenekatan itu pula paling tidak bisa membuat luka di hati yang tidak akan pernah hilang dalam diri seorang laki-laki yaitu penyesalan. Mungkin bagi para pihak yang pro, mereka menganggap itu adalah “balas dendam” dan “balasan setimpal” dari apa yang telah dilakukan oleh laki-laki kepada wanita.
          Karena itulah dalam suatu hubungan, penulis berpikir bahwa kita sudah tidak bisa berbicara lagi tentang ego pribadi. Mau bagaimana lagi, kita sudah memutuskan untuk hidup bersama, itu artinya ada hak orang lain yang wajib dipenuhi, bukan hanya pemikiran kita sendiri yang harus diikuti, bukan hanya perasaan kita yang harus dimengerti, tapi juga cara berpikir dan perasaan pasangan kita. Seorang laki-laki harus mau menurunkan kadar keegoisannya dan mencoba belajar untuk memahami keinginan pasangan. Begitu pula seorang wanita harus mau mengatur emosinya dan tidak hanya berpegang pada perasaannya. Bukan hanya wanita yang ingin dimengerti, laki-laki juga butuh pengertian dari pasangan.
            Intinya, tidak ada yang lebih baik daripada mencari keseimbangan, keselarasan dan keharmonisan dalam hidup berpasangan. Jika hal itu tidak terpenuhi, tidaklah mengherankan jika kita menemui banyaknya pasangan yang sudah terikat oleh janji suci pernikahan putus dengan begitu mudahnya dan tanpa pikir panjang. Tidak mengherankan pula jika banyak orang yang mulai antipati dengan hubungan sah seperti itu dan lebih memilih hubungan yang lebih “bebas” daripada hubungan yang “terikat”. Mereka sudah gerah dengan keegoisan yang masih mendominasi dalam kehidupan berpasangan. Karena itulah kita harus bisa mengendalikan sifat-sifat yang sekiranya bisa mengganggu kehidupan berpasangan demi mendapatkan kehidupan yang harmonis dan langgeng.

Praditya dian Tami Anggara / 0911130007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar