Dua orang lelaki muda berjalan, dan berhenti di depan bangku putih yang ada di sebelah taman.
Naid : Tunggu sebentar...! Apa maksudmu?
Keyd : Maksudku?? Maksudmu?
Naid : Katakan. Kau menyerah?
Keyd : Menyerah? Siapa? Aku?
Naid : Siapa lagi? Jelas! Kau!
Keyd : Menyerah soal apa?
Naid : Ayolah, kau jangan berlagak tolol.
Keyd : Aku tidak tolol, hanya kurang pandai.
Naid : Hentikan candaanmu yang sama sekali tidak lucu itu.
Keyd : Aku tidak sedang bercanda kok.
Naid : Sudahlah. Jawabanmu semakin lama semakin jauh dari pokok pembicaraan.
Keyd : Tinggal didekatkan, kan?
Naid :
Jangan bicara dulu, dan jangan menyelaku. Biar kulanjutkan dulu
kata-kataku! Kutanya kau sekali lagi. Apakah kau menyerah? Mengapa kau
menyerah begitu mudah? Katakan...
Keyd : …..
Naid : Hei! Aku bertanya kepadamu! Kenapa tak kau jawab?
Keyd : Kau yang menyuruhku untuk diam, bukan?
Naid : Cobalah untuk serius sedikit, Keyd! Mengapa selalu saja kau membu...
Keyd : Siapa yang mengatakan bahwa aku menyerah? Aku sama sekali tidak ingat pernah berkata seperti itu...
Naid : Tapi... buktinya kau...
Keyd : Kenapa? Ada apa? Memangnya apa yang telah kulakukan?
Naid : Tidakkah kau sadar? Oh... bagaimana aku menjelaskannya kepadamu...
Keyd : Entah.
Naid : Ssstt... Mmm... begini... kau berkata bahwa kau hanya ingin menyampaikan perasaanmu tanpa berharap jawaban apapun darinya, kan?
Keyd : Ya.
Naid :
Bagaimana bisa kau berbuat seperti itu? Bukankah kau benar-benar
menyayangi mereka? Dia... dan Dia? Bukankah kau sangat ingin bersanding
di pelaminan dengan salah satu dari dua bidadari pujaanmu itu dan
kemudian happily ever after?
Keyd : Munafik jika kukatakan tidak.
Naid :
Lalu mengapa kau menyerah begitu saja? Mengapa tak ingin kau
perjuangkan perasaan dan rasa sayangmu itu? Kau memiliki kesempatan
untuk itu, Keyd. Tapi kau tidak mengambilnya. Setelah dulu kepada
bidadari pertamamu kau sampaikan perasaanmu tanpa berharap jawaban,
sekarang kau ulangi lagi hal yang sama kepada dia? Bidadari keduamu? Kau
benar-benar...
Keyd : Bodoh? Ya. Tak heran jika
banyak orang termasuk dirimu menganggapku seperti itu. Aku memang
mempunyai impian bisa mengarungi sisa hidupku dengan salah satu dari
mereka, tapi...
Naid : Tapi apa? Kalau itu memang
keinginanmu, kenapa tak sekalian kau tanyakan kepada mereka, atau salah
satu dari mereka, apakah mau menjadi kekasihmu atau tidak? Mengapa kau
seolah lepas tangan begitu saja? Kau seolah hanya mementingkan dirimu
saja, hanya ingin sekedar melepas beban. Tidakkah kau...
AARRGGGHHH...!!!
Keyd : Naid, ketika aku memutuskan untuk jujur, tak sekalipun aku meminta mereka untuk menjadi kekasihku.
Naid : Aku tahu itu. Tapi mengapa? Pertanyaan ini yang belum pernah kau jawab sejak lama.
Keyd : ….
Naid : Jawablah. Aku ini sahabatmu sejak kecil Keyd.
Keyd : Aku hanya ingin menjaga.
Naid : Menjaga? Menjaga siapa? Mereka? Bagaimana bisa jika kau tidak bersama?
Keyd : Menjaga... menjaga mereka dari harapan berlebih dan kekecewaan.
Naid : Aku tidak mengerti.
Keyd : Kalaupun sekarang menjadi kekasih, belum tentu suatu saat akan selalu bersama hingga pelaminan.
Naid : Lalu?
Keyd :
Semua masih belum pasti dan belum ada kesiapan yang jelas. Karena itu
aku hanya mengutarakan tanpa butuh jawaban, supaya tidak ada harapan
yang berlebihan. Aku belum menjadi apa-apa.
Naid : Lalu guna kau mengutarakan perasaanmu?
Keyd :
Supaya mereka tahu. Siapa tahu dengan mengetahuinya, suatu saat aku
bisa menjadi salah satu dari sekian banyak calon yang akan mereka pilih
sebagai suami. Tidak kok. Bercanda.
Naid : Seriuslah...
Keyd :
Begini. Aku hanya ikut merasakan perasaan ini, bukan memilikinya. Sudah
kubilang aku belum jadi apa-apa. Tentu sebuah gambling besar jika aku
berlaku serius sekarang. Lagipula, aku sekarang tidak bisa memilih salah
satu diantara mereka. Terlalu sulit. Kau tahu itu. Mereka berdua...
Naid : ….
Keyd :
Yah... jadi, maksudku... biarlah perasaan ini mengikuti arus dan alur
yang ada tanpa terlalu dipaksakan sekarang. Jika memang nantinya suatu
saat berjodoh dengan salah satu dari mereka, pasti akan bersatu. Tak ada
yang perlu dikhawatirkan. Jikapun tidak, bagaimanapun kerasnya aku
menjaga rasa ini, perlahan pasti akan hilang seiring berjalannya waktu.
Dan pasti nanti aku akan menemukan jodohku yang telah disiapkan-Nya,
meskipun bukan mereka, namun yang terbaik. Klise memang, tapi...
Naid : Kau tidak menyesal jika akhirnya nanti mereka tidak bersamamu namun dengan orang lain? Apakah kau tidak sedih?
Keyd : Jika itu yang terbaik, maka aku akan ikut berbahagia untuk mereka.
Naid : Non sense... Kau tahu itu pasti sangat berat dan sulit kan, Keyd? Aku sangat mengenalmu. Kau s-a-n-g-a-t menyayangi mereka.
Keyd :
Kita hanya bisa mengenang masa lalu, kita bisa menggenggam masa kini,
tapi kita tidak bisa melihat masa depan. Lagipula aku juga kurang
percaya diri jika membandingkan antara aku dan mereka, antara keluargaku
dan keluarga mereka.
Naid : Maksudmu? Kalian dan keluarga sama-sama muslim, kan?
Keyd :
Ya. Tapi jika dilihat secara kasat mata, kedalaman antara aku dan
mereka berbeda. Bisa dibilang mereka dan keluarga lebih fasih. Sementara
aku dan keluargaku? Seperti ini. Kau mengerti maksudku, kan? Paling
tidak aku ingin memantaskan diri meskipun mungkin tidak bisa sepenuhnya
pantas jika dibandingkan dengan lelaki lain yang berada di sekeliling
mereka yang sama-sama fasihnya. Mereka jauh lebih baik, menurutku.
Naid :
Itu tidak bisa dijadikan alasan, Keyd! Jika ada ikatan diantara kalian
pastinya juga ada penyesuaian pula antara kalian dan keluarga. Harusnya
kau tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti. Belum tentu
pula mereka menolak seseorang yang...
Keyd : Sudahlah, Naid. Biarlah semua ini berjalan apa adanya. Just let it flow, and one day it will find the real ocean. The destiny.
Naid :
Tapi harusnya kau tidak menyerah semudah itu,! Harusnya kau lebih punya
greget dalam memperjuangkan perasaanmu dan.... Hei! Tunggu! Kenapa kau
tiba-tiba meninggalkanku! Hei, Keyd!
Dan merekapun berjalan menyongsong mentari senja yang menuruni horizon.