tadi tiba-tiba kepikiran...
pas mikir tentang IQ... penting nggaknya IQ...
selentingan aja muncul kata IQ jongkok...
aku nggak tahu kenapa bisa ada kata kayak gitu.. mungkin mereka yang kuliah di jurusan bahasa indonesia lebih tau...
tapi menurutku aneh aja...
sekilas jadi kayak orang2 suka "ngerendahin"/ngeremehin mereka yang
kurang cakap, kurang cerdas, yang nggak lulus ujian (maap2 buat yg
mengalami, bukan bermaksud negatif)...
terlihat sekilasnya ya dari pilihan kata2nya itu tadi (menurutku)...
IQ jongkok misalnya.. emang di kisaran berapa sih orang dibilang punya IQ jongkok? 80? 70? 60? ato 50?
kalo yang punya IQ segitu dibilang IQ jongkok, lalu apa kabar mereka
yang (misalnya ada, aku nggak tahu ada apa nggak) IQ nya ada di bawah
angka2 yang sudah disebutkan tadi?
bakalan jadi apa panggilan buat IQ mereka? IQ tengkurep? ato malah IQ nyungsep? -_-
sama hal-nya sama mereka yang nggak berkesempatan lulus ujian...
mereka dikasih nama "kejar paket"... ngapain pula pake acara ngejar
segala? emang mereka ketinggalan kereta? mereka juga nggak kalah
cerdas... malah banyak di antara mereka yang sebenernya lebih pintar dan
lebih berkompeten daripada yang lulus... mereka sebenernya cuman kurang
beruntung kok...
ada yang kurang beruntung gara2 kurang konsentrasi/gugup.. ada yang
kurang beruntung dapet contekan... ada yang kurang beruntung contekannya
menyesatkan... kurang pede... dan sebagainya...
trus kalau mereka yang punya IQ "di bawah standar" dapet "julukan" macam IQ jongkok...
apa kita2 yang IQ-nya normal pernah dapet sebutan IQ berdiri?
trus yang IQ-nya di atas rata-rata dapet sebutan IQ lompat-lompat gitu?
enggak kan??
"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."
Rabu, 05 Desember 2012
Kamis, 09 Agustus 2012
Password atau Nomor Rekening?
Alasanku memilih judul di atas untuk posting kali ini adalah karena pertanyaan itu sejatinya adalah pertanyaan temanku yang secara spontan terlontar ketika aku memberikan password untuk membuka kunci laptopku. :p
Mungkin dia heran karena password latopku memang agak panjang dan hanya berisi angka. Bagiku angka-angka itu adalah angka yang mudah diingat, tapi baginya, atau juga bagi teman-temanku yang lain akan sulit untuk mengingat 12 digit angka tersebut.
114914265525
Sepintas memang terlihat ribet untuk mengingat dan menghafalnya. Tapi sebenarnya mudah saja jika mengetahui caranya/"kunci utama" yang ada di balik pembuatan password itu. Berhubung password itu harus merupakan sesuatu yang mudah kuingat, jadi yang kupakai adalah transormasi nama menjadi angka. 8 huruf yang kuubah menjadi 12 angka. Ce sont les noms de mes deesses, bien sur. Ce ne sont pas les noms complets. Hehe
Qui peuvent deviner mes mots de passer?? ^^
Qui peuvent deviner mes mots de passer?? ^^
Senin, 06 Agustus 2012
"Nuh" yang Terlahir Kembali
Noah atau mungkin lebih dikenal sebagai Nuh, menjadi nama pilihan Ariel dkk sebagai ganti nama lawas mereka, Peterpan. Semangat baru dari Noah setelah sekian lama "vakum" dari panggung hiburan yang mereka janjikan telah mereka wujudkan dalam bentuk single baru berjudul Separuh Aku. Semangat baru dan harapan supaya mereka bisa mengarungi samudera dan badai yang ganas di bidang entertainment, supaya mereka bisa tetap survive, dan juga ada guyonan bahwa mereka jadi "juru selamat" dari demam Boy and Girlband yang menjamur seiring populernya saudara sejawat mereka dari Negeri Ginseng. Haha...
Namun pergantian nama dari Peterpan menjadi Noah ini tidak serta merta mendapat respon positif dari para Sahabat Peterpan. Mereka sudah terlanjur jatuh cinta dan akrab dengan nama lama itu. Bagaimana tidak, nama Peterpan sudah dikenal sejak 10 atau 11 tahun yang lalu, waktu aku masih kelas 6 SD dulu. Jadi tentu tidak bisa disalahkan kalau mereka "protes" dengan pemilihan nama baru itu. Bagiku, itu wajar. Mereka hanya belum terbiasa saja dengan nama Noah. Lama-lama pasti terbiasa, tentu jika kualitas yang disuguhkan bisa memuaskan dahaga para penggemar setia yang telah menunggu sekian lama aksi mereka di panggung hiburan. Ya, witing tresno jalaran saka kulina.
Kita tunggu saja lanjutan gebrakan yang akan ditampilkan oleh Noah!
Namun pergantian nama dari Peterpan menjadi Noah ini tidak serta merta mendapat respon positif dari para Sahabat Peterpan. Mereka sudah terlanjur jatuh cinta dan akrab dengan nama lama itu. Bagaimana tidak, nama Peterpan sudah dikenal sejak 10 atau 11 tahun yang lalu, waktu aku masih kelas 6 SD dulu. Jadi tentu tidak bisa disalahkan kalau mereka "protes" dengan pemilihan nama baru itu. Bagiku, itu wajar. Mereka hanya belum terbiasa saja dengan nama Noah. Lama-lama pasti terbiasa, tentu jika kualitas yang disuguhkan bisa memuaskan dahaga para penggemar setia yang telah menunggu sekian lama aksi mereka di panggung hiburan. Ya, witing tresno jalaran saka kulina.
Kita tunggu saja lanjutan gebrakan yang akan ditampilkan oleh Noah!
Sabtu, 28 Juli 2012
Tentang Kami, Aku dan Dia
Jariku berhenti mengetik. Setelah memastikan tidak ada kesalahan, pesan singkat itu langsung kukirim. Beberapa saat kemudian, message sent. Yap! Terkirim dengan mulus. Kuletakkan ponselku di meja. Sambil menghela napas panjang, kusandarkan punggungku ke dada kursi. Mataku menerawang langit-langit kamar kos sederhana ini. Hari terakhirku di kota ini. Di kota tempat aku bertemu dengan teman-teman baru, pengalaman baru dan tentu saja, dia. Aku tersenyum sekaligus heran. Hanya dalam waktu sesingkat ini, bahkan teramat singkat bagiku,hatiku seolah telah tertambat.
Sekali lagi aku mengembuskan napas panjang. Tentu bukan napas terakhir. Entah sudah berapa kali dalam sehari ini aku terus menerus menghela napas panjang. Seolah ada sesak dalam dada yang ingin menyeruak namun tertahan. Sulit untuk diungkap kata, tapi penuh dalam rasa. Kupejamkan mataku, mengingat saat-saat singkat itu...
@#$%^^%$#@
“Le nom de ce village est Megal, Madame...” kata Michel penuh percaya diri. Tanpa dikomando, semua yang berada di ruang kelas kecil itu mengerutkan kening. Tak terkecuali Sang Pengajar, Madame Ami, begitu kami memanggilnya.
“C’est quoi Megal, Michel?” Madame Ami balik bertanya kepada Michel, pemuda sunda yang hobi memancing tawa dan mencairkan suasana selama pelatihan di kota Pahlawan ini, meskipun kadang (atau bahkan sering) terkesan sangat Crunchy melebihi ayam Kentucky.
“Medan et Tegal, Madame.” Sahutnya singkat. Sontak tawa menggema di kelas itu. Namun tawa mereka juga membuat pipiku merona. Terasa hangat, kalau tidak mau dibilang panas. Aku jadi salah tingkah. Tapi sebisa mungkin kututupi perasaan itu. Aku harus mengendalikan diriku sebaik mungkin supaya tidak semakin menjadi bulan-bulanan mereka yang menggodaku. Meskipun tidak secara langsung, aku tahu kalau Medan itu mengacu padaku, satu satunya peserta yang berasal dari luar pulau jawa. Sementara, Tegal mengacu kepadanya. Ya! Dia!
@#$%^^%$#@
Semua mungkin berawal akhir minggu pertama pelatihan, saat aku menghabiskan waktu untuk berkeliling kota pahlawan ini bersamanya. Tak terasa memang awalnya. Hanya sekedar teman untuk melewatkan waktu luang, berbagi cerita dan juga teman travelling. Benar-benar tak terasa. Mengalir begitu saja. Mengalir bagai air dari hulu ke muara. Muara yang mempunyai sejuta rasa.
Namun tak bisa kupungkiri bahwa rasa itu perlahan tapi pasti merasuk dan mengisi sudut hati ini. Rasa itu sering mengembangkan senyum bahkan tawa di tengah kesendirian dan hiruk pikuk ibukota kedua ini. Mencairkan suasana yang sering beku meski panas matahari tak jua berhenti menyengat kulitku. Rasa itu selalu menemani. Kapanpun dan dimanapun aku menapakkan kaki.
@#$%^^%$#@
Kupandangi ponselku. Ragu. Hendak mengirim pesan itu atau tidak. Akhirnya kubatalkan. Kuhapus pesan yang sudah tertulis di layar. Kurebahkan tubuhku lalu kupejamkan mataku. Mengenang hal-hal yang telah terjadi selama 2-3 minggu terakhir ini. Hal baru yang tanpa kusangka akan menjadi sejarah tersendiri dalam perjalanan hidupku. Ya. Tak pernah kusangka sama sekali jika dia yang datang jauh-jauh ke Surabaya untuk mengikuti pelatihan (yang juga kuikuti) tanpa sengaja dan tanpa rekayasa menjadi tempatku untuk berbagi rasa.
Tapi hari ini adalah hari terakhirnya di sini. Besok dia akan pergi meninggalkan Surabaya. Dan... entah disadarinya atau tidak... sebagian hatiku juga akan dibawanya pergi. Mungkin sama dengan judul lagu Anang Hermansyah, Separuh Jiwaku Pergi, meskipun liriknya tidak mencerminkan keadaanku. Sama sekali tidak. Aku tidak dicurangi. Aku tidak disakiti. Sebaliknya, aku merasa dicintai, dikasihi, disayangi.
Teramat singkat memang waktu kami bersama di Surabaya ini. Ingin kuperpanjang masa jika aku punya kuasa. Sayangnya aku hanyalah seorang hamba yang tidak punya daya selain meminta. Dadaku terasa agak berat jika mengingat air mata yang tak henti meleleh di pipinya saat akan berpisah dengan kawan-kawan barunya. Ingin kuhapus air mata itu dengan tanganku, tapi... ah.... Aku menyesali rasa malu yang sempat mengalahkan inginku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada sms. Dan betapa kagetnya ketika kubuka. Itu sms darinya! Sona. Tanpa sadar aku tersenyum melihat nama itu yang masuk ke inbox ponselku. Tapi hatiku malah berdebar-debar saat akan membaca isi pesan singkat itu. Aku menata hati sambil membaca basmalah. Tak peduli lagi aku perlu atau tidak aku membacanya. Aku melakukannya begitu saja. Dan saat kubaca, ternyata memang singkat saja isinya...
“Terima kasih atas segalanya, Mas Kurnia...”
Aku tersenyum membacanya. Seolah segala tanya telah terjawab. Lega. Setelah tadi tiada kata yang mampu terucap saat berpisah di bawah purnama. Kini aku merasa tak perlu lagi kata yang diucap karena segala rasa seolah telah terjembatani. Hanya dalam hati aku bernyanyi...
Mais... si à cet instant
Très doucement, je sens ta main
Se poser sur la mienne...
De joie, je crois, je pleurerai
En répétant ces mots stupides:
"Je t'aime! Je t'aime! Je t'aime!"
Ya... Kini... Dua hati berjuta rasa tanpa kata kini tinggal merajut asa, mendamba bahagia. Semoga...
@#$%^^%$#@
Tunggulah aku di ujung waktu
Di kala restu telah tergenggam pasti di tanganku
Aku akan menjemputmu
Mendekapmu tuk temaniku
Hingga akhir nafasku
Tunggulah aku
Kini kutitipkan dulu janji, cinta dan hatiku kepadamu
Jagalah hingga kusematkan cincin di jari manismu
@#$%^^%$#@
Label:
Cerpen
Lokasi:
Trawas, Indonesia
Senin, 05 Maret 2012
Orang Lalu
Menunggu aku
Di atas karpet bulu
Di antara dinding biru
Jemu aku
Tiada sesiapa bertukar kata denganku
Sendiri aku membisu
Aku bagai orang lalu
Ke sana kemari ditiup angin menderu
Semua asing di mataku
Hatiku rasa ngilu
Aku bagai orang lalu
Ke sana kemari menurut alir dari hulu
Menunggu aku
Jemu aku
Sunday, 04-03-2012
Label:
Mots du coeur,
Puisi
Lokasi:
Malang, Indonesia
Minggu, 05 Februari 2012
Kita Memang Bukan Nabi
Kita Memang Bukan Nabi
Tapi bukan berarti kita harus selalu bersusah hati
Putus asa tanpa beranjak memutihkan diri
Dari segala yang membebani nurani
Memang kita bukan Nabi
Tapi kita juga bisa mendekatkan diri pada Illahi
Meski harus kita akui
Tak mungkin bisa seperkasa Sang Manusia Suci
Namun itu bukan alasan untuk berhenti
Menanam kebaikan meski sebiji sawi
Kita bukan Nabi memang
Tapi kita takkan selamanya gamang
Takkan selamanya berhati karang
'Karna kita telah diberi pedoman yang terang benderang
Bagai cahya lintang di tengah remang
Pedoman yang membuat segala letih hilang
Bagai oase di tengah padang gersang
Kita memang bukan Nabi
Namun apa salahnya berbenah diri
Apa jeleknya menata hati
Sebagai bekal sebelum habis jatah kita di dunia ini
Tapi bukan berarti kita harus selalu bersusah hati
Putus asa tanpa beranjak memutihkan diri
Dari segala yang membebani nurani
Memang kita bukan Nabi
Tapi kita juga bisa mendekatkan diri pada Illahi
Meski harus kita akui
Tak mungkin bisa seperkasa Sang Manusia Suci
Namun itu bukan alasan untuk berhenti
Menanam kebaikan meski sebiji sawi
Kita bukan Nabi memang
Tapi kita takkan selamanya gamang
Takkan selamanya berhati karang
'Karna kita telah diberi pedoman yang terang benderang
Bagai cahya lintang di tengah remang
Pedoman yang membuat segala letih hilang
Bagai oase di tengah padang gersang
Kita memang bukan Nabi
Namun apa salahnya berbenah diri
Apa jeleknya menata hati
Sebagai bekal sebelum habis jatah kita di dunia ini
Sabtu, 28 Januari 2012
28-01-2012
"Are..!!
Otanjoubi Omedetou Hime-Sama...
Hinata Neesan...
^_^
Je ne peux pas vous donner aucun cadeau...
Mais...
Mes prieres s'addressent toujours a vous...
^_^
i hope u'll get all the best in your life..
.if ur happy... so do i...^_^ — at Au Jardin Du Coeur."
Hari ini…
Pertama kalinya aku mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu, Nee… :)
Yah..
grace à mon amie Anna Rakhma sih yang kasih tau.. hehe :p ( ya moga2
aja dia ga salah tanggal… nek salah lak kecele’ aku.. :p )
Memang tiada hadiah yang sanggup aku berikan kepadamu, bidadari pertamaku…
BGM : “Pada Dirinya ku mohonkan
Mudahkan hidupnya
Hiasi dengan Belai-Mu
….
Terangi harinya dengan lembut Mentari-Mu…”
Namun do’a-do’aku insya Allah akan selalu terlantun untukmu dari seberang samudera yang menjadi jarak di antara kita…
BGM : “Taukah kamu apa yang ku pinta
Di setiap doa sepanjang hariku
Tuhan tolong aku tolong jaga dia
Tuhan aku sayang dia…”
Do’a-do’a supaya engkau selalu mendapatkan yang terbaik dan yang terindah dalam perjalanan hidupmu…
Karena, ketika senyum manismu terurai… atau tangis bahagiamu berderai…
Penjuru hatiku akan turut mengharu biru…
BGM : “Hanya satu pintaku untukmu dan hidupku
Baik baik sayang ada aku untukmu
Hanya satu pintaku di siang dan malammu
Baik baik sayang karna aku untukmu…”
Sungguh, jujur kuungkapkan… meski rasa terduakan… bukan dirimu seorang… aku akui…
Tapi bukan alasan untuk tak mendo’akanmu setulus hati…
Karena engkau salah satu bidadari yang kucintai… :) Tak kupungkiri engkau yang terindah…
( sok romantis… :p )
Meski engkau telah berdiplomasi dan menyuruhku mundur teratur… karena tak pernah terpikir olehmu berimam di bawah umur :D…
Tak mengapa… Toh nyatanya sampai sekarang aku masih bandhel to..? :p
Bukan
apa-apa… aku hanya tak berkuasa untuk menghapus rasa… biarlah nantinya
Dia yang menghapus sering masa jika kau dan aku tak mungkin bersama… aku
tak bisa berharap banyak apalagi janjiku dulu masih terbengkalai… :p
Yep… Just let it flow… Let God show us the best ending… Our destiny… :)
And the last… poem for you… :)
Andai Sang Pemilik Waktu memberi restu
Namamu akan kupahat di setiap pembuluh nadiku
Ingin kualirkan segala pesona indahmu
Nuansa kesahajaanmu
Dalam satu
Istana
Tapi semua
Akankah berlaku?
Cause i can’t decide nothing
All i want is the best for you and me
None of us are able to reveal the mystery
Disable, whatever we try long the day
Reaching for missing link
All is His Poetry
Suivons-nous?
Au destin?
Rassurons-nous que c’est obligatoire
Impossible de le refuser, non? :)
PS:
Fuujin-dono…
Kuregure mo yoroshiku osshatte kudasai…
Onegaishimasu…
( auk dah bener pa kagak… ) :)
Sabtu, 21 Januari 2012
Pilihan
Dua orang lelaki muda berjalan, dan berhenti di depan bangku putih yang ada di sebelah taman.
Naid : Tunggu sebentar...! Apa maksudmu?
Keyd : Maksudku?? Maksudmu?
Naid : Katakan. Kau menyerah?
Keyd : Menyerah? Siapa? Aku?
Naid : Siapa lagi? Jelas! Kau!
Keyd : Menyerah soal apa?
Naid : Ayolah, kau jangan berlagak tolol.
Keyd : Aku tidak tolol, hanya kurang pandai.
Naid : Hentikan candaanmu yang sama sekali tidak lucu itu.
Keyd : Aku tidak sedang bercanda kok.
Naid : Sudahlah. Jawabanmu semakin lama semakin jauh dari pokok pembicaraan.
Keyd : Tinggal didekatkan, kan?
Naid : Jangan bicara dulu, dan jangan menyelaku. Biar kulanjutkan dulu kata-kataku! Kutanya kau sekali lagi. Apakah kau menyerah? Mengapa kau menyerah begitu mudah? Katakan...
Keyd : …..
Naid : Hei! Aku bertanya kepadamu! Kenapa tak kau jawab?
Keyd : Kau yang menyuruhku untuk diam, bukan?
Naid : Cobalah untuk serius sedikit, Keyd! Mengapa selalu saja kau membu...
Keyd : Siapa yang mengatakan bahwa aku menyerah? Aku sama sekali tidak ingat pernah berkata seperti itu...
Naid : Tapi... buktinya kau...
Keyd : Kenapa? Ada apa? Memangnya apa yang telah kulakukan?
Naid : Tidakkah kau sadar? Oh... bagaimana aku menjelaskannya kepadamu...
Keyd : Entah.
Naid : Ssstt... Mmm... begini... kau berkata bahwa kau hanya ingin menyampaikan perasaanmu tanpa berharap jawaban apapun darinya, kan?
Keyd : Ya.
Naid : Bagaimana bisa kau berbuat seperti itu? Bukankah kau benar-benar menyayangi mereka? Dia... dan Dia? Bukankah kau sangat ingin bersanding di pelaminan dengan salah satu dari dua bidadari pujaanmu itu dan kemudian happily ever after?
Keyd : Munafik jika kukatakan tidak.
Naid : Lalu mengapa kau menyerah begitu saja? Mengapa tak ingin kau perjuangkan perasaan dan rasa sayangmu itu? Kau memiliki kesempatan untuk itu, Keyd. Tapi kau tidak mengambilnya. Setelah dulu kepada bidadari pertamamu kau sampaikan perasaanmu tanpa berharap jawaban, sekarang kau ulangi lagi hal yang sama kepada dia? Bidadari keduamu? Kau benar-benar...
Keyd : Bodoh? Ya. Tak heran jika banyak orang termasuk dirimu menganggapku seperti itu. Aku memang mempunyai impian bisa mengarungi sisa hidupku dengan salah satu dari mereka, tapi...
Naid : Tapi apa? Kalau itu memang keinginanmu, kenapa tak sekalian kau tanyakan kepada mereka, atau salah satu dari mereka, apakah mau menjadi kekasihmu atau tidak? Mengapa kau seolah lepas tangan begitu saja? Kau seolah hanya mementingkan dirimu saja, hanya ingin sekedar melepas beban. Tidakkah kau... AARRGGGHHH...!!!
Keyd : Naid, ketika aku memutuskan untuk jujur, tak sekalipun aku meminta mereka untuk menjadi kekasihku.
Naid : Aku tahu itu. Tapi mengapa? Pertanyaan ini yang belum pernah kau jawab sejak lama.
Keyd : ….
Naid : Jawablah. Aku ini sahabatmu sejak kecil Keyd.
Keyd : Aku hanya ingin menjaga.
Naid : Menjaga? Menjaga siapa? Mereka? Bagaimana bisa jika kau tidak bersama?
Keyd : Menjaga... menjaga mereka dari harapan berlebih dan kekecewaan.
Naid : Aku tidak mengerti.
Keyd : Kalaupun sekarang menjadi kekasih, belum tentu suatu saat akan selalu bersama hingga pelaminan.
Naid : Lalu?
Keyd : Semua masih belum pasti dan belum ada kesiapan yang jelas. Karena itu aku hanya mengutarakan tanpa butuh jawaban, supaya tidak ada harapan yang berlebihan. Aku belum menjadi apa-apa.
Naid : Lalu guna kau mengutarakan perasaanmu?
Keyd : Supaya mereka tahu. Siapa tahu dengan mengetahuinya, suatu saat aku bisa menjadi salah satu dari sekian banyak calon yang akan mereka pilih sebagai suami. Tidak kok. Bercanda.
Naid : Seriuslah...
Keyd : Begini. Aku hanya ikut merasakan perasaan ini, bukan memilikinya. Sudah kubilang aku belum jadi apa-apa. Tentu sebuah gambling besar jika aku berlaku serius sekarang. Lagipula, aku sekarang tidak bisa memilih salah satu diantara mereka. Terlalu sulit. Kau tahu itu. Mereka berdua...
Naid : ….
Keyd : Yah... jadi, maksudku... biarlah perasaan ini mengikuti arus dan alur yang ada tanpa terlalu dipaksakan sekarang. Jika memang nantinya suatu saat berjodoh dengan salah satu dari mereka, pasti akan bersatu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jikapun tidak, bagaimanapun kerasnya aku menjaga rasa ini, perlahan pasti akan hilang seiring berjalannya waktu. Dan pasti nanti aku akan menemukan jodohku yang telah disiapkan-Nya, meskipun bukan mereka, namun yang terbaik. Klise memang, tapi...
Naid : Kau tidak menyesal jika akhirnya nanti mereka tidak bersamamu namun dengan orang lain? Apakah kau tidak sedih?
Keyd : Jika itu yang terbaik, maka aku akan ikut berbahagia untuk mereka.
Naid : Non sense... Kau tahu itu pasti sangat berat dan sulit kan, Keyd? Aku sangat mengenalmu. Kau s-a-n-g-a-t menyayangi mereka.
Keyd : Kita hanya bisa mengenang masa lalu, kita bisa menggenggam masa kini, tapi kita tidak bisa melihat masa depan. Lagipula aku juga kurang percaya diri jika membandingkan antara aku dan mereka, antara keluargaku dan keluarga mereka.
Naid : Maksudmu? Kalian dan keluarga sama-sama muslim, kan?
Keyd : Ya. Tapi jika dilihat secara kasat mata, kedalaman antara aku dan mereka berbeda. Bisa dibilang mereka dan keluarga lebih fasih. Sementara aku dan keluargaku? Seperti ini. Kau mengerti maksudku, kan? Paling tidak aku ingin memantaskan diri meskipun mungkin tidak bisa sepenuhnya pantas jika dibandingkan dengan lelaki lain yang berada di sekeliling mereka yang sama-sama fasihnya. Mereka jauh lebih baik, menurutku.
Naid : Itu tidak bisa dijadikan alasan, Keyd! Jika ada ikatan diantara kalian pastinya juga ada penyesuaian pula antara kalian dan keluarga. Harusnya kau tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti. Belum tentu pula mereka menolak seseorang yang...
Keyd : Sudahlah, Naid. Biarlah semua ini berjalan apa adanya. Just let it flow, and one day it will find the real ocean. The destiny.
Naid : Tapi harusnya kau tidak menyerah semudah itu,! Harusnya kau lebih punya greget dalam memperjuangkan perasaanmu dan.... Hei! Tunggu! Kenapa kau tiba-tiba meninggalkanku! Hei, Keyd!
Dan merekapun berjalan menyongsong mentari senja yang menuruni horizon.
Naid : Tunggu sebentar...! Apa maksudmu?
Keyd : Maksudku?? Maksudmu?
Naid : Katakan. Kau menyerah?
Keyd : Menyerah? Siapa? Aku?
Naid : Siapa lagi? Jelas! Kau!
Keyd : Menyerah soal apa?
Naid : Ayolah, kau jangan berlagak tolol.
Keyd : Aku tidak tolol, hanya kurang pandai.
Naid : Hentikan candaanmu yang sama sekali tidak lucu itu.
Keyd : Aku tidak sedang bercanda kok.
Naid : Sudahlah. Jawabanmu semakin lama semakin jauh dari pokok pembicaraan.
Keyd : Tinggal didekatkan, kan?
Naid : Jangan bicara dulu, dan jangan menyelaku. Biar kulanjutkan dulu kata-kataku! Kutanya kau sekali lagi. Apakah kau menyerah? Mengapa kau menyerah begitu mudah? Katakan...
Keyd : …..
Naid : Hei! Aku bertanya kepadamu! Kenapa tak kau jawab?
Keyd : Kau yang menyuruhku untuk diam, bukan?
Naid : Cobalah untuk serius sedikit, Keyd! Mengapa selalu saja kau membu...
Keyd : Siapa yang mengatakan bahwa aku menyerah? Aku sama sekali tidak ingat pernah berkata seperti itu...
Naid : Tapi... buktinya kau...
Keyd : Kenapa? Ada apa? Memangnya apa yang telah kulakukan?
Naid : Tidakkah kau sadar? Oh... bagaimana aku menjelaskannya kepadamu...
Keyd : Entah.
Naid : Ssstt... Mmm... begini... kau berkata bahwa kau hanya ingin menyampaikan perasaanmu tanpa berharap jawaban apapun darinya, kan?
Keyd : Ya.
Naid : Bagaimana bisa kau berbuat seperti itu? Bukankah kau benar-benar menyayangi mereka? Dia... dan Dia? Bukankah kau sangat ingin bersanding di pelaminan dengan salah satu dari dua bidadari pujaanmu itu dan kemudian happily ever after?
Keyd : Munafik jika kukatakan tidak.
Naid : Lalu mengapa kau menyerah begitu saja? Mengapa tak ingin kau perjuangkan perasaan dan rasa sayangmu itu? Kau memiliki kesempatan untuk itu, Keyd. Tapi kau tidak mengambilnya. Setelah dulu kepada bidadari pertamamu kau sampaikan perasaanmu tanpa berharap jawaban, sekarang kau ulangi lagi hal yang sama kepada dia? Bidadari keduamu? Kau benar-benar...
Keyd : Bodoh? Ya. Tak heran jika banyak orang termasuk dirimu menganggapku seperti itu. Aku memang mempunyai impian bisa mengarungi sisa hidupku dengan salah satu dari mereka, tapi...
Naid : Tapi apa? Kalau itu memang keinginanmu, kenapa tak sekalian kau tanyakan kepada mereka, atau salah satu dari mereka, apakah mau menjadi kekasihmu atau tidak? Mengapa kau seolah lepas tangan begitu saja? Kau seolah hanya mementingkan dirimu saja, hanya ingin sekedar melepas beban. Tidakkah kau... AARRGGGHHH...!!!
Keyd : Naid, ketika aku memutuskan untuk jujur, tak sekalipun aku meminta mereka untuk menjadi kekasihku.
Naid : Aku tahu itu. Tapi mengapa? Pertanyaan ini yang belum pernah kau jawab sejak lama.
Keyd : ….
Naid : Jawablah. Aku ini sahabatmu sejak kecil Keyd.
Keyd : Aku hanya ingin menjaga.
Naid : Menjaga? Menjaga siapa? Mereka? Bagaimana bisa jika kau tidak bersama?
Keyd : Menjaga... menjaga mereka dari harapan berlebih dan kekecewaan.
Naid : Aku tidak mengerti.
Keyd : Kalaupun sekarang menjadi kekasih, belum tentu suatu saat akan selalu bersama hingga pelaminan.
Naid : Lalu?
Keyd : Semua masih belum pasti dan belum ada kesiapan yang jelas. Karena itu aku hanya mengutarakan tanpa butuh jawaban, supaya tidak ada harapan yang berlebihan. Aku belum menjadi apa-apa.
Naid : Lalu guna kau mengutarakan perasaanmu?
Keyd : Supaya mereka tahu. Siapa tahu dengan mengetahuinya, suatu saat aku bisa menjadi salah satu dari sekian banyak calon yang akan mereka pilih sebagai suami. Tidak kok. Bercanda.
Naid : Seriuslah...
Keyd : Begini. Aku hanya ikut merasakan perasaan ini, bukan memilikinya. Sudah kubilang aku belum jadi apa-apa. Tentu sebuah gambling besar jika aku berlaku serius sekarang. Lagipula, aku sekarang tidak bisa memilih salah satu diantara mereka. Terlalu sulit. Kau tahu itu. Mereka berdua...
Naid : ….
Keyd : Yah... jadi, maksudku... biarlah perasaan ini mengikuti arus dan alur yang ada tanpa terlalu dipaksakan sekarang. Jika memang nantinya suatu saat berjodoh dengan salah satu dari mereka, pasti akan bersatu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Jikapun tidak, bagaimanapun kerasnya aku menjaga rasa ini, perlahan pasti akan hilang seiring berjalannya waktu. Dan pasti nanti aku akan menemukan jodohku yang telah disiapkan-Nya, meskipun bukan mereka, namun yang terbaik. Klise memang, tapi...
Naid : Kau tidak menyesal jika akhirnya nanti mereka tidak bersamamu namun dengan orang lain? Apakah kau tidak sedih?
Keyd : Jika itu yang terbaik, maka aku akan ikut berbahagia untuk mereka.
Naid : Non sense... Kau tahu itu pasti sangat berat dan sulit kan, Keyd? Aku sangat mengenalmu. Kau s-a-n-g-a-t menyayangi mereka.
Keyd : Kita hanya bisa mengenang masa lalu, kita bisa menggenggam masa kini, tapi kita tidak bisa melihat masa depan. Lagipula aku juga kurang percaya diri jika membandingkan antara aku dan mereka, antara keluargaku dan keluarga mereka.
Naid : Maksudmu? Kalian dan keluarga sama-sama muslim, kan?
Keyd : Ya. Tapi jika dilihat secara kasat mata, kedalaman antara aku dan mereka berbeda. Bisa dibilang mereka dan keluarga lebih fasih. Sementara aku dan keluargaku? Seperti ini. Kau mengerti maksudku, kan? Paling tidak aku ingin memantaskan diri meskipun mungkin tidak bisa sepenuhnya pantas jika dibandingkan dengan lelaki lain yang berada di sekeliling mereka yang sama-sama fasihnya. Mereka jauh lebih baik, menurutku.
Naid : Itu tidak bisa dijadikan alasan, Keyd! Jika ada ikatan diantara kalian pastinya juga ada penyesuaian pula antara kalian dan keluarga. Harusnya kau tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti. Belum tentu pula mereka menolak seseorang yang...
Keyd : Sudahlah, Naid. Biarlah semua ini berjalan apa adanya. Just let it flow, and one day it will find the real ocean. The destiny.
Naid : Tapi harusnya kau tidak menyerah semudah itu,! Harusnya kau lebih punya greget dalam memperjuangkan perasaanmu dan.... Hei! Tunggu! Kenapa kau tiba-tiba meninggalkanku! Hei, Keyd!
Dan merekapun berjalan menyongsong mentari senja yang menuruni horizon.
Label:
Dialog
Lokasi:
Malang, Indonesia
Jumat, 06 Januari 2012
Ulasan Cerpen Perancis :Le Modele"
Hubungan Berbalut Keegoisan?
Hidup sebagai artis, mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang
luar biasa. Apalagi jika namanya semakin lama semakin tenar dan
semakin dikenal, tentu saja akan membahagiakan orang tersebut. Tapi,
ada pandangan bahwa artis kadangkala – bahkan mungkin sering –
bersikap egois, semaunya sendiri. Merasa dirinya telah memiliki semua
dan mampu melakukan segalanya, dia bisa berbuat sesukanya. Namun hal
ini bisa berakibat buruk ketika dia telah memiliki pasangan. Hubungan
tidak akan terjalin dengan harmonis jika tidak menghilangkan atau
setidaknya meminimalisasi sifat egois, seperti yang dipahami penulis
dari cerpen berjudul Le Modèle.
Di
cerpen tersebut diceritakan bahwa seorang pelukis tertarik kepada
model lukisannya yang rupawan. Dia yakin bahwa dia memang mencintai
gadis itu dan dia berjanji untuk setia dan hidup bersamanya. Setelah
beberapa bulan, hubungan mereka tidak berjalan dengan baik karena si
pelukis cenderung acuh terhadap si gadis. Hingga akhirnya terjadi
“perang besar” di antara mereka berdua tiga bulan kemudian. Si
pelukis berniat untuk mengakhiri semuanya. Dia meninggalkan uang
hasil penjualan lukisan dan hasil pinjaman dari temannya kepada gadis
itu, kemudian pergi begitu saja. Dia memilih untuk tinggal di rumah
temannya.
Si
gadis yang tidak terima diperlakukan seperti itu, mendatanginya lagi
dan mengembalikan uang yang telah diberikan kepadanya. Dia menyatakan
bahwa dia tidak membutuhkan uang, dia hanya ingin dijaga dan
diperhatikan. Namun si pelukis ternyata akan dinikahkan oleh orang
tuanya. Si gadis mengancam akan bunuh diri jika pelukis itu tetap
menikah. Si pelukis yang tidak ingin termakan ancaman seorang gadis
malah menantangnya. Dia mempersilakan gadis itu untuk bunuh diri.
Ternyata omongan gadis itu bukan sekedar ancaman belaka, dia
benar-benar mencoba untuk bunuh diri dengan melompat dari jendela.
Akibatnya, dia tidak bisa lagi berjalan, dan karena si pelukis merasa
menyesal dan tersentuh hatinya, dia memutuskan untuk menikahi gadis
itu.
Menurut
pandangan penulis, dari cerpen tersebut tergambar sifat lelaki yang
cenderung egois, memikirkan dirinya sendiri. Hal tersebut
direfleksikan dari tokoh si pelukis. Apalagi sebelumnya sudah muncul
anggapan umum tentang bagaimana kehidupan seorang pelukis yang
cenderung memiliki hubungan pernikahan yang aneh di mata orang.
Mereka menganggap bahwa pelukis menikahi hampir semua modelnya,
ataupun nyonya-nyonya tua. Selain itu muncul pula anggapan bahwa si
pelukis menikahi gadis itu karena dia terlanjur cacat. Mereka mungkin
menganggap itu merupakan suatu kebodohan jika menikahi seseorang
karena merasa kasihan atau iba belaka.
Entah hal itu merupakan suatu kebodohan atau bukan, tapi kenyatannya
si pelukis harus “rela” menikahi gadis yang terlanjur cacat,
sesuatu yang pada awalnya tidak dia inginkan. Sedikit banyak, si
pelukis juga turut andil membuat gadis itu cacat. Karena sikapnya
yang acuh dan egois serta kurang bisa memahami perasaan wanita-lah
yang menyebabkan gadis itu berbuat nekat. Dan ketika gadis itu
benar-benar membuktikan ucapannya, tidak ada yang tersisa dalam diri
si pelukis selain penyesalan yang dalam. Sebuah perasaan yang
pastinya tidak akan bisa hilang dengan mudah.
Memang, penyebab gadis itu cacat memang bukan hanya kesalahan si
pelukis, namun juga gadis itu sendiri. Dia yang sudah gelap mata dan
seolah sudah tidak mempedulikan apa-apa lagi bahkan hidupnya sendiri,
nekat melompat dari jendela untuk membuktikan bahwa kata-katanya
bukan sekedar ancaman belaka. Seharusnya jika dinalar, apa yang
dilakukan oleh gadis itu merupakan sebuah kebodohan. Tidak sepatutnya
dia mengorbankan nyawanya sendiri yang sangat berharga hanya demi
memenuhi “tantangan” dari laki-laki yang telah meninggalkannya.
Orang pasti banyak yang berpikir lebih baik mencari pasangan lain,
karena laki-laki tidak hanya satu di dunia, apalagi ketika dia sudah
mengetahui “keburukan” laki-laki itu sebelum melanjutkan ke
jenjang pernikahan. Orang yang luar biasa biasanya akan memilih untuk
bersyukur karena mengetahui lebih awal lebih baik daripada terlambat
di kemudian hari.
Sayangnya, terkadang bagi wanita emosi lebih berperan daripada
logika. Seperti kritikan atau lebih tepatnya pandangan laki-laki
terhadap sifat wanita yang sulit ditebak yang dijabarkan di halaman
59. Di bagian tersebut dinyatakan bahwa wanita itu perasaannya mudah
berubah, emosi yang terkadang bahkan sering tidak bisa ditebak,
mereka juga sering melakukan hal tidak terduga yang sering tidak bisa
dipahami oleh pihak laki-laki. Seolah semua itu merupakan teka-teki
yang tak terpecahkan bagi para lelaki. Tidak sepenuhnya salah memang,
tinggal bagaimana cara menghadapinya, karena hal itu adalah sesuatu
yang alamiah dan sudah ada dalam diri setiap wanita.
Menurut
penulis, keinginan para wanita sebenarnya sederhana. Mereka ingin
dimengerti. Namun begitu sederhananya keinginan mereka sehingga
membuat para lelaki kebingungan untuk memenuhinya. Seperti gadis
bernama Joséphine itu. Keinginannya sederhana, dia ingin
diperhatikan dan dijaga oleh Jean Summer sang pelukis. Dia juga
berkata bahwa dia tidak membutuhkan uang dari Jean, dia menginginkan
kasih sayangnya. Tidak dipungkiri materi itu penting, namun
terkadang pemenuhan kebutuhan bathiniyah bisa menjadi lebih mendesak
daripada kebutuhan ragawi. Hal itu yang sebenarnya dituntut oleh
Joséphine. Tapi Jean yang merasa sudah memberikan semuanya tidak
bisa memahami apa keinginan Joséphine.
Mungkin di sinilah penyebab masalah di antara mereka. Jean kurang
bisa mempelajari dan memahami keinginan wanita sehingga dia bertindak
dan berpikir dari sudut pandangnya pribadi, tanpa melihat sudut
pandang Joséphine yang telah menjalin hubungan dengannya. Terlebih
dia adalah seorang laki-laki dan seorang pelukis. Laki-laki bisa
dibilang cukup terkenal dengan sifatnya yang egois, bukan berarti
wanita tidak, tapi sifat itu biasanya lebih dominan ada pada diri
laki-laki. Lalu seorang pelukis juga cenderung lebih tertutup, banyak
berdiam diri dengan pemikirannya sendiri. Begitu pula ketika membuat
karya, meskipun ada obyek di depan mata, mereka pastinya punya
interpretasi tersendiri untuk memunculkan aura dari karyanya
tersebut. Interpretasi itu tentunya tidak mungkin bisa berkembang
jika dia mudah dipengaruhi oleh orang lain. Pun ketika tidak ada
hasrat untuk membuat karya atau melanjutkan karya yang tertunda,
mereka pastinya lebih memilih untuk diam dan mencari inspirasi,
kemudian akan kembali berkarya ketika hasrat itu telah muncul
kembali. Mungkin karena profesinya itu pula sifat egois dari seorang
laki-laki seperti Jean menjadi lebih besar.
Hal
seperti itu yang harusnya dihindari ketika seseorang sudah memutuskan
untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain. Jean yang awalnya
sudah berjanji akan setia dan hidup bersama Joséphine harusnya
menepati janjinya itu dan harus mau berubah menjadi lebih baik demi
keharmonisan hidup berpasangan. Joséphine, terlepas dari segala
kekurangan yang ada dalam dirinya, sebagai seorang wanita ketika ada
seorang laki-laki yang memohon kepadanya dan berjanji kepadanya,
tentu dia akan menantikan realisasi dari janji tersebut. Dia ingin
hidup sebagaimana layaknya pasangan. Dan ketika hal itu tidak
terpenuhi, bahkan dia akan dikhianati, wanita pasti akan sakit hati
diperlakukan seperti itu. Apalagi ketika Jean meninggalkan uang
untuknya, dia merasa harga diri dan hidupnya sebagai seorang wanita
seolah bisa dibeli dengan uang. Wanita manapun tidak akan terima jika
diperlakukan semena-mena seperti itu. Jadi jangan heran jika ada
sebagian orang yang membenarkan tindakan nekat dari Joséphine. Bisa
jadi dengan kenekatan itu menunjukkan bahwa lelaki tidak bisa begitu
saja mempermainkan wanita, habis manis sepah dibuang. Dengan
kenekatan itu pula paling tidak bisa membuat luka di hati yang tidak
akan pernah hilang dalam diri seorang laki-laki yaitu penyesalan.
Mungkin bagi para pihak yang pro, mereka menganggap itu adalah “balas
dendam” dan “balasan setimpal” dari apa yang telah dilakukan
oleh laki-laki kepada wanita.
Karena
itulah dalam suatu hubungan, penulis berpikir bahwa kita sudah tidak
bisa berbicara lagi tentang ego pribadi. Mau bagaimana lagi, kita
sudah memutuskan untuk hidup bersama, itu artinya ada hak orang lain
yang wajib dipenuhi, bukan hanya pemikiran kita sendiri yang harus
diikuti, bukan hanya perasaan kita yang harus dimengerti, tapi juga
cara berpikir dan perasaan pasangan kita. Seorang laki-laki harus mau
menurunkan kadar keegoisannya dan mencoba belajar untuk memahami
keinginan pasangan. Begitu pula seorang wanita harus mau mengatur
emosinya dan tidak hanya berpegang pada perasaannya. Bukan hanya
wanita yang ingin dimengerti, laki-laki juga butuh pengertian dari
pasangan.
Intinya,
tidak ada yang lebih baik daripada mencari keseimbangan, keselarasan
dan keharmonisan dalam hidup berpasangan. Jika hal itu tidak
terpenuhi, tidaklah mengherankan jika kita menemui banyaknya pasangan
yang sudah terikat oleh janji suci pernikahan putus dengan begitu
mudahnya dan tanpa pikir panjang. Tidak mengherankan pula jika banyak
orang yang mulai antipati dengan hubungan sah seperti itu dan lebih
memilih hubungan yang lebih “bebas” daripada hubungan yang
“terikat”. Mereka sudah gerah dengan keegoisan yang masih
mendominasi dalam kehidupan berpasangan. Karena itulah kita harus
bisa mengendalikan sifat-sifat yang sekiranya bisa mengganggu
kehidupan berpasangan demi mendapatkan kehidupan yang harmonis dan
langgeng.
Praditya
dian Tami Anggara / 0911130007
Senin, 02 Januari 2012
Ulasan Puisi Perancis "Cherche ta vie"
Vas-y…
Cherche ta vie…
Ada orang berkata bahwa puisi merupakan salah satu media
pembelajaran. Orang itu benar. Mungkin banyak orang yang tidak
menyadari bahwa hanya dari sekumpulan kecil kata, mereka bisa belajar
banyak hal dan juga melihat suatu hal yang ada di sekelilingnya
dengan sudut pandang lain sehingga sesuatu yang awalnya tidak tampak
menjadi lebih jelas. Seperti yang tergambar dalam puisi Cherche ta
vie… karya René-Guy Cadou. Melalui tulisan singkat ini,
penulis akan mencoba mengulik sedikit tentang apa yang ingin
disampaikan oleh sang pengarang dalam puisinya tersebut.
Une
lampe naquit sous la mer
Un
oiseau chanta
Alors
dans un village reculé
Une petite fille se mit à écrire
Pour elle seule
Le plus beau poème
Dari enam baris awal puisi tersebut, mulai tergambar latar belakang
tokoh yang digambarkan oleh pengarang, yaitu gadis kecil yang tinggal
di sebuah desa terpencil, dan kemungkinan besar desa tersebut berada
di pesisir pantai. Pada saat itu hari telah beranjak senja karena Une
lampe naquit sous la mer mungkin menggambarkan matahari yang
sinarnya terpantul di langit karena dia sudah berada di bawah horizon
atau itu memang benar-benar lampu yang mulai dinyalakan karena
suasana akan segera menggelap, dan biasanya ada burung yang melintas
sambil bersuara “kaak....kaak”. Waktu seperti ini biasanya waktu
yang cocok untuk memulai sebuah perenungan.
Ketika kita membaca kata terpencil, setidaknya ada beberapa gambaran
yang terbayang dalam pikiran kita. Kita mungkin akan mulai
membayangkan tentang desa yang tidak terjamah oleh perkembangan
jaman maupun teknologi, desa yang masih setia dengan segala
kesederhanaannya, desa yang lingkungannya masih alami, desa yang
mungkin masih memiliki aturan khusus yang ketat dan juga tentang desa
yang kemungkinan besar mayoritas penduduknya tidak pernah atau jarang
mengenyam pendidikan. Intinya, desa tersebut masih cenderung
tertutup.
Kemudian dari gambaran desa seperti itu, kita akan bisa membayangkan
seperti apa gadis kecil yang merupakan tokoh utama dari puisi
tersebut. Karena dia tinggal di sebuah desa terpencil, maka
kemungkinan dia adalah gadis polos dengan pakaian sederhana dan
seadanya yang mungkin belum mengenyam pendidikan namun memiliki
banyak keinginan terpendam. Wajar karena dia masih kecil, apalagi dia
tinggal di desa yang jauh dari mana-mana. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa dia bisa menulis sebuah puisi terindah
meskipun hanya ditujukan untuk dirinya sendiri?
Elle n’avait pas appris l’orthographe
Elle dessinait dans le sable
Des locomotives
Et des wagons pleins de soleil
Empat baris lanjutan puisi di atas telah menjawab pertanyaan
tersebut. Dia memang tidak belajar menulis, tapi dia menggambar.
Mungkin sang pengarang ingin berkata bahwa gambar juga bisa menjadi
puisi terindah bagi seorang gadis kecil yang tidak bisa menulis.
Gambar juga bisa mengungkapkan puluhan, ratusan bahkan ribuan kata
yang tersimpan di dada, karena terkadang memang gambar bisa berbicara
lebih daripada sekedar tulisan biasa.
Pengarang menuliskan bahwa gadis itu menggambar di atas pasir.
Pengarang memilih pasir mungkin karena selain desa gadis itu berada
di pesisir pantai, hal itu bisa menggambarkan keterbatasan gadis
kecil itu. Keterbatasan bahwa dia tidak bisa seperti puisi
terindahnya yang ditulis dalam bentuk gambar lokomotif dan wagon yang
bermandikan sinar matahari. Seperti yang kita tahu ketika menggambar
di atas pasir, maka gambar itu akan mudah sekali terhapus, entah itu
oleh jejak kaki, oleh hembusan angin maupun sapuan ombak yang
membasahi pantai. Sama halnya dengan keadaan gadis tersebut.
Keinginan atau mimpinya sama mudahnya untuk terhapus seperti pasir
tadi karena segala keterbatasan yang dia miliki.
Pengarang juga memilih lokomotif dan wagon bermandikan cahaya
matahari mungkin karena dua alat transportasi itu memiliki nuansa
perjalanan atau petualangan yang sangat kuat. Dengan lokomotif
biasanya orang melakukan perjalanan. Bisa terbayang di benak kita,
orang yang duduk di dalam kereta kemudian melihat pemandangan melalui
jendela, pemandangan yang sebelumnya mungkin belum pernah dilihat,
melewati terowongan, melewati daerah satu ke daerah lain, melalui
dataran atau daerah pegunungan hijau dengan lembah curam yang sangat
indah di sela asap lokomotif dan di bawah terik matahari. Pastinya
sangat menyenangkan bisa menemukan hal baru di daerah yang belum
pernah ditemui rebelumnya.
Begitu pula dengan wagon yang biasanya dipakai oleh kebanyakan orang
untuk bertamasya bersama teman atau keluarga baik ke daerah
pegunungan maupun daerah pantai. Di tengah perjalanan bisa bercanda
ria sambil menyanyi tanpa beban. Dan ketika sampai di tujuan,
biasanya tangan akan terentang sambil berseru menikmati keindahan
yang ada di depan mata. Tanpa beban karena dada akan berdegup lebih
kencang ketika menemukan hal baru di luar kehidupan biasanya. Hal
inilah yang tidak bisa dilakukan oleh gadis kecil dari desa terpencil
itu. Hal kecil bagi sebagian orang namun mungkin hanya akan menjadi
angan dan impian besarnya. Keterbatasanlah yang membuat dia tidak
bisa mencari dan merasakan pengalaman-pengalaman baru di luar.
Apalagi dia adalah seorang gadis yang hidup di desa terpencil,
meskipun masih kecil namun terkadang kebebasan seorang gadis “lebih
terkekang” daripada seorang laki-laki.
Elle affrontait les arbres gauchement
Avec des majuscules enlacées et des coeurs
Elle ne disait rien de l’amour
Pour ne pas mentir
Apa yang bisa dilakukan oleh gadis kecil menghadapi hal seperti itu?
Dia hanya bisa memeluk pepohonan untuk mengadukan jeritan hatinya
yang tidak bisa tersampaikan. Dia memeluk pepohonan mungkin supaya
dia tetap bisa kuat untuk berdiri menghadapi kenyataan. Dia mencari
sesuatu yang bisa menopangnya. Tempat yang bisa membuatnya
menyandarkan tubuh dan hatinya yang sedang “terluka”. Dan dia
tidak mengatakan apapun tentang cinta –mungkin cinta terhadap
desanya-, karena mungkin hal itu akan membuatnya tidak jujur.
Terkadang atas nama cinta, orang akan rela berbohong, bahkan kepada
dirinya sendiri. Hal ini yang mungkin tidak ingin dilakukan oleh
gadis kecil itu. Dia memilhh untuk jujur kepada dirinya, karena
memang hal itulah yang dia rasakan. Jika dia berbohong, belum tentu
juga beban kesedihannya akan berkurang. Dia mengakui bahwa dia ingin
mencari ha-hal baru dan menjemput impiannya di dunia luar, namun
sayangnya dia tidak sanggup karena keterbatasan yang dia miliki. Dia
mengakui bahwa dia juga membutuhkan pegangan dalam kondisinya yang
seperti itu. Karena mungkin dengan melakukannya, sedikit beban yang
tersimpan di dalam dada akan terlepas. Mungkin pengarang ingin
menyampaikan hal itu melalui puisinya di bagian ini.
Et quand le soir decendait en elle
Par ses joues
Elle appelait son chien doucement
Et disait
“ Et maintenant cherche ta vie “
Di bagian akhir puisi ini, mungkin bisa dibilang resolusi dari
pengarang yang disampaikan melalui si gadis kecil. Setelah melalui
masa perenungan yang membuat dia harus memahami keterbatasan dirinya
dalam memanfaatkan luasnya dunia, maka ketika dinginnya malam mulai
terasa di pipinya, dia memanggil anjingnya dan menyuruhnya untuk
mencari hidupnya.
Mungkin si gadis kecil berpikir bahwa kehidupan anjingnya sama
“terkekang”-nya dengan dirinya, sang majikan. Dia mungkin
berpikir bahwa seharusnya anjingnya tidak harus seperti dirinya yang
hanya dihabiskan di tempat itu saja, namun dia harus berkelana
mencari hal-hal baru di dunia luar. Mungkin dia sadar, bahwa sama
halnya seperti manusia, hewan sebenarnya hidup dengan bebas tidak
terikat di satu tempat saja. Baik manusia maupun hewan pada dasarnya
sama-sama memiliki jiwa petualang. Dia tidak ingin hewan
peliharaannya mengalami hal yang sama dengan dirinya, sehingga dia
menyuruhnya untuk mencari dan menjalani kehidupannya sendiri, tak
perlu bergantung kepada majikan seperti dirinya. Dia yakin bahwa
nanti hidupnya akan menjadi lebih baik daripada sekarang. Mungkin hal
itu yang diyakini oleh si gadis kecil.
Dari sedikit penjelasan itu, mungkin kita sudah mulai bisa
menyimpulkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengarang
melalui nuansa-nuansa yang tergambar dalam puisinya. Melalui tokoh
gadis kecil itu, penulis beranggapan bahwa hidup dengan bebas itu
sangatlah berharga dan sayang untuk dilewatkan. Hidup hanya sekali
karena itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin mendapatkan pelajaran
baru di dunia yang belum pernah ditemui sebelumnya. Bagi mereka yang
terkekang, hal ini merupakan impian karena itu kita tidak boleh
menyia-nyiakannya. Ini adalah hidup kita. Kita bebas untuk melakukan
apapun yang berguna bagi kehidupan kita. Kita berhak atas kebahagiaan
menikmati dunia dan kehidupan.
Jika mencoba untuk sedikit mengubah sudut pandang, penulis
berpendapat bahwa sekarang bukan lagi waktunya untuk berdiam diri
dalam keterbatasan. Mau tidak mau kita harus ikut maju sesuai dengan
perkembangan jaman. Dan untuk bisa maju, terkadang kenekatan dan
keberanian itu perlu dan dibutuhkan untuk menghadapi sesuatu yang
belum pernah kita temui sebelumnya. Tanpa keberanian itu, kita tidak
ak`n bisa maju. Jika kita tidak maju, maka kita hanya akan merasakan
kehidupan yang stagnan seperti yang dirasakan oleh si gadis kecil
itu. Karena itulah penulis sangat setuju dengan judul puisi René-Guy
Cadou ini, Cherche ta vie….
Praditya Dian Tami Anggara
0911130007
Langganan:
Postingan (Atom)