Pada tanggal ini tepatnya 4 tahun lalu, kurasa saat itu
merupakan saat-saat ternekat selama hidupku. Saat itu aku masih setengah tahun
menjadi mahasiswa. Belum juga menginjak semester baru, tapi sesuatu yang kulakukan
bisa dibilang baru dalam sejarah kehidupanku. Aku masih ingat kejadian itu. Kejadian
ketika aku baru pertama kali memperkenalkan diriku kepada Hinata Neesan,
sekaligus mengungkapkan perasaanku kepadanya dengan mengatakan bahwa suatu saat
aku ingin menikah dengannya. Kalian tidak percaya pun tak mengapa, haha. Tapi memang
itulah kenyataannya.
Seperti yang telah kuungkapkan pada tulisanku sebelumnya
bahwa aku telah jatuh hati pada Hinata Neesan sejak pertama kali aku
melihatnya. Semenjak saat itu, aku selalu menjadi secret admirer-nya. Kebiasaan lamaku, ketika suka dengan seseorang
lebih sering berdiam dalam hati. Banyak alasan mengapa aku lebih memilih
melakukan hal itu. Dulu maupun sekarang. Ada situasi dan kondisi tertentu yang
kuhadapi.
Sejak September ketika aku pertama kali melihatnya di
hari pertama Student Day Fakultasku, aku selalu mencari sosoknya. Tapi tentu
aku tidak berlagak menjadi seorang stalker
yang memburu dan mengikutinya ke sana sini. Aku hanya menanti kesempatan untuk
melihatnya, untuk bertemu dengannya, untuk berpapasan dengannya, untuk melihat
senyumnya dan untuk semuanya. Aku menunggu dan selalu berharap kesempatan itu
datang setiap hari, tapi tentu saja hal itu tidak mungkin. Lebih tepatnya
kemungkinannya sangat kecil (kalau tidak mau dibilang tidak mungkin), mengingat
aku dengannya beda angkatan dan beda program studi.
Ya begitulah. Semua mengalir begitu saja. Aku sangat
bahagia ketika dapat melihat sosoknya. Membuat nyaman perasaan. Bikin adem kalo kata orang. Dengan sosoknya
yang menurutku selalu cantik, manis, anggun, santun dalam balutan pakaian syar’i-nya,
aku selalu dibuatnya meleleh setiap kali aku melihatnya. Dia juga rajin
beribadah. Beberapa kali aku mendapat kesempatan berharga sholat bersamanya
(sama-sama sebagai makmum, haha) yang tentu dibatasi tabir/hijab musholla
fakultasku.
Aku tak tahu apa yang disukainya, tak pernah tahu pula
apa yang dibencinya. Aku tak tahu tanggal lahirnya (saat itu), aku tak tahu
alamatnya, aku tak tahu no.hpnya (saat itu), aku tak tahu mengenai keluarganya.
Aku hampir buta semua tentangnya kecuali nama lengkapnya, NIM-nya, program
studinya, rekan yang (paling) sering bersamanya, dan apa lagi ya? Hanya itu seingatku.
Kalau dilihat memang absurd. Sangat absurd. Menyukai seseorang
pada pandangan pertama lalu kemudian mencintainya dalam diam. Selalu melihatnya
dari jauh tanpa berucap sepatah katapun. Sekali lagi sangat absurd. Terlebih orang
mengatakan jangan menilai orang dari luarnya, don’t judge the book from its cover, tapi entah mengapa aku
membandel dan tetap meyakini dalam hati bahwa dengan tampilan luar yang dia
punya, aku yakin dia merupakan sosok yang baik. Aku yakin dia juga memiliki inner beauty yang sama atau lebih cantik
daripada penampilan luarnya. Sangat yakin. Seperti yang pernah kutulis
sebelumnya, bahwa dia sosok terindah, tersempurna yang pernah kulihat seumur
hidupku. Packaging yang lengkap,
haha. Karena itu aku memiliki pengharapan dan impian suatu saat aku dapat menikah
dengannya.
Keinginan itu yang pernah kuungkapkan pada teman dan
sahabatku. Aku kadang bercerita kepada mereka mengenainya. Terutama kepada
sahabatku. Aku sering bercerita kepadanya. Bercerita ini itu. Dia juga yang
terkadang menjadi spy-ku, haha. Ya maklum,
mereka sama-sama wanita, jadi mungkin bisa jadi lebih dekat satu sama lain. Kalau
aku? Sepertinya sulit. Biasanya seorang wanita dengan penampilan sepertinya
agak menjaga jarak dengan lawan jenis. Biasanya sih, biasanya. Aku juga tak
tahu pasti. Aku hanya tahu ketika dia bersama rekan 4 sekawan yang terdiri dari
2 cowok dan 2 cewek (termasuk dia) mereka biasa-biasa saja.
Setelah berbulan-bulan aku berada dalam diam, lama-lama
aku berfikir untuk menyatakan perasaanku kepadanya. Saat itu sudah memasuki
tahun baru 2010, aku memiliki keinginan untuk bisa berbicara dengannya 4 mata. Berkali-kali
aku melihatnya lewat di depan atau berpapasan denganku, namun aku hanya bisa
membisu. Lidahku kelu. Aku malu. Aku takut untuk mengungkapkan semua. Berkali-kali
aku mengatakan kepada diriku untuk nekat berbicara kepadanya langsung di depan
teman-temannya, namun niatan itu selalu kandas.
Aku sering berfikir dan sering berimajinasi saat-saat aku
mengungkapkan perasaanku kepadanya. Ketika dia lewat di hadapanku, atau aku
yang mendatangi tempatnya berkumpul dengan anggota 4 sekawannya, aku mengatakan
kepadanya bahwa aku ingin meminta sedikit waktunya untuk berbicara 4 mata
dengannya. Ketika dia mengijinkan, aku akan mengajaknya untuk sedikit meisahkan
diri dengan kelompoknya sebentar. Jika tidak maka aku akan berbicara
blak-blakan di depan teman-temannya. Tentu dengan menahan rasa malu yang pasti
akan sangat menjadi-jadi, karena memang aku orangnya pemalu.
Tapi kenyataan tidak semudah berlatih dalam imaji. Berkali-kali
aku menguatkan hati, tapi keberanianku selalu menyusut. Sampai suatu saat
menjelang tanggal kelahiranku, aku memutuskan bahwa aku akan berbicara
kepadanya saat hari ulang tahunku itu. Harus. Hal itu hampir saja terjadi saat
tanggal ulang tahunku tiba, aku kebetulan bertemu dengannya. Aku saat itu
sedang duduk-duduk santai di depan fakultas, dan aku melihatnya berjalan menuju
fakultas. Ini berkah, begitu pikirku. Aku juga berkata pada diriku now or never. Ini hari spesialku,
buatlah sesuatu yang spesial juga supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari.
Meskipun itu hanya sekedar mengungkapkan isi hati supaya dia tahu tanpa
berharap terlalu banyak untuk mendapatkan jawaban. Jikalaupun mendapat jawaban
secara langsung baik positif ataupun negatif, maka hal itu menjadi bonus
buatku.
Namun yang terjadi semakin dia berjalan mendekat menuju
pintu masuk gedung fakultas, aku masih belum memiliki ketetapan hati untuk
nekat berbicara kepadanya. Keteguhan yang sudah kupersiapkan memudar begitu
saja karena aku takut dan malu. Sampai akhirnya dia melewatiku, aku hanya mampu
menunduk dan membisu. Sial. Aku gagal. Lagi. Lagi-lagi aku gagal karena
ketakutanku. Karena rasa maluku. Aku marah pada diriku sendiri saat itu yang
melewatkan kesempatan berharga untuk mengungkapkan perasaanku kepada Hinata
Neesan. Aku kesal. Aku muak kepada diriku sendiri. Aku sedih karena keinginanku
untuk melakukan sesuatu yang ‘spesial’ di hari spesialku urung kulakukan. Sedih,
marah, kesal, semua bercampur menjadi satu.
Setelah kemarahanku kepada diriku sendiri itu, aku
berjanji kepada diriku bahwa hal itu tak akan terulang lagi. Pada kesempatan
berikutnya aku akan benar-benar nekat untuk mengatakan kepadanya. Namun aku
tentu tidak tahu pasti kapan aku akan bertemu dengannya. Aku hanya bisa
menunggu. Berharap ada kesempatan kedua yang diberikan Tuhan kepadaku. Dan aku
beruntung. Kesempatan itu benar-benar datang beberapa hari setelah tanggal
lahirku. Ya, pada tanggal ini. Tanggal 8 Februari 2010.
Saat itu aku sudah menyelesaikan segala urusan
administrasiku di kampus. Aku sudah melakukan registrasi ulang dan mengurusi
urusan lain. Kebetulan saat itu aku masih belum pulang, aku memutuskan untuk
sholat dhuhur terlebih dahulu di musholla fakultasku. Selesai sholat aku segera
keluar dan tiba-tiba saja aku berpapasan dengan Hinata Neesan dan seorang
temannya (cewek) yang sepertinya hendak sholat juga. Aku sempat bingung apa
yang harus aku lakukan saat itu. Aku menuruni tangga dengan perasaan bingung,
hingga akhirnya aku memutuskan untuk berbicara kepadanya, namun tentu menunggu
dia selesai sholat terlebih dahulu. Entah memang aku sedang beruntung atau
memang takdirnya seperti ini, selepas dia sholat temannya pergi ke toilet. Akhirnya
kuberanikan diri untuk menegurnya.
Sungguh, saat itu jantungku berdetak keras dan tak
karuan. Setelah menegur, aku meminta ijin untuk berbicara dengannya, dan dia
mengiyakan. Fyuh, satu tahap terlewati. Kekuatan mentalku saat ini diuji. Benar-benar
diuji. Seperti yang kukatakan di awal tadi, aku belum pernah berbicara
sekalipun kepadanya. Jadi saat-saat seperti merupakan saat yang menegangkan
bagiku. Kalau bagi mereka yang playboy
mungkin aku akan ditertawakan karena tingkahku yang seperti anak kecil ini.
Sebelum aku berbicara mengenai masalah utama yang ingin
kuutarakan, terlebih dahulu aku memperkenalkan diriku. Setalah itu, aku salah
tingkah. Ya. Salah tingkah. Kalian tidak salah baca. Aku salah tingkah tak
karuan. Aku hanya bisa bisa mengatakan “Sebenernya saya mau ngomong... ng...
anu... anu...” seperti itu berkali-kali dengan pose yang berbeda-beda. Sambil menggaruk-garuk
kepala yang tidak gatal, memiringkan kepala, atau menggaruk-garukkan jari ke
tembok. Serius. Tentu bukan garukan ala Catwoman
atau Wolverin yang sampai
membekas, aku hanya menggaruk-garuk kecil. Tingkahku yang tak karuan dan
pastinya sangat tidak jelas itu bahkan sampai ditertawakan oleh Hinata Neesan. Tentu
hal ini semakin membuatku grogi.
Akhirnya setelah beberapa saat aku utarakan juga
maksudku. Kurang lebih dengan kata-kata seperti ini “Ng... sebenernya saya mau
ngomong... sebenernya saya suka sama Mbak XXXX... dan kalau misalnya suatu saat
nanti memang jodoh, saya pengen nikah sama Mbak XXXX...”. Ketika aku mengatakan
hal itu, aku melihat raut keterkejutan di wajahnya. Ya wajar saja sih dia
terkejut. Kalau dia tidak terkejut sama sekali, malah itulah yang aneh, haha. Bagaimana
tidak, bayangkan saja ketika ada seseorang yang tak pernah kalian kenal
sebelumnya, kemudian tiba-tiba dengan gaya yang salting tidak karuan
memperkenalkan diri kepada kalian, dan langsung mengatakan bahwa dia menyukai
kalian serta ingin menikah dengan kalian suatu hari nanti, pasti kalian kaget,
kan? Haha.
Setelah mengatakan hal itu, aku masih menambahkan
beberapa kalimat yang sudah kupersiapkan sebelumnya (dengan versi berantakan
karena dalam posisi sangat grogi). Kurang lebih aku mengatakan bahwa untuk
menikahinya, tentu sangat tidak cukup dan tidak layak dengan kondisi diriku
yang sekarang ini. Aku mengatakan juga padanya bahwa aku akan memperbaiki diri
dan memantaskan dii untuk bisa menikah dengannya, tentu sekali lagi, jika
memang aku dan dia berjodoh, jika tidak ya pasti ada takdir lain yang
menantiku. Tapi jika melihat keadaanku sekarang ini (tahun 2014), aku tidak
yakin bahwa ada peningkatan berarti dari janjiku yang kuucapkan padanya saat
itu. Hhh... menyedihkan memang, tapi bukan berarti aku akan berhenti dan menyerah
begitu saja.
Kemudian aku juga berkata bahwa sebelum semua itu,
sebagai awalnya, aku bertanya apakah aku boleh menjadi temannya. Dia mengiyakan.
Aku lega. Sangat lega ketika dia mengatakan hal itu. Jujur, segala ketakutanku
akan reaksinya tidak terjadi. Ketakutanku yang macam-macam tidak terjadi sama
sekali. Aku lega dan bersyukur. Setelah itu aku berterima kasih kepadanya dan
meminta maaf jikalau aku telah mengganggu dan juga bila ada kata-kata yang
tidak berkenan. Bersamaan dengan itu aku berpamitan dan mengucapkan salam
kepadanya.
Sesegera
mungkin aku mencari tempat untuk menenangkan diriku. Aku berhenti di bawah
pohon palem depan fakultasku. Dengan menyandarkan tanganku di batang kokohnya,
aku menghela napas panjang. Aku mengingat lagi perbuatan nekatku barusan. Benar-benar
nekat! Dan pastinya absurd! Sulit dicerna! Dalam hati aku menertawakan diriku
sendiri atas kenekatanku itu. Benar-benar gila! Haha. Entah. Aku tak tahu lagi
harus berkata apa. Haha. Aku sendiri kehabisankata-kata untuk mengungkapkan
kegilaan dan kenekatanku itu, haha.
Tapi
yang jelas, setelah itu aku bisa pulang ke rumahku dengan perasaan riang
(dengan sisa-sisa degupan jantung yang masih belum reda benar). Aku lega, telah
mengungkapkan perasaanku. Aku lega telah mengatakannya. Hanya supaya dia tahu. Mengenai
jawabannya? Biar nanti dijawab oleh Sang Waktu. Ya! Salah satu hal terberat,
ternekat dan tergila sudah kulakukan. Aku telah mengalahkan rasa takut dan rasa
maluku. Baru saja kulakukan. I DID IT!!!! :D