Banyak orang di dunia ini yang menyukai lawan jenis melalui ketertarikan fisik. Tidak sepenuhnya salah, karena ada quote
-yang entah siapa pencetusnya- yang kurang lebih berbunyi begini,
“Cinta itu dari mata turun ke hati”. Diakui ataupun tidak, mayoritas
penghuni dunia fana ini, tidak peduli dia dari rumpun mana ras apa
merupakan penganut setia dari quote tersebut. Tidak banyak dari
mereka yang mampu mengalahkan nafsu mata terlebih ketika terpampang
tampang rupawan di hadapannya, kecuali mereka yang tidak mampu melihat
dengan baik, sebagian ataupun seluruhnya. Coba saja buat survei cowok
atau cewek seperti apa yang menjadi idaman, pasti tidak ada yang secara
sengaja memilih golongan manusia buluk nan berdaki plus berbau asam
dengan tampang yang ketidaksejajarannya agak keterlaluan. Fisik seakan
menjadi tujuan pertama sebelum menyelami hati seseorang, dan entah sial
atau bukan hal itu juga menimpaku, dan itu karenamu! Ya, karenamu!
Kalau kebanyakan laki-laki dapat jatuh hati kepada mereka yang berparas cantik dan atau yang semlohai
–entah bahasa dari mana ini-, aku cukup jatuh hati padamu melalui
senyummu. Ya, cukup dengan senyummu. Semenjak pertama kali bertemu,
senyummu tidak pernah berubah. Well, okelah kuakui setelah senyummu,
kuakui bahwa kamu memang rupawan. Di atas rata-rata menurut radar
kecantikanku. Jika aku diharuskan menilaimu, wajahmu akan mendapat nilai
9 dari 10 dariku. Sementara senyummu akan mendapat nilai 10 dari 10,
yang berarti SEMPURNA! Kalau ada penilaian di atas sempurna, akupun tak
akan segan-segan memberikan nilai itu kepadamu. Percaya atau tidak,
melalui senyummu yang makcling itu, mata kepala dan mata
batinku seakan dipenuhi binar-binar cahaya yang seolah membawaku berada
di dunia yang lain. Duniamu dan duniaku, hanya kamu dan aku, bayanganku
seperti itu.
Kamu mungkin tidak mengingat kapan
tepatnya kita pertama kali bertemu. Namun hal itu masih terpahat dengan
jelas di benakku, karena di hari itulah aku melihat senyum terindah
selama aku hidup. Lebay? Alay? Mungkin iya, mau bagaimana lagi.
Sulit bagiku untuk menemukan ungkapan yang tepat. Saat itu kamu mungkin
masih tidak sadar aku berada di kelas yang sama denganmu, tapi di hari
pertama tahun kedua kuliah kelas terjemahan lantai 4 ruang D2 dengan
dosen bapak kepala plontos berkumis bertampang sangar di ujung hari
itulah kamu menunjukkan senyum mautmu. Di saat penghuni kelas yang lain,
termasuk aku mulai terkapar karena rentetan kuliah hari itu, kamu tetap
mampu menunjukkan senyum manismu. Teramat manis malah. Padahal kamu
memakai baju kurung lengkap tanpa kurang satupun, tapi hal itu tidak
menghalangi senyummu tetap bersinar.
Padahal jika dilogika, peluhmu
pasti lebih banyak daripada mereka yang baju kurang bahan, tapi senyummu
itu lho masih saja tersungging. Seharusnya kamu menampakkan
wajah lelah dan resa gerah yang melebihi kamum hawa lain. Karena
meskipun berbeda kelas sebelumnya, aku tahu bahwa hari ini semua
mahasiswa seangkatanku di jurusan ini setidaknya menempuh 3-4 mata
kuliah. Saking tidak habis pikirnya aku, sepanjang pelajaran kuhabiskan
melihatmu dari kursi pojok dengan sudut tidak lebih dari 100. Kulihat
terus wajah seriusmu yang memperhatikan penjelasan dari biksu brewok di
depan kelas. Sesekali kamu menoleh ke arah temanmu yang bertanya, aku
tetap memperhatikanmu. Aku hanya melewatkan pandanganku padamu ketika
mataku berkedip, tentu dengan frekuensi yang jauh lebih lambat daripada
biasanya. Kuperhatikan terus dirimu, kunantikan senyum itu muncul sekali
lagi. Senyum yang langsung menancapkan anak panahnya di hati ini. Namun
sayang sekali senyum yang kulihat sebelum kelas dimulai tadi adalah
senyum pertama dan terakhir yang kulihat darimu hari itu.
Semenjak saat itu entah sudah berapa kali aku berusaha untuk selalu
dapat melihat senyummu. Jika di luar kelas aku akan berusaha sesering
mungkin untuk mencuri pandang ke arahmu, tentunya jika kamu masih berada
di wilayah yang bisa dijangkamu penglihatanku yang dibatasi oleh minus
ini. Range yang bisa kuperjauh dengan kacamata tak mampu
kumanfaatkan lebih banyak jika kamu berada di balik gedung atau tidak
berada di kampus. Saat-saat seperti itu yang membuatku kesal. Karena aku
harus melihat senyum-senyum biasa yang tersebar di sana-sini. Tidak ada
senyum seindah senyummu. Ketika suatu saat aku mendapatkan anugrah
terindah –ya, melihat senyummu tentunya, apalagi.-, saat itu pula
senyumku turut terkembang dengan sendirinya.
Terkadang aku bertindak di luar nalar. Kelakuanku sedikit banyak bisa dibilang mirip stalker.
Tentu aku melakukannya selama aku dan kamu masih berada di kampus. Jika
hal itu kulakukan juga di luar, maka aku akan benar-benar dicap sebagai
stalker. Untungnya aku masih memiliki akal sehat untuk tidak
berbuat sekonyol itu, karena aku tahu konsekuensinya. Jika aku sampai
tertangkap tangan oleh polisi karena menjadi stalker, maka saat
itu pula aku akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan momen
terindahku, melihat senyummu. Aku juga bukan seorang yang akan berusaha
sekuat tenaga untuk mengumpulkan sebanyak foto senyummu dimanapun dan
kapanpun kamu berada. Karena bagiku foto hanya bersifat sementara, tapi
ingatanku mampu menyimpan sebanyak apapun memori senyumanmu.
#$%^&^%$#
2 tahun 336 hari sudah aku melihat senyummu. Dan kini tiba saatnya
wisuda. Bisa jadi saat ini merupakan saat-saat terakhir aku bisa melihat
senyummu. Hatiku seakan belum bisa menerimanya. Setelah sekian lama aku
setia menantikan senyummu, apakah aku tidak punya hak untuk mendapatkan
lebih dari itu? Karena sepanjang aku mengumpulkan senyummu di
ingatanku, benih cintaku secara perlahan terkumpul menjadi satu. Setiap
senyummu yang kulihat mewakili beningnya kepribadianmu. Melalui satu per
satu senyummu itu aku juga menemukan sisi lain darimu yang membuat
perahu cintaku memutuskan untuk berlabuh di dermaga hatimu. Namun hal
itu kini berada di ambang khayal. Setelah wisuda ini aku mungkin tidak
akan bertemu lagi denganmu.
Apakah hanya sampai di sini saja? Batinku
menjerit. Tuhan ternyata mendengarkan jeritan batinku. Di saat aku
tertunduk lesu setelah prosesi wisuda -meskipun berada di jajaran top member-,
aku melangkahkan kakiku keluar gedung bersama rombongan keluargaku di
belakang dan secara tidak sengaja aku bertemu denganmu di luar gedung.
Hal ini tentu saja mengejutkanku. Aku hanya mampu berdiri diam dengan
jarak tidak lebih dari 3 meter di depanmu dan keluargamu. Bibirku
bergetar dan kelu tak mampu berkata sepatah katapun. Kemudian –secara
gerak lambat dalam pikiranku- kamu menoleh kepadaku, tak ayal mata kita
saling bertemu. Kemudian kamu mengeluarkan jurus pamungkasmu ke arahku,
senyum manis itu.
Bak diserang dengan serangan yang mengandung maximum critical damage,
sekali lagi aku hanya mampu mematung, namun hatiku tentu saja telah
meleleh sejak tadi. Jika saja aku berada di dunia lain, sudah pasti aku
berada di nirwana karena terbuai oleh senyummu. Tapi kupertahankan alam
sadarku, karena itu senyumku –entah sadar atau tidak- ikut terkembang.
Tiba-tiba aku tersadar. HEI! Ini pertama kalinya senyum kita saling
bertemu! Tahukah kamu? Sadarkah kamu? Hatiku menjerit tak karuan.
Senang! Bahagia! Teramat sangat! Tak terurai kata! Tak tergambar apapun
jua! Dan tak kuduga, kejutan darimu masih berlanjut.
“Arga, selamat ya! Kamu jadi salah satu top member lulusan angkatan kita.”
HEI! Hatiku kembali menjerit dengan sendirinya. Kamu tahu namaku! Eh,
ralat! Kamu ingat namaku! Padahal aku hanya pernah memperkenalkan diriku
di kelas dengan kamu salah satu penghuninya, di kelas tata bahasa tahun
kedua. Artinya aku tidak pernah berkenalan ataupun berinteraksi secara
langsung denganmu sebelum ini. Namun kamu masih mengingat namaku.
Padahal jujur saja aku tidak punya banyak kenalan dan aku tidak yakin
pula banyak yang mengenalku. Tapi kamu... ah... hal ini benar-benar
membuat hatiku semakin berbunga! Saat-saat yang paling indah ternyata
tidak berhenti sampai di situ saja. Kamu masih belum mengisyaratkan
untuk berhenti memberikan kejutan.
“Eh, Arga! Rumah kamu masih di kisaran kota ini ‘kan? Boleh minta?”
“Buat
apa Fey?” Eh? Pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya di luar
kesadaranku. Pertama kali pula bagiku memanggil namamu secara langsung.
Dan lagi-lagi senyummu itu kamu lemparkan kepadaku. Again, critical damage.
“Himitsu... himitsu...!” jawabmu kemudian sambil mengerlingkan matamu. Oh Tuhaaan... harus berapa kali kamu lancarkan serangan dengan maximum damage seperti
itu kepadaku baru kamu puas, Fey.... jerit lirih batinku. Namun di
antara jeritan lirih itu tersirat kegembiraan yang tiada tara. Akhirnya
interaksi kita berakhir dengan lambaian tangan kita berdua ketika
langkah menjauhkan jarak kita. Senyumku tak henti-hentinya terkembang
hari itu. Hari yang kurasa menjadi hari paling menyedihkan, diubah-Nya
menjadi hari terindah. Terima kasih Tuhan...
#$%^&^%$#
Dalam renunganku selama masa vakum aku belum mendapatkan jawaban dari
rahasia yang kamu berikan kepadaku, dan juga hasil musyawarah keluarga
-setelah kuceritakan semua hal tentangmu-, aku memutuskan untuk segera
meminangmu. Ya, telah kubulatkan tekadku. Aku ingin menjadikanmu
pelengkap hidupku. Keluargaku tidak ada yang menolak. Semua setuju
dengan keputusan itu. Semua turut berbahagia karena baru saja beberapa
hari aku menjadi wisudawan, aku juga akan segera melepas masa lajang.
Esoknya aku dan keluarga telah bersiap untuk pergi melamar Fey. Hatiku
bergetar karena bahagianya. Dalam hatiku pula aku bersyukur... Terima
kasih Tuhan.. Kamu akan segera menghadirkan bidadari di sela jemari
ini.. Sebagaimana telah aku nanti selama hampir separuh hidup yang telah
kujalani.. Di saat yang tepat, Kamu turunkan hujan di antara
kegersangan... dan tanpa sadar aku menitikkan air mata bahagia. Kemudian
aku tersenyum melihat bayanganku di cermin yang terlihat rapi dan...
menurutku cukup bisa mempesona wanita.
Tiba-tiba
beberapa anggota keluarga masuk ke kamarku. Aku cuek saja karena sibuk
memeriksa penampilanku supaya tampak lebih sempurna. Namun aku heran
ketika melihat air muka mereka –yang terpantul di cermin- yang tampak
mengasihaniku. Seharusnya mereka bahagia ‘kan hari ini? Mengapa
menampakkan raut wajah seperti itu? Ayahku kemudian memegang bahu
kiriku ketika aku sedang membenahi dasiku. Aku berbalik karena aku yakin
itu yang dipintanya. Di depan pintu kamarku kulihat kakak perempuan dan
ibuku manangis pilu. Aku semakin heran ada apa sebenarnya. Perhatianku
kemudian direbut oleh ayah. Beliau memberikan amplop hijau muda
kepadaku. Kemudian beliau memegang pundakku kembali dan berbalik menuju
ibu dan anggota keluarga lain. Ketika kubuka amplop itu dan kubaca
isinya, akhirnya aku mengerti arti dari tangisan ibuku, dan juga himitsu itu...
#$%^&^%$#
Kuteguhkan hatiku untuk berangkat ke rumahmu. Meskipun harus kuakui
tidak mudah. Sama sekali tidak mudah. Ketika tawa dalam sekejap menjadi
tangis, aku tahu bagaimana perihnya itu. Tapi setidaknya aku ingin
menyaksikan anugrah terindah yang pernah Tuhan berikan kepadaku.
Kulangkahkan kakiku setegap mungkin meskipun hati ini masih luluh lantak
sejak datangnya undangan pernikahanmu seminggu lalu. Di hari yang
harusnya menjadi hari bersejarah karena aku akan melamarmu, nyatanya
harus berakhir dengan isak tangis seluruh keluarga, tak terkecuali aku.
Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku tersenyum miris.
Awalnya aku dan kamu tidak saling kenal. Aku hanya mengenalmu lewat
senyummu. Aku hanya melihatmu dari kejauhan. Selama itu pula benih itu
bersemi dengan sendirinya. Kusangka hanya sampai situ saja cerita di
antara kita. Oh well... baiklah... ralat. Ceritaku tentangmu.
Namun siapa sangka di hari wisuda ternyata kamu memberikan kejutan yang
sangat tak terduga. Ternyata kamu mengenalku tanpa kutahu. Bahkan kamu
menyelamatiku, meminta alamatku dan mengatakan akan ada himitsu untukku. Tapi tak pernah kusangka himitsu seperti itu yang kuterima. Namun apalah daya. Inilah jalan cerita yang digariskan oleh Yang Kuasa.
Dalam serpihan hatiku itu masih tersisa senyummu. Senyum yang membawa
dan meniupkan ruh cinta dalam hidupku. Senyum yang... ah... sudahlah.
Dan kini, ketika aku berdiri di antara ribuan tamu –dan mungkin
lagi-lagi tak kamu tahu- aku masih memperhatikanku. Kumenatapmu. Masih
melekat senyum pertamamu. Kini senyummu jauh lebih berbinar dibandingkan
saat itu. Rona wajahmu menyiratkan kegembiraan. Matamu memancarkan hal
yang sama. Dan aku yakin hatimu pun juga. Artinya kamu benar-benar
bahagia. Dengan dia, laki-laki yang kini telah menjadi sandaran hidupmu.
Tempatmu meletakkan dirimu sebagai rusuk yang hilang.
Lalu... adakah hal lain yang menghalangiku untuk tidak turut
berbahagia? Sejak lama aku selalu menantikan senyum yang sama. Senyum
yang memancarkan binar bahagia. Lalu apa lagi yang bisa kupinta kepada
Tuhan untukmu? Tidak lain dan tidak bukan adalah kebahagiaanmu. Senyummu
adalah senyumku juga. Senyum bahagiamu yang kamu tunjukkan hari ini
adalah senyum terindah yang pernah kulihat. Itu artinya aku harus
berusaha dan wajib memudarkan rasa cintaku padamu –sebagai laki-laki-
yang sebelumnya telah tumbuh di hatiku demi menjaga senyum terindahmu
itu tetap merekah sepanjang sisa hidupmu. Dan aku akan berusaha dan
wajib mencintai serta menyayangimu sebagai saudara, bukan lagi sebagai
laki-laki. Terima kasih atas segalanya Fey... terima kasih pula Tuhan
karena Engkau pernah menyirami cinta di hatiku melalui senyum itu...
#$%^&^%#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar