"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Rabu, 10 Agustus 2011

Tak Sama Dengan.....




     Bunga-bunga sudah bermekaran lagi. Agak lama aku tidak melihat keindahan mereka. Mataku jadi segar tiap melihat mereka. Apalagi pagi-pagi begini. Momennya sangat pas, karena masih ada bulir-bulir embun yang menghiasi bunga dan dedaunan bagai permata. Tiap melihat bunga-bunga itu, aku jadi semangat. Semangat untuk mulai melatih raga seperti biasa. Ya, aku seorang karateka. Meski belum terlalu ahli. Okelah, kalian bisa menyebutku pemula, karena memang baru dua tahun aku mendalaminya.
       Ada alasan tersendiri aku mengikuti salah satu beladiri yang berasal dari negara matahari terbit ini. Meski orang bilang tubuhku terlalu panjang ke atas dan kurang tebal ke samping, aku tak peduli. Itu memang perawakanku. Dengan tinggi 175cm dan berat 45kg, wajar jika orang berkata aku seperti bambu. Aku akui itu.
       Kembali ke alasan. Kalian ingin tahu alasanku? Lihatlah rumah bercat hijau muda dua blok arah kanan dari rumahku. Pasti sekarang kalian sedang melihat seorang wanita yang sedang menyiram bunga-bunga serta tabulampot di balkon sambil bersenandung dengan ceria. Dia bukan nenek kalian, buyut kalian, mbok Ponirah atau mbah Tukiyem ataupun wanita KW13 lain yang kalian ajukan namanya padaku. Tapi dia adalah bidadariku. Bidadari yang hendak kupinang dalam sebulan mendatang. Semoga benar terealisasi.
       Dia, Zafirilia Zhelanie Aquarista. Mungkin kalian heran mengapa wanita cantik yang selalu mengenakan jilbab dengan warna cerah ini menjadi alasanku. Aku ingin melindunginya. Singkatnya seperti itu. Selain untuk melindungi diri sendiri, aku juga ingin menjadi benteng tangguh untuknya supaya tidak ada seorangpun yang bisa menyentuhnya. Bukan overprotektif. Anggap saja berjaga-jaga. Dunia sekarang sudah tidak karuan. Kalian pasti akan menemukan tindak kriminal dimana-mana. Bukan berarti seluruh dunia hanya berisi hal seperti itu, namun kenyataannya berita di televisi saja setiap hari menayangkan berita tentang pembunuhan, perkosaan, penjambretan, perampokan dan lain sebagainya.
       Alasan lainnya? aku ingin mengajarkan olah tubuh ini pada Rista. Rawan juga kan kalau misalnya kami tidak sedang bersama namun dia mendapat "godaan" macam-macam. Maklum, dia cukup atau bahkan sangat populer. Mantan model sih. Begitulah. Kalau nanti aku mengajarkannya secara pribadi kan suasana romantis di antara sepasang suami istri (insya Allah, Amin) bakal tercipta dengan manis kan? Hehe. Bentuk kasih sayang kan tidak harus diwujudkan melalui bunga atau diner di restoran kelas eropa. Lewat karate juga bisa. Tidak ada salahnya. Ya, kan?
       Sudahlah, aku akan melakukan pemanasan dulu, baru setelah itu aku akan melatih gerakan dasar dan jurus-jurus yang sudah diajarkan senpai-ku. Pengulangan itu penting. Karena karate itu bagaikan air panas. Jika tidak terus diletakkan di atas api maka akan padam. Lagipula dengan mengulang gerakan dasar dan jurus, maka gerakan akan semakin mantap. Ada lagi, yait....
       "Ri, Ari! Gawat Ri!" kudengar suara Syamil berteriak memanggilku. Aku sangat mengenal tipe suara logat maduranya. Sudah 4 tahun kami berteman. Benar saja. Sesaat kemudian kulihat dia memasuki halaman rumahku dengan terengah-engah.
       "@da apa to, Mil?" tanyaku tenang.
       Dia masih terengah. Mencari napas sesegera mungkin. Kemudian,
       "Rista, Ri. Rista! Dia terpeleset dari balkon dan jatuh di depan rumahnya. Entah kenapa pula pagar balkonnya tiba-tiba rusak. Sekarang dia dibawa ke rumah sakit. Darahnya banyak yang keluar, kata adiknya kepalanya yang jatuh terlebih dahulu. Ayo Ri! Kita ke rumah sakit sekarang! Kita pakai motormu! Ayo!"
       Kata-kata selanjutnya yang diucapkan Syamil tak terdengar lagi olehku. Aku langsung melesat masuk ke dalam rumah mencari kunci motor dan helm. Aku harus ke rumah sakit. Segera. Sekarang juga. Rista. Rista ada di sana. Menyambung nyawa.
               ****
       Dengan langkah cepat kami menyusuri lorong rumah sakit sambil sesekali menghindari orang-orang yang berjalan ke arah berlawanan. Tak jarang mereka melihat kami dengan wajah yang aneh. Mungkin pikir mereka ,"Hei, ini rumah sakit, bukan lapangan bola, jangan berlarian seenaknya!" Tapi kami tak peduli. Mungkin lebih tepatnya aku yang tidak peduli. Aku kalut.
       Setelah diberitahu bahwa Rista dibawa ke rumah sakit, tidak ada hal lain yang terpikir dalam benakku selain ingin memastikan kondisinya. Sekarang juga.
       Tak berapa lama kami, Aku dan Syamil akhirnya sampai di depan kamar operasi, tempat Rista berjuang menyambung nyawa. Di sana sudah berkumpul beberapa tetangga yang mengantar serta adik Rista, Vani. Mereka tampak gelisah. Sama sepertiku.
       "Bagaimana?" tanyaku.
       "Masih dioperasi, Mas.." jawab Vani lemah sambil sesenggukan.
       Tiba-tiba ruang operasi terbuka. Tanpa komando kami menyatukan langkah mendekat ke sana, namun perawat itu berlalu ke arah lain. Perasaanku semakin tidak menentu. Lampu merah tanda operasi masih berlangsung masih menyala, tapi ada salah seorang perawat yang keluar, tidak biasanya.
       Beberapa saat kemudian, perawat itu mendatangi kami. Wajahnya terlihat agak panik.
       "Maaf, apakah ada di antara keluarga pasien yang bergolongan darah O?"
       Tak ada yang menyahut. Kami saling berpandangan.
       "Saya." sahut Vani tiba-tiba.
       "Maaf, berapa usia Adik?" tanya perawat itu.
       "15."
        Perawat itu hanya menggelengkan kepala.
       "Ada yang lain?"
       Semua membisu.
       "Memangnya ada apa? Mengapa anda menanyakan hal itu? Rista membutuhkan donor darah? Bukannya di setiap rumah sakit pasti tersedia kantong-kantong darah? Mengapa tidak menggunakan itu saja?" dengan tidak sabar aku memberondong perawat itu dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
       "Maaf, Mas. Stok darah O habis. Baru saja saya cek. Karena itu saya bertanya kepada kelaurga atau kerabat, apa ada yang bergolongan darah sama. Tapi yang ada hanya Adik yang umurnya belum mencukupi ini. Kami juga berusaha meminta suplai dari PMI terdekat. Permisi." dia berlalu.
       "Maaf." ucapanku menghentikan langkah perawat itu.
       "Rista akan baik-baik saja kan?"
       "Kami akan melakukan yang terbaik. Do'akan saja yang terbaik"
       Aku lemas. Rista membutuhkan donor. Namun stok habis. Yang ada hanya Vani yang belum cukup umur untuk donor. Jika mampu, aku ingin mendonorkan seluruh darahku padanya. Namun itu tak mungkin. Darahku AB. Aku tertunduk lesu. Andai saja orang  tua Rista ada di sini, mungkin keadaan akan lebih baik, namun mereka sedang berada di luar kota.
       Ironis sekali. Golongan darah terbanyak di muka bumi adalah O. Namun mengapa di saat seperti ini, darah itu menjadi begitu langka? Ya Allah... kumohon, selamatkanlah Rista....
       Suasana hening menyelimuti kami. Mungkin batin kami yang berteriak, mengungkapkan segala resah. Ketegangan tak mau pergi dari sisi kami.
       Tiba-tiba terlihat seorang perawat membawa beberapa kantong berisi cairan merah yang kami yakini sebagai darah ke dalam ruang operasi Rista.
       "Alhamdulillah..." ucap kami bersamaan. Sepercik kelegaan membasahi rongga dada kami. Terutama aku. Menurutku. Setelah itu, tak henti-hentinya kami melantunkan do'a. Pelan, namun meyakinkan.

***

      Lampu merah kamar operasi itu mati. Penantian selama kurang lebih satu jam penuh ketegangan berakhir sudah meskipun rasa was-was masih tersisa di antara lega.
      Pembicaraan singkat dengan dokter tak jua menghilangkan kegundahan dari hati kami, karena meskipun selesai operasi, namun kondisi Rista belum sepenuhnya baik. Meski terdengar klasik, namun kami memang hanya bisa berharap dan berdo'a.
      Beberapa jam lagi kami baru bisa melihat kondisi Rista secara langsung. Sekarang masih belum. Kesabaran kami kembali di uji.

***

      Selepas Dhuhur, kami sudah mulai bisa menjenguknya, meskipun dia belum sadar. Saat hendak masuk ruangan ICU itu, hawa dingin serta bau-bau aneh (menurutku) yang sangat menusuk perasaan terasa begitu pekat. Benar-benar suasana rumah sakit.
      Secara bergantian kami mendampinginya selama beberapa saat. Kami memang tidak diperkenankan terlalu lama. Kondisi Rista memang masih sangat lemah. Tapi paling tidak kami ingin memberikan support kasat mata padanya.
      Giliranku tiba. Terakhir. Kudatangi dia dengan perlahan.
      Dia terlihat begitu pucat. Wajahnya masih tampak putih. Matanya sayu. Tergolek tak berdaya dia di ranjang rumah sakit. Berbagai alat medis masih tersambung di badannya. Beberapa penopang nyawanya.
      Aku tak tega melihatnya. Sungguh. Air mataku hendak membludak keluar namun dengan susah payah kutahan. Aku tak ingin memperlihatkan tangisan di hadapannya. Tidak. meskipun dia tidak melihatku. Namun aku ingin memberikan semangat positif padanya.
      Di sampingnya, melihatnya, ingin sekali rasanya aku membagi nyawaku padanya. Ingin kupeluk dia. Ingin kugenggam tangannya. Menggenggam erat jemarinya untuk menyalurkan kekuatan padanya. Namun aku tidak bisa. Belum bisa. Baru sebulan lagi.
      Aku hanya bisa duduk di kursi sebelah ranjangnya. Bertopang dagu di sisi sanjangnya.
      "Ris, bangunlah. Buka matamu, Ris. Kumohon."
      Hening sejenak.
      "Kita akan menikah sebulan lagi, kan? Kalau kamu di sini terus, bagaimana kamu bisa membuat pesta pernikahan yang kamt inginkan? Bagaimana kamu bisa memakai gaun biru muda saat janji suci nanti? Atau gaun pink saat kita di pelaminan? Kamu bilang kamu ingin membuktikan kalau kita pasangan paling cocok dan romantis kan? Karena itu, bangunlah. Aku rindu senyummu. Rindu tawamu. Rindu sosokmu yang ceria dan selalu bahagia. Kumohon, Zafirilia Zhelanie Aquarista, bangunlah."
      Suasana kembali hening. Air mataku sudah menggantung. Sudah saatnya keluar. Tak lupa kulantunkan do'a sebelum aku melangkah keluar.
      Sambil berjalan menuju pintu aku terus berharap semoga tidak lama lagi Rista akan membuka matanya, menyambut dunia.
      Tiiiii.......t
      Deg. Tubuhku membeku. Jantungku seolah berhenti berdetak. Darahku seolah berhenti mengalir. Bulu kudukku merinding. Suara datar dan konstan itu....
      Detik itu pula aku membalik badan dan menghambur ke arah Rista dengan histeris.

############

Tidak ada komentar:

Posting Komentar