Jantungku berdetak keras. Keringat dingin tak henti-hentinya mengucur
dari pori kulitku. Sambil bersedekap aku menggigit bibirku. Kecemasan
benar-benar melandaku saat ini.
“Dik,
tenang saja. Tak perlu sampai gemetaran begitu.” suamiku berkata
sambil mendekap bahuku. Menenangkanku. Namun rasanya percuma,
gemetaranku tak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti.
“Tapi
Mas….”
“Tapi
apa?” tanyanya lembut.
“Mas
‘kan sudah tahu kalau aku takut ke dokter. Takut disuntik. Sekarang
malah dibawa ke dokter.” kataku sambil cemberut.
Suamiku
malah tersenyum. Pembawaan Mas Rama memang begitu. Tenang dalam
segala situasi. Sifatnya itu memang kadang bisa membuat orang
yang grogi menjadi lebih tenang. Kesabarannya itu juga yang
membuatnya selalu bisa menangani sifat manjaku yang tidak bisa
hilang. Apalagi pada phobia ‘dokter dan suntikan’ku ini.
Dia seakan menjadi orang paling sabar di dunia. Padahal dulu orang
tuaku sering kewalahan menghadapiku saat hendak membawaku ke dokter.
Pernah aku sampai nekat memanjat pohon mangga depan rumah supaya
tidak dibawa ke dokter, padahal saat itu aku sedang demam. Orang
tuaku semakin khawatir saat kulakukan hal itu. Hhh… entah mengapa
sampai sekarang ketakutanku ini tak bisa hilang.
“Ini
‘kan demi kebaikan kamu juga, Dik. Juga demi calon anak kita yang
ada dalam rahimmu.” sambil mengelus perutku yang sudah terisi
selama tiga bulan, dia terus mencoba meyakinkan dan menenangkanku.
“Tapi
Mas, aku ‘kan cuma demam. Minum obat nanti juga sembuh sendiri.”
aku tak mau kalah berargumen.
“Kalau
cuma sehari-dua hari, aku juga tidak akan membawamu ke sini. Kamu
sendiri yang merasakan kalau kamu sudah demam lebih dari 3 hari.
Apalagi aku melihat demammu tak juga turun. Lihat, kamu juga terlihat
pucat, kalau begini ‘kan aku tidak bisa menikmati keindahan wajahmu
seperti biasanya.”
Wajahku
kurasakan terasa agak hangat. Mungkin bersemu. Entah seberapa
merahnya. Mas Raka bisa-bisanya merayuku di saat begini. Apalagi ada
beberapa pasien lain yang berada di ruang tunggu ini. Tapi harus aku
akui bahwa apa yang telah dikatakan Mas Raka itu memang benar.
Kondisiku memang bisa dibilang melemah akibat demam yang menderaku.
Tapi bisa juga ini merupakan kekhawatiran berlebihan dari Mas Rama.
Dia memang sangat mudah khawatir - meskipun tidak terlihat secara
eksplisit - sejak tahu aku sedang mendua.
“Tapi
Mas….”
“Tapi
apa lagi? Sepertinya kamu senang sekali dengan kata ‘tapi’ ya?
Kenapa sih, Dik?”
Tanganku
bergulat. Kuangkat wajahku yang tadinya menunduk.
“Nggak
disuntik ‘kan, Mas? Cuma tensi, diperiksa, terus dikasih
obat ‘kan? Gitu aja ‘kan?” tanyaku lirih.
“Ya
disuntik dong.” jawabnya cuek.
“APA??
DISUNTIK??” jeritku spontan.
“Ssst…
jangan teriak-teriak di sini.” katanya memperingatkanku. Aku pun
segera menyadari kesalahanku saat melihat pandangan orang-orang di
sekitar kami tertuju ke arah kami. Setelah meminta maaf, dengan
setengah berbisik aku protes kepada Mas Rama.
“Kok
pake disuntik sih, Mas?”
“’Kan
sama cek darah. Ngambil sampel darah. Cuma ngecek
aja kok. Untuk memastikan kamu baik-baik saja. Juga buat
jaga-jaga.”
“Tapi
Mas….” belum selesai kalimat memelasku tiba-tiba….
“Bu
Sinta. Giliran Anda, Bu.” panggilan asisten dokter itu benar-benar
membuat jantungku mau copot. Keringat dingin kembali mengucur.
Aku bingung. Aku tetap diam di tempat, tak tahu apa yang harus aku
lakukan.
“Bu
Sinta, silakan masuk, Bu.”
Kutolehkan
wajahku pada Mas Rama sambil menggigit bibirku(lagi). Dia hanya
mengangguk. Kupasang lagi wajah memelas. Dia hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bu….”
“Sudah.
Ayo masuk.” ajakan Mas Rama akhirnya memaksaku melangkahkan kakiku
memasuki ruangan serba putih itu.
#^@^#
Beberapa
hari kemudian aku diajak lagi oleh Mas Rama ke tempat Dokter Wulan
untuk mengambil hasil cek darahku. Hasil pemeriksaan secara umum
tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mungkin hanya karena kecapaian
dan terlalu banyak pikiran. Itu yang dikatakan Dokter Wulan. Namun
karena Mas Rama juga meminta untuk dilakukan pengecekan darah, maka
hasil laboratorium harus ditunggu beberapa hari setelahnya. Dokter
Wulan sepertinya memahami keinginan Mas Rama yang ingin memastikan
bahwa aku dalam keadaan yang sehat, apalagi mengingat keadaanku
sekarang yang sedang berbadan dua. Kondisi harus benar-benar dijaga.
Awalnya
aku menolak ajakan itu, namun karena Mas Rama menegaskan tidak ada
lagi acara suntik-suntikan kepadaku, akhirnya aku menurut juga.
Apalagi dia berjanji akan mengajakku ke restoran favorit kami
sepulang dari tempat Dokter Wulan. Tidak ada alasan bagiku untuk
menolak ajakannya. Keadaanku juga sudah membaik. Jadi, tak ada yang
perlu aku khawatirkan lagi. Setengah jam kemudian Honda Jazz kami
sampai di tujuan. Tanpa buang waktu lagi kami masuk ke dalam.
Kebetulan pula tidak ada pasien lain yang berada di ruang tunggu.
Asisten Dokter Wulan pun mempersilakan kami masuk.
“Sore,
Dokter.”
“Sore,
Pak Rama, Bu Sinta. Silakan duduk.” sambil tersenyum dokter cantik
itu mempersilakan kami duduk. Namun entah mengapa aku merasa senyuman
Dokter Wulan tidak seperti biasanya. Terasa hambar. Namun mungkin itu
hanya perasaanku saja.
“Bagaimana
Dokter, hasil cek darah istri saya? Semuanya baik-baik saja ‘kan?”
Mas Rama mulai membuka percakapan.
Tak
seperti yang diharapkan Mas Rama, dan juga aku tentunya, Dokter Wulan
hanya membisu. Gelagatnya seperti orang kebingungan, heran, mungkin
juga tidak percaya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
“Dokter?
Ada apa, Dok? Ada yang salah atau…ada masalah?”
Dokter
Wulan masih diam seperti tadi. Aku mulai cemas. Namun dalam hati aku
berharap semoga ini hanya salah satu trik Dokter Wulan untuk
mengagetkan kami. Dia mulai menghela napas panjang dan mulai bicara.
“Itulah,
Pak, Bu, yang ingin saya bicarakan.”
“Apa,
Dokter?” kami bertanya bersamaan.
“Hasil
pengecekan darah Bu Sinta. Sepertinya….”
Kalimat
menggantung seperti itu yang tak kusukai.
“Ada
apa dengan hasilnya Dokter?” tanyaku tak sabar.
Sekali
lagi dia menghela napas panjang, seolah terlalu berat baginya untuk
mengatakan apa yang akan dikatakannya kepada kami sekarang.
“Saya
harap Bapak dan Ibu bisa tabah menghadapi cobaan ini…”
Suasana
menegang, seakan sulit untuk menghirup udara barang sekali pun.
“Menurut
hasil pengecekan lab, Bu Sinta positif mengidap HIV/AIDS….”
Bagai
meteor yang menghantam bumi, hatiku remuk redam mendengar hal itu.
Seketika air mataku meleleh begitu saja. Aku tak bisa mempercayainya.
Aku benar-benar tak percaya, bagaimana bisa hal itu terjadi.
“Ba…bagaimana….”
“Nah,
hal itu juga yang membuat saya heran, Bu. Saya juga hampir tidak bisa
mempercayai ini, karena saya tahu Ibu dengan cukup baik, dan
pergaulan Anda juga tidak menyimpang. Jadi rasanya mustahil Anda
bisa….”
“Dokter,
apa tidak ada yang salah dengan pengecekan lab itu, Dok?”
“Kemungkinannya
sangat kecil dan bahkan hampir tidak mungkin, Pak. Hari itu, hanya
sampel darah Bu Sinta saja yang dicek di lab, jadi….”
Jawaban
itu makin membuatku terpuruk. Air mata benar-benar membasahi pipiku.
Aku tergugu. Pilu. Tak percaya akan nasib yang sedang menimpaku.
“Karena
itu….” Dokter Wulan melanjutkan. “Untuk mengetahui kepastian
penyebab tertularnya Bu Sinta, maka dengan berat hati saya….
meminta Pak Rama untuk melakukan pengecekan darah juga….”
“Apa
Dok?” Mas Rama terbelalak tak percaya. Begitu pula aku.
“Saya
bukannya su’udzon, Pak, Bu. Hanya untuk memastikan. Anda mungkin
sudah mengerti alasan saya selanjutnya. Mari, silakan berbaring di
sini, Pak.”
Masih
dengan tatapan tak percaya, Mas Rama beranjak dari tempat duduk.
Langkahnya tak setegas biasanya. Entah hanya perasaanku atau bukan,
tadi kulihat tangan Mas Rama gemetaran saat memegang kursi dan meja
untuk beranjak. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi saat ini.
Kekalutan benar-benar membalutku. Semua seolah berputar dengan cepat
dan tidak jelas. Aku positif mengidap HIV/AIDS. Entah dari mana hal
itu bisa terjadi. Kini Mas Rama juga diminta untuk melakukan
pengecekan darah. Untuk memastikan penyebabnya. Semua itu berkecamuk
dalam pikiranku. Akal sehatku kali ini sulit sekali untuk berjalan.
Aku benar-benar bingung.
Pengambilan
sampel darah telah dilakukan. Setelah diberi tahu Dokter Wulan bahwa
hasilnya akan keluar dalam beberapa hari, kami beranjak pulang.
Membawa kebingungan, ketidakpercayaan dan semuanya, seluruhnya, dalam
pikiran masing-masing. Kebisuan melanda perjalanan pulang kami. Tidak
ada yang memulai pembicaraan untuk mencairkan kekakuan di antara kami
saat itu. Hening. Tidak ada lagi keinginan untuk pergi ke restoran
favorit kami. Percuma. Tak akan memperbaiki suasana.
#^@^#
Kebisuan
itu terus berlanjut sampai di rumah. Bahkan hari-hari berikutnya.
Tidak ada lagi kehangatan, kemesraan dan kasih sayang selayaknya
sepasang suami istri. Aku tahu Mas Rama pun tertekan dengan
keadaannya sekarang. Memiliki istri yang divonis mengidap penyakit
seperti itu dan juga pernyataan Dokter Wulan saat memintanya
menjalani cek darah juga. Aku tahu dia sangat tertekan. Sama seperti
aku saat ini. Namun aku tetap merindukan saat-saat indah bersamanya,
ditambah lagi dengan keadaanku sekarang. Seharusnya aku menjalani
kehidupan dengan penuh ketenangan, kehangatan, perhatian dan semua
yang dibutuhkan oleh seorang istri, ataupun sebaliknya. Tiada. Semua
menguap begitu saja. Sampai saatnya hari itu tiba. Senja itu. Ajakan
Mas Rama.
“Kita
berangkat sekarang.” hanya ajakan singkat dengan balasan sebuah
anggukan lemah. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang membuka
suara, meskipun hanya sepatah kata dalam perjalanan kami.
#^@^#
“Maafkan
saya, Pak. Anda juga positif.”
Apa
yang dikatakan Dokter Wulan benar-benar membuatku tak habis pikir.
Mas Rama sendiri saat ini hanya bisa menundukkan kepalanya.
Menumpukan pada genggaman tangannya di meja. Dia kini menjadi
seseorang yang berbeda, sangat berbeda daripada sebelumnya. Seolah,
dia bukan Mas Rama. Seorang Mas Rama? Seseorang yang kukenal sangat
baik dalam kehidupan, dari kalangan yang baik pula, yang selama ini
bisa mengimamiku dengan baik, yang selalu menenangkan hatiku,
terinfeksi HIV/AIDS? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada
sesuatu yang tak kuketahui kah? Ada yang disembunyikannya dariku?
“Saya
harap Bapak dan Ibu bisa tabah menghadapi cobaan ini. Saya tahu, saya
tidak punya wewenang dan bahkan tidak berhak mengorek informasi apa
yang sebenarnya terjadi di masa lalu atau apapun itu dari Anda. Itu
adalah privasi Anda. Namun, saya berjanji saya akan berusaha membantu
Anda sekuat tenaga saya….”
Masa
lalu? Apa yang terjadi pada Mas Rama di masa lalu? Apa yang sudah
dilakukannya sehingga bisa terinfeksi dan bahkan kini menularkan
kepadaku yang kini sedang mengandung anaknya? Mataku nanar menatapnya
tak percaya. Emosiku menggelegak. Mengapa dia tidak pernah
menceritakannya kepadaku? Keterbukaan yang selalu dia nasihatkan
kepadaku atau kepada orang lain kini tidak dia lakukan! Dia seolah
tak menganggapku sebagai seorang istri, seorang pendamping hidupnya,
sampai dia tega menyembunyikan sesuatu dariku! Atau ada kebusukan
yang dia pendam dariku?? Emosi benar-benar menguasaiku. Kepercayaanku
padanya meluntur.
Tanpa sanggup menahan jatuhnya air mata aku langsung beranjak pergi
dengan penuh emosi sehingga kursi yang kududuki terjatuh dan
mengagetkan dua orang lain yang berada di ruangan itu. Mas Rama yang
tersentak kaget sepertinya mencoba mengejarku, namun kupercepat
langkah. Aku pun tak tahu apa yang dirasakan oleh Dokter Wulan,
mungkin kaget atau bagaimana, aku tak tahu -lebih tepatnya tidak
peduli-. Keluar dari tempat praktik, aku langsung naik taksi yang
kebetulan lewat di jalan itu. Kudengar suara Mas Rama memanggilku
dari belakang, namun kuacuhkan. Tangisku tak bisa kubendung sepanjang
perjalanan. Menangis dan menangis. Mencoba untuk meredakan emosi yang
menaungi, namun gagal.
#^@^#
Sesampainya
di rumah, kubuka pintu dengan kasar dan kulempar tas tanganku ke
sembarang arah. Kuhempaskan tubuhku di sofa dan menangis
sejadi-jadinya di situ. Air mata seolah tak sanggup mengering
menghadapi apa yang telah terjadi. Tak berapa lama Mas Rama datang
dengan tergesa.
“Dik,
kenapa kamu pergi begitu saja?”
Sambil
menahan gejolak dalam dada aku menjawab pertanyaan innocent-nya
itu
“Perlukah
kujelaskan kenapa?” balik ku bertanya dengan ketus. Dia diam.
Seolah mengerti apa kesalahan yang telah dia perbuat.
“Aku
mohon maafkan aku, Dik….” ujarnya lemah. Matanya mulai
berkaca-kaca.
“Maaf?
Apa gunanya maaf sekarang, Mas? Apa maaf bisa menyembuhkan virus ini
dari tubuhku dan tubuhmu serta melindungi janin dalam rahimku ini,
Mas? Bisakah? Jawab, Mas! Jawab!” teriakanku diiringi air mata yang
tak hentinya meleleh.
“Memang
aku yang salah….”
“Ya!
Kau salah! Karena salahmulah semua ini terjadi…. Apa, Mas? Apa yang
telah kau lakukan sehingga kau….” tak sanggup kulanjutkan kataku.
Lidahku kelu. Hatiku hancur.
“Maafkan
aku, Dik….Ampuni aku….ini memang dosaku….” dia mulai
meneteskan air mata. Menangis. “Dulu aku bukanlah orang yang kau
kenal sekarang, Dik. Aku… aku hanyalah orang nista… hanyalah
orang yang bergelimang dengan dosa besar… aku….aku….” dia
berhenti. Menangis. Tergugu dia. “Aku…. Sungguh maafkan dan
ampuni aku, Dik… aku…dulu… peminum dan….”
Astaghfirullah!
Hatiku menjerit. Tidak! Jangan-jangan….
“Aku
juga sering….”
Oh,
tidak! Jangan katakan kau……
“Berhubungan
dengan teman-teman perempuanku bahkan dengan…dengan
wanita….tuna…susila….”
“APA??!!!” aku terbelalak. Hatiku mencelos. Godam kenyataan
kembali meremukkan hatiku. Hancur berkeping-keping. Perih kurasakan
di dada. Sakitnya tak terperi. Tangisnya menjadi. Dia sujud.
Menangis. Tergugu pilu. Memeluk kakiku.
“Maafkan aku, Dik…. Ampuni aku….ampuni aku… aku mohon, Dik….
Sekarang aku sudah bertaubat….aku bukan orang seperti itu lagi…
aku mohon….”
“Aku benar-benar tak habis pikir, Mas…Kau dulu seperti itu… Tak
tahukah kau betapa aku menjaga baik-baik kehormatan demi suamiku…?
Kau malah seenaknya mengobral kepada orang yang bukan hakmu! Dan
tidak hanya sekali! Tak kusangka. Sebobrok itu dirimu. Dan parahnya,
kau tak pernah menceritakan padaku sebelumnya! Kau anggap aku ini
apa, Mas? Aku bukan patung!”
Dia tetap tergugu di kakiku. Dengan napas tersengal kulanjutkan
kalimatku.
“Kalau sejak awal kau menceritakan padaku, mungkin sakit yang
kurasakan tidak akan seperih ini Mas. Aku pasti bisa lebih mencoba
mengerti daripada sekarang, setelah 3 tahun kebersamaan kita, terlalu
berat dan sakit… Aku ini istrimu, Mas… Istrimu… Kau tahu?
Hatiku kini perih. Hancur lebur. Kau telah membohongiku. Tiga tahun,
Mas! Kau tahu berapa lama itu?! Tiga tahun kau sembunyikan hal itu
padaku! Kau benar-benar tega, Mas…tega…Kau telah mengkhianati
kepercayaanku selama ini, Mas…”
“Maafkan aku, Dik… aku takut menceritakannya padamu… aku takut…
kau akan…akan…tapi aku sudah berniat akan menceritakan padamu
bila tiba waktunya dan aku sudah siap, Dik…”
“Kalau tiba waktunya? Kapan, Mas? Sekarang?? Kau bahkan melewatkan
waktu lebih dari 3 tahun sejak kita bersama! Sekarangkah waktu yang
kau anggap tepat untuk menceritakannya padaku? Saat aku sudah
terlanjur tertular? Saat aku mengandung anakmu? Astaghfirullah… kau
tega, Mas…. Kau bahkan tak berniat untuk mengecek dirimu dahulu
apakah kau bersih atau tidak sebelum berhubungan denganku…kau
…kau…”
“Itu memang kelalaianku, Dik… maafkan aku… kukira…”
“Hanya dengan maaf tak akan mengobati penyakit ini, Mas. Bahkan
anak yang kutunggu selama 3 tahun, yang baru kali ini kudapatkan,
anugerah-Nya yang selalu kunantikan, kini tega kau tulari dengan
virus bawaanmu… habis sudah… kepercayaanku padamu telah habis,
Mas… Aku menyesal telah….”
Dia tiba-tiba bangkit dan memelukku erat. Aku berusaha lepas dari
pelukannya.
“Lepaskan! Jangan sentuh aku lagi!” jeritku. Namun dia malah
mempererat pelukannya. Sambil berderai air mata dia berkata.
“Kau tak akan kulepaskan, Dik. Kau adalah orang yang sangat aku
cintai. Tulus dari dalam hatiku. Aku tak ingin kehilanganmu. Katakan
saja bila kau menyesal telah menikah denganku, tak apa, tapi… aku
akan selalu menyayangi dan mencintai dirimu sampai kapanpun,
bagaimanapun keadaanmu sekarang karena kau anugerah terindah-Nya
bagiku. Kita lewati bahagia dan sedih bersama. Kita berjuang bersama.
Kau pasti juga tahu bahwa ada seorang anak yang bebas dari virus itu
meskipun orang tuanya mengidap penyakit itu, kau tahu, ‘kan? Kita
berdo’a pada-Nya semoga dia tidak tertular. Kita jalani hidup kita
seperti sedia kala. Bersama-sama, Dik…bersama…selamanya… Aku
tahu aku bukan manusia yang sempurna, tapi aku akan berusaha untuk
menjadi yang terbaik bagimu, dan bagi anak kita…”
Dengan
berurai air mata, emosiku perlahan turun mendengarkan penuturannya,
kucoba menggunakan akal sehatku, aku mencoba untuk mengerti dia.
Namun aku tak kuasa.
“Maaf,
Mas… terlalu sulit buatku.”
“Apa?”
serak suaranya berkata lirih, memastikan bahwa apa yang didengarnya
adalah benar. Dia mulai melonggarkan pelukannya dan menatapku tak
percaya.
“Terlalu
sulit untukku menerima dirimu lagi, Mas. Nama kita memang Rama dan
Sinta, aku berharap bisa seperti kisah cinta mereka. Tapi sepertinya
tidak bisa. Sendiri lebih baik untukku dan anak ini… karena…semua
telah pudar….” kataku sambil tersenyum sedih. Karena jujur
sebenarnya aku juga berat untuk melakukannya ini, tapi aku merasa tak
mampu lagi untuk mempertahankan semua ini. Terlalu sulit. Aku pun
beranjak, namun Mas Rama meraih tanganku, menahanku.
“Tak
berhakkah aku mendapatkan maaf darimu? Apakah aku terlalu nista
untukmu?”
Sambil
melepaskan tangannya perlahan, aku berkata padanya.
“Berhak,
Mas. Aku sudah memaafkanmu. Maafkan aku juga tadi terlalu emosi dan
berkata kasar padamu. Aku khilaf. Semoga Allah mengampuni kita semua.
Namun, untuk kita bersama lagi, aku rasa tidak bisa, Mas…”
Akupun
beranjak dari tempatku berdiri dan mulai menaiki tangga.
&nbrp; “Dik,
jangan pergi dariku… aku tahu aku salah… katakan permintaanmu…
aku akan berusaha mengabulkan… supaya kita bisa bersama lagi…”
Aku
berhenti. Sejenak kemudian aku membalikkan tubuhku. Aku kembali
menatapnya dengan senyuman sedih. Dengan suara yang tercekat di
tenggorokan, susah payah aku mengatakan…
“Permintaanku
cuma satu, Mas. Relakan aku pergi. Kita tak mungkin bisa bersama
lagi. Maaf… tapi…Ini… ini… yang terbaik untuk kita…”
Dan
air mataku tetap mengalir lembut meski coba kutahan.
#^@^#
Trawas,
23 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar