“Eh menurutmu kalau aku mencari kejelasan darinya salah atau nggak?” tanyaku membuka awal percakapan di WA dengan Rahma, sahabatku.
“Nggak juga. Apalagi kamu cowok, Dit.” balasnya.
“Iya juga sih. Apalagi masih abu-abu kayak gini. Apa aku terlalu berlebihan? Terlalu terburu-buru?” tanyaku lagi.
“Nggak, kok. Wajar-wajar aja sih. Cuma, yang perlu dipikirkan itu caranya, Dit.”
Aku termenung membaca jawaban dari Rahma. Lalu kuketik lagi sesuatu yang menggelayuti pikiranku akhir-akhir ini.
“Kadang aku merasa rindu saat awal aku kenal dia, Ma. Beberapa bulan yang lalu.”
Dia hanya membalas dengan 2 emoticon tertawa terbahak-bahak.
“Aku serius, Ma. Waktu itu kita chat hampir tiap hari. Malah kayaknya aku tiap hari mantengin laptop nunggu dia online.
Kita ngobrol banyak. Jadi walaupun belum pernah ketemu, tapi aku
ngerasa dekat sama dia. Waktu itu dia lebih responsif. Jadi nggak heran
kalau hampir status FB-ku ada jempol atau komentarnya, sampai kadang notif-ku penuh dari dia semua. Padahal kadang juga sambil chatting.”
“Kalau sekarang?” tanyanya singkat.
“Chatting di FB sudah nggak pernah, beberapa chat terakhirku nggak dibalas. WA sama Line juga gitu. Waktu awal-awal sempat chat, yang ceritanya agak panjang-panjang. Tapi akhir-akhir ini sudah nggak pernah.”
Obrolan
kami berlanjut sampai larut malam. Bukan hanya membahas cewek yang
kusuka itu, tapi juga hal-hal lain. Maklum, kami sekarang sudah jarang
bertemu karena dia bekerja di luar kota, sementara aku masih berkutat
dengan skripsiku yang masih dalam proses revisi.
@#$%^%$#@
“Di WA kemarin
aku sempat bicara padanya kalau aku ingin membicarakan sesuatu kalau
ada waktu luang bersama. Tapi tak ada respon.” kukirim pesan itu kepada
Rahma melalui WA.
“Kamu
kirim ke siapa?” tanyanya. Aku sempat heran dengan pertanyaannya karena
harusnya dia sudah tahu siapa yang sedang kubicarakan. Akhirnya kubalas
singkat juga.
“Ya ke Lian, lah.”
“Ohh” balasnya tanpa embel-embel apapun. Akhirnya kuputuskan untuk memberitahunya sesuatu.
“Il parait qu’elle aime quelqu’un (Sepertinya dia menyukai seseorang). Kutambah emoticon wajah tanpa mulut.
“Eh yang bener, Dit? Serius?” tampaknya kali ini pancinganku tepat sasaran.
“Lihat status FB-nya. De son statut de Fb, il semble qu’elle est jalouse apres avoir vu le FB de quelqu’un ( dari status FB-nya, sepertinya dia cemburu setelah melihat FB seseorang). Padahal aku menunggu hari minggu.” jelasku.
“Belum tentu, Dit... berjuang dulu... “ balasnya sambil memberi emoticon tangan berotot.
“Aku pengennya tanya hari minggu besok itu. Entah bakal direspon atau nggak. Entah teleponku bakal diangkat atau nggak. Waq aja kemarin-kemarin nggak direspon. Padahal dia berkali-kali online.”
“Kenapa nggak direspon?” dia bertanya lagi.
“Wakaranai (Nggak tahu). J’ai la meme question. Si je sais la raison, je ne serai pas confus. (Aku punya pertanyaan yang sama. Kalau aku tahu alasannya, aku nggak akan bingung).”
“So?” tanyanya singkat.
“Rencananya
aku akan meneleponnya. Entah bakal sesuai rencana atau nggak. Kalau
nggak ada respon ya percuma juga nggak dapet apa-apa. Kalaupun hari
minggu aku ke sana aku juga nggak tahu dia ada di tempat atau nggak,
‘kan...”
“Kenapa harus nunggu hari minggu sih, Dit? Kenapa nggak telepon secepatnya?” sepertinya Rahma mulai tidak sabar denganku.
“Karena hari minggu tanggal 22. Tahu sendiri ‘kan sekarang bulan apa?”
“Desember.” tampaknya Rahma mulai mengerti maksudku.
“Rencanaku,
setelah aku menelepon ibuku, aku akan meneleponnya. Makanya aku mau
minta ke dia setidaknya teleponku di hari minggu nanti diangkatnya.”
Setelah itu, aku segera menghubungi Lian melalui WA.
Yap! Namanya Lian. Sang Putri Cahaya Pemberi Petunjukku. Sebutan itu
kuambil dari arti namanya. Yah, walaupun aku tak tahu pasti artinya
betul atau tidak. Terlebih ada satu suku kata namanya yang tak kuketahui
artinya. Jadinya ya seperti itu saja.
Berhubung hampir seminggu tak ada respon darinya untuk pesan di WA
yang kukirimkan, akhirnya aku coba memohon padanya untuk menjawab
telepon esok hari. Sempat kutanyakan juga mengapa tak ada respon darinya
selama berhari-hari. Aku juga meminta maaf padanya jikalau aku memiliki
salah yang tak kusengaja yang menyebabkannya tidak mau membalas
pesanku. Kukatakan juga padanya, aku tidak akan mengganggunya lagi jika
memang itu yang diinginkannya. Jika memang aku selalu saja
mengganggunya. Tentu saja setelah dia menjelaskan semua itu secara
langsung padaku. Tak masalah bagiku jika memang itu yang diinginkannya,
asal dia menjelaskan secara langsung. Jika hanya diam, bagaimana aku
mengetahui apa yang dia mau? Aku bukan orang yang bisa menggunakan
telepati untuk membaca pikiran orang, ‘kan?
Ajaibnya pesanku itu dibalasnya. Dia sempat meminta maaf karena dia sibuk sehingga tak bisa membalas pesan WA-ku.
Aku sempat mengernyitkan alis ketika membaca balasannya itu. Sibuk?
Bukankah untuk menulis dan mengirim “Maaf ya, aku sedang sibuk. Kita
ngobrol lain kali saja.” atau pesan yang sejenis dengan itu tidak
membutuhkan waktu lebih dari 2 menit? Padahal aku masih sering
melihatnya online seminggu ini, bahkan setiap hari. Tidak
adakah waktu 1-2 menit di antara ribuan menit dalam kurun waktu beberapa
hari itu untuk memberitahu bahwa dia sibuk dan tidak ingin kuganggu
dulu? Kalau dia mengatakan langsung padaku, pasti akan kuturuti
permintaannya. Mungkin ada alasan lain selain ‘sibuk’ itu. Menurutku.
Entahlah. Anggap saja aku percaya dengan alasannya. Mungkin aku juga
yang terlalu banyak tuntutan sementara aku bukan siapa-siapanya.
Dalam
perbincangan singkat kami itu, kami sempat beradu argumen, mengapa
harus besok, tidak sekarang saja. Mengapa harus melalui telepon, mengapa
tidak melalui pesan WA saja. Bukan hanya itu, untuk mencapai
kesepakatan waktu telepon juga tidak semudah dugaan. Dia tidak tahu
apakah dia akan mempunyai waktu luang. Yah, padahal sebenarnya aku tak
meminta banyak waktu. 10-15 menit menurutku itu sudah lebih dari cukup.
Sangat lebih dari cukup untuk menyatakan perasaan daripada harus
mengirim e-mail dan terbang ke Jakarta untuk mengikuti acara
Suka Suka Uya, ‘kan? Aku menawarkan pagi hari, namun dia mengatakan
bahwa dia sibuk. Sampai siang dia kuliah. Akhirnya aku memutuskan akan
meneleponnya selepas ashar. Tak ada respon darinya. Ya sudah. Mungkin
dia setuju. Ada yang mengatakan bahwa diam berarti mengiyakan, ‘kan?
Walaupun aku sendiri tidak yakin.
@#$%^%$#@
“Dia kebangeten Mas, kalau sampai dia nggak tahu kamu suka sama dia.”
“Jangan bilang terlambat dulu Mas Radit, berjuang aja dulu.”
Kata-kata
2 adik tingkatku saat itu terngiang-ngiang di telingaku. Huft. Aku
lumayan tegang. Hari ini hari minggu tanggal 22 Desember 2013. Hari di
mana aku memutuskan untuk mengatakan perasaanku pada Lian. Yap!
Mengatakan perasaan dan juga menanyakan apakah dia memiliki rasa yang
sama denganku atau tidak. Menanyakan apakah ada ruang di hatinya untuk
menumbuhkan perasaanku. Menanyakan padanya apakah dia bersedia menjadi
calon pendampingku kelak. Menjadi calon madrasah pertama dan utama untuk
anak-anakku nantinya.
Mungkin
bagi sebagian orang aku akan dianggap ingin berpacaran dengannya.
Jawabanku bisa iya, bisa tidak. Semuanya tergantung dari jawaban yang
diberikannya. Aku tak peduli dengan status pacaran atau tidak. Yang
terpenting dia mengetahui apa yang kurasakan padanya. Toh, pacaran hanya
nama status “buatan” sosial yang tak punya ikatan sah ‘kan? Itu hanya
komitmen kecil antara dua sejoli yang tak punya arti di mata hukum
buatan manusia maupun buatan Tuhan. Jadi menurutku ada embel-embel
pacaran atau tidak itu tidak terlalu berarti.
Yang ingin kutahu hanya perasaannya padaku. Kalau dia memiliki perasaan
yang sama denganku, namun tidak ingin ada “hubungan” bernama “pacaran”,
aku menghormatinya. Toh, kalau nanti memang berjodoh kami tetap akan
bersatu di pelaminan. Yang kulakukan hanya “memesan” secara tidak resmi.
Yang resmi tentu yang sering disebut pertunangan. Jikalaupun dia tidak
memiliki perasaan apapun padaku dan memang dia sudah menyukai orang
lain, aku akan dengan senang hati mundur teratur. Namun tentu hal itu
tidak akan memutuskan tali silaturahimku padanya. Aku tak akan setega
itu. Aku tak mau masuk neraka karena memutus tali silaturahim.
Selamanya, dia akan tetap menjadi “adik”-ku. Simpel, ‘kan? Sederhana,
‘kan?
@#$%^%$#@
Jam sudah menunjukkan pukul 15.14 WIB. Waktu yang telah kutentukan
telah tiba. Di luar hujan. Tapi mau tidak mau aku harus tetap keluar
dari kamar kos. Maklum, sinyal Xtra Large sering kacau kalau
aku berada dalam kamar. Kupakai jaket anti air AC Milan favoritku.
Sambil mendengarkan lagu, aku melangkah menyusuri jalan. Tempat yang
kutuju sudah pasti tempat pertama kali aku bertemu dengannya saat acara Isshouni Tanoshimimashou pertengahan bulan Mei kemarin. Ujung boulevard depan fakultasku.
Sesampainya di sana aku segera duduk dan mencari nama kontaknya di
ponselku. Kucari namanya, Lian As, dan ketemu. Langsung saja aku mencoba
menghubunginya. Terdengar bunyi konstan ketika dua ponsel hendak
tersambung. Beberapa saat kemudian terdengar suara ‘the number you are calling is not answering, please try again later’.
Kucoba lagi, dan suara mesin operator yang sama yang menjawabnya.
Kemudian aku mencoba menelepon nomornya yang lain, Lian m3. Tak lama
kemudan terdengar suara mesin operator yang kurang lebih berarti sama
dengan operator sebelumnya. Hanya saja kali ini dalam bahasa indonesia
yang baku, seperti yang pernah diperdengarkan guru Bahasa Indonesiaku
dulu saat ujian sekolah. Delapan kali aku mencoba, hasilnya nihil. Aku
memutuskan untuk berpindah tempat.
Aku
menuju fakultas lain. Aku mencari tempat duduk kosong yang akhirnya
kutemukan di depan tempat fotokopi yang tutup. Kucoba lagi
menghubunginya yang terdengar tetap operator berbahasa inggris dan
berbahasa indonesia. Aku masih belum menyerah. Aku mencari tempat duduk
lain lagi. Kali ini aku berada di depan bank yang masih ada di ruang
lingkup kampusku. Di sana aku mencoba menghubunginya lagi. Namun sayang
hasil yang sama kudapat. Akhirnya aku memutuskan untuk memberi jeda
sejenak. Mungkin saja dia sedang tidur saat itu. Saat itu sudah
menunjukkan pukul 16.14 WIB. Total aku sudah mencoba sebanyak 25 kali
sejak pukul 15.26 WIB.
Kemudian aku menuju mall terdekat. Aku mencari snack untuk
mengganjal lapar karena sedari pagi aku belum makan apapun. Mungkin
hanya minum air putih dan mengunyah permen karet sambil membaca komik.
Sesampainya di sana aku berkeliling sebentar menuju ke Gramedia. Siapa
tahu ada komik baru yang terbit. Nyatanya nihil. Tidak ada komik
terbitan baru yang sedang kuincar. Akhirnya aku menuju ke lantai atas.
Kubeli chicken fillet rasa blackpepper dicampur dengan rasa indian curry. Kulanjutkan menjelajahi mall itu. Sempat pula kulihat toko yang menjual action figur Detektif
Conan. Ada pula mug yang ditulisi bahasa Prancis atau pigura dengan
hiasan menara Eiffel di sampingnya. Tapi kuurungkan niatku untuk
membelinya, karena aku masih membutuhkan uang di dompetku untuk membayar
biaya ujian skripsi dan wisuda nantinya.
Setelah kuhabiskan cemilanku itu, aku memutuskan untuk keluar dari mall.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.03 WIB. Kuputuskan untuk kembali ke
bank tempatku menelepon tadi. Hujan sedikit lebih deras daripada tadi.
Sesampainya di sana aku segera mencoba untuk meneleponnya lagi. Beberapa
saat kemudian terdengar ‘the number you are calling is not answering, please try again later’.
Masih operator yang sama. Suara yang sama. Kucoba nomor kedua. Kali ini
lagi-lagi versi bahasa indonesia yang terdengar. Kucoba lagi dan terus
kucoba. Sampai akhirnya dari pukul 17.12 WIB sampai dengan pukul 17.30
WIB aku telah menghasilkan 22 panggilan yang dijawab oleh mesin operator
berbahasa inggris dan indonesia yang kudengar sampai bosan. Yah,
mungkin saja setelah ini jika aku mengikuti ujian menyimak bahasa
inggris dan indonesia aku akan mendapatkan skor yang memuaskan.
Akhirnya aku merenung. Aku tak mendapatkan apapun dalam 2 jam ini.
Kuputuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan aku berpikir sambil
merutuki nasibku. Ah, mungkin saja dia memang tidak ingin menerima
teleponku. Kemudian muncul ide lain di otakku. Mengapa hal ini tidak
kutulis saja? Ya! Kutulis saja dalam bentuk cerpen. Kemudian nanti akan
ku-posting di note FB. Kemudian aku akan menandainya. Yap! Ide bagus.
Sesampainya
di kos, setelah rehat sejenak aku segera membuka laptopku dan
menuliskan ceritaku beberapa terakhir sampai hari ini. Kemudian aku akan
menandainya. Berharap dia akan meluangkan sedikit waktunya untuk
membaca tulisan ini. Berharap dia memahami apa yang kuinginkan. Berharap
dia mau membuka suaranya padaku. Membuka suara untuk sekedar memberikan
jawaban yang kini sedang dia pendam dalam pikiran dan hatinya. Jawaban
apapun itu, pasti itu yang terbaik untuknya dan untukku. Ya. Kini aku
hanya bisa berharap.