"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Sabtu, 27 Desember 2014

Terjebak



Hari telah beranjak senja, sudah saatnya aku pulang. Kukayuh sepedaku melewati jalanan yang lumayan ramai itu. Wajar saja, jam pulang kerja. Tak mengherankan jika berbagai macam jenis kendaraan akan memenuhi ruas jalan. Kuputuskan untuk mengambil jalan memutar. Agak jauh memang, tapi aku yakin akan lebih cepat sampai daripada harus bersimbah peluh di antara kemacetan. Satu hal yang sebenarnya membuatku enggan melewati jalan setapak memutar ini karena jalan ini sangat sepi dan jarang dilewati orang. Terlebih rimbun semak dan pepohoan di kanan kiri jalan akan menemani 80% perjalanan yang makin membuat kesan angker ketika matahari terbenam. Aku harus bergegas karena rintik hujan mulai turun. 

Hari mulai gelap saat aku masih menempuh kurang dari  setengah perjalanan. Namun tiba-tiba aku merasakan ada yang tidak beres pada sepedaku. Aku turun dan kuperiksa. Tepat. Banku bocor. Sial. Di tengah hujan seperti ini. Di tengah jalan semi gelap seperti ini. Sambil berdecak kesal aku menuntun sepedaku. Terlalu berbahaya jika aku tetap menaikinya di kondisi seperti ini. Dengan perasaan kesal namun agak takut aku melanjutkan perjalananku. Harapanku untuk sampai di rumah lebih cepat buyar seketika. Rasa ketar-ketir menghantui pikiranku. Gelap dan hujan. Lampu penerangan seadanya berjarak lumayan jauh satu dengan yang lainnya sama sekali tidak membantu. Aku mencoba bersenandung untuk sekedar menghibur hati dan mengurangi ketakutan dan kekhawatiranku. Namun tiba-tiba rasa nyeri terasa di bagian belakang leherku dan semuanya gelap seketika.

Saat sadar dan membuka mata, semua masih gelap. Tapi aku merasa ini bukan di pinggir jalan, tetapi dalam sebuah ruangan. Aku terbaring pada semacam dipan kayu. Aku mencoba bangkit dan kurasakan bagian belakang leherku masih sakit. Ada apa sebenarnya denganku? Belum sempat terjawab pertanyaan itu aku dikejutkan oleh sebuah suara. Suara seorang wanita.

“Sudah sadar rupanya. Tadi kau kutemukan tergeletak tak sadarkan diri di pinggir jalan, jadi kubawa kau ke pondok kecilku ini. Sebenarnya kau kenapa?” karena gelap gulita aku tidak tahu di mana orang yang berbicara itu. Namun dari arah suaranya, aku menebak dia ada di sebelah kananku.

“Aku tak tahu, tiba-tiba leher belakangku sakit dan aku tak sadarkan diri” jawabku.

“Minumlah ini, kau akan segera baikan” kucium aroma coklat. Tapi aku tidak tahu di mana posisi tempat minum yang dia berikan padaku.

“Maaf, tempat ini terlalu gelap. Aku tak bisa melihat apapun.” kataku. Lalu kedengar wanita itu tertawa kecil.

“Hahaha.. maaf, maaf.. karena aku suka dan sudah biasa dengan kegelapan jadi aku sering lupa kalau tamuku berbeda denganku. Sebentar.” Kedengar dia beranjak dari tempat duduknya. Sangat mengherankan bagiku dia bisa bergerak bebas di kegelapan ini. Kemudian dia menyalakan sesuatu. Mungkin lilin. Dia meletakkan lilin itu di depanku. Bentuknya unik. Sebuah tulang tangan kanan dengan jari tengah menjulang ke atas. Unik sekali, seolah jari tersebut mengeluarkan api. Aku sekarang jadi lebih bisa melihat keadaan sekitar. Dan wanita itu ternyata di luar dugaan cukup cantik. Kutaksir umurnya sekitar awal 30an dengan rambut dikuncir kuda.

“Minumlah. Sekarang sudah kelihatan, kan?” tawarnya sekali lagi sambil tersenyum simpul yang membuatnya makin terlihat cantik.

“Ah.. eh.. i.. iya.. terima kasih” sambil tergagap aku menyeruput cokelat hangat yang tersaji di hadapanku itu. Rasanya enak, meskipun sedikit aneh. Kulihat wanita itu beranjak lagi. Mataku spontan mengikuti ke mana wanita itu berjalan. Dia mengambil sesuatu. Seperti mangkuk, kemudian dia membuka tutup panci.

“Kebetulan tadi aku memasak agak banyak.” Dia berkata sambil menyalakan kompor. Memanaskan sesuatu yang ada di dalam panci. Tak berapa lama dia matikan dan dia tuangkan isi panci tersebut ke dalam mangkuk. Dia berjalan lagi ke arahku dan menyodorkan mangkuk tersebut.

“Makanlah selagi hangat.” Dengan agak malu-malu kucing kuterima mangkuk itu dan kemudian aku mulai menyuapkan isi mangkuk yang ternyata adalah sup daging ke dalam mulutku. Enak. Gurih sekali. Dagingnya juga lembut. Wanita ini sangat ahli memasak. Perutku yang memang keroncongan karena belum makan malam kini tidak lagi menjerit.

Setelah berterima kasih, aku mencoba mengakrabkan diri di malam yang dingin di tengah hujan deras di luar pondok. Ternyata dia adalah seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal 5 tahun lalu, sementara anaknya meninggal setahun setelahnya. Dia bekerja sebagai pengrajin sekaligus kolektor benda antik. Dia berkata bahwa ruang kerja dan ruang koleksinya ada di lantai 2. Aku mulai memahaminya karena di lantai 1 ini sama sekali tidak ada benda berbau antik, kecuali lilin tadi.

Kemudian dia berkata bahwa dia akan keluar sebentar untuk membeli sesuatu dan menyuruhku untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda. Aku mengangguk setuju. Aku mencoba membaringkan diriku lagi di dipan kayu tadi. Mencoba memejamkan mata sejenak. Rasa kantuk mulai menyerangku. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menetes ke dahiku dari langit-langit. Sontak aku membuka mataku lagi. Kuseka tetesan tadi, namun aku heran karena warnanya yang gelap. Ini bukan air yang merembes dari langit-langit. Lebih kental. Dan berwarna agak gelap. Sekali lagi ada tetesan yang jatuh. Kuseka lagi dan kucoba untuk mencium baunya. Anyir. Seperti bau.... darah? Satu lagi tetesan jatuh. Benarkah ini darah? Mengapa bisa merembes di langit-langit? Apa mungkin langit-langitnya ada yang berlubang? Mungkin. tapi kenapa darah? Rasa penasaran memenuhi pikiranku.

Sambil menelan ludah akhirnya aku memutuskan untuk mencoba mencari tau. Kubawa lilin unik tadi dan menuju ke lantai 2. Kunaiki anak tangga perlahan-lahan. Namun saat aku mencapai lantai dua kaki kananku terantuk anak tangga terakhir sehingga aku terjerembab. Lilin itu terjatuh, tapi untungnya tidak mati. Kucoba bangkit sambil tanganku menahan badan di dinding, namun aku merasakan keanehan karena yang kurasakan di telapak tanganku bukan dinding. Lebih halus. Kuambil lilin tadi dan kuarahkan ke dinding. Ya. Ini bukan kayu. Mungkin tembok biasa namun dilapisi sesuatu. Kuamati dari jarak lebih dekat. Ini... tekstur ini... seperti kulit. Ya, sepertinya memang kulit, tapi aku tak yakin. Tapi bukan kulit reptil karena seperti yang kubilang tadi, lebih halus.

Kuarahkan lilin lebih ke atas. Dinding berlapis sesuatu yang kuyakini adalah kulit tersebut ternyata bertuliskan sesuatu. Kucoba mengeja tulisan tersebut. Patrick. Patrick? Nama orang? Sekitar setengah meter dari tulisan Patrick ternyata ada tulisan lain. Kali ini Lisa. Nama tokoh favorit wanita itu? Di sebelah Lisa ada tulisan lain. Kali ini Papa. Sebelahnya lagi My Honey. Sebelahnya lagi My Sweety. Sebelahnya lagi Mama. Sebelahnya lagi My Sista. Sekitar satu meter di atas nama-nama itu masih ada nama-nama lain yang tak jelas kulihat. Apa ini? Anggota keluarganya? Silsilah keluarganya? Atau jangan-jangan nama itu menunjukkan... ah tidak. Tidak mungkin. Aku menepis pikiranku tentang kemungkinan itu.

Kini aku berada di depan pintu bertuliskan “Storage”. Tempat penyimpanan? Penyimpanan apa? Bahan makanan kah? Kupegang gagang pintunya, kuputar, dan terbuka! Tidak dikunci. Aku mengintip ke dalam. Gelap. Aku mencoba masuk ke dalam dengan mengarahkan lilin di tangan kiriku ke seluruh penjuru ruangan. Terlihat ada beberapa lemari pendingin mirip tempat yang digunakan untuk menyimpan ice cream di supermarket. Kuhitung ada 7 buah. Kudekati lemari di pojok kiri ruangan. Kulihat lemari pendingin itu bertuliskan Monday. Aku bergeser melihat yang lain. Berurutan membentuk huruf U mengikuti bentuk ruangan lemari pendingin itu bertuliskan Monday sampai Sunday. Agak takut-takut aku membuka lemari pendingin bertuliskan Tuesday, hari ini. Dan yang kulihat di dalamnya mengingatkanku pada pelajaran biologi mengenai organ tubuh manusia. Ada paru-paru, jantung,hati, daging dsb yang kesemuanya beku dan berplastik. Mirip seperti yang dijual di supermatket. Jangan-jangan tadi.... Aku mulai mual. Aku segera beranjak keluar.

Apakah aku harus segera pergi dari pondok ini? Tapi masih banyak hal yang mengganjal di pikiranku. Aku segera menuju ruangan lain. Kali ini pintunya bertuliskan “My Collection”. Sama seperti ruangan sebelumnya, ruangan ini tak dikunci. Dan pemandangan yang terhampar di hadapanku adalah berbagai macam tulang belulang mulai tengkorak, tulang rusuk, tulang belakang, tulang tangan, tulang kaki dsb. Kesemuanya berlapis lilin. Kemudian di sudut ruangan terdapat lemari kaca. Saat kudekati aku sangat terkejut karena isinya berupa otak, dan organ pembeda pria dan wanita. Keterkejutanku berlanjut karena di antara pajangan di bagian depan ada otak dengan nama yang tadi kutemukan di dinding, Lisa. Di bagian bawah lemari ada yang bertuliskan Papa. Kucoba melihat pajangan tulang kaki. Kulihat bagian bawah penyangganya. My Bro. Aku menelan ludah. Jangan-jangan lilin yang kubawa ini.... Tanganku semakin gemetar. Tapi aku tak berani melihat nama di lilin tangan kanan itu maupun melepaskan lilin tersebut.

Kulahkankan kakiku keluar dan menuju ruangan bertuliskan “My Office” yang menurut perkiraanku berada tepat di atas tempatku tidur tadi. Dengan kata lain, tempat tetesan yang menurutku darah berasal. Saat kubuka, bau anyir menyengat menyeruak. Segera kututup hidungku dengan tangan kananku. Dan keterkejutanku kali ini jauh melebihi ketika melihat pemandangan di kedua ruangan sebelumnya. Karena yang kulihat adalah kesadisan total. Di sebelah kiri ada mayat yang tak kukenali pria atau wanita tanpa lengan yang telah dikuliti dan digantung terbalik dengan organ dalam yang sudah kosong. Namun jika kuamati lebih dekat, dengan bekas sayatan di dada mayat itu, kemungkinan besar itu mayat wanita. Di sebelah kanannya ada meja yang membuktikan pemikiranku itu. Ada organ khas wanita yang dijajarkan, ada pula dua lengan yang salah satunya separuh bagiannya tinggal tulang, dan ada pula benda mirip kain yang ternyata adalah kulit. Aku pusing, mual melihat semua hal yang tidak mengenakkan itu. Di sebelah kanan ruangan terdapat tabung kaca berisi cairan berwarna pekat yang ternyata agak bocor di bagian bawah yang menjawab pertanyaanku mengenai tetasan tadi. Dari baunya yang bisa memaksa semua isi perutku keluar ini aku yakin cairan ini benar-benar darah.

Semakin pusing aku dan karena tidak tahan lagi aku muntah di ruangan itu. Aku telah terjebak di tempat yang mengerikan. Seorang wanita sadis yang menganggap perbuatannya itu merupakan karya seni yang dikoleksi. Pengrajin mayat. Dan aku juga yakin bahwa dia yang menjadikan korban-korbannya menjadi mayat. Entah sudah berapa orang yang menjadi korbannya. Gawat! Aku harus segera pergi dari si.... Belum selesai aku berpikir untuk kabur aku merasakan nyeri dan sakit yang amat sangat di bagian perutku. Mulutku juga memuntahkan darah. Saat kulihat, ternyata perutku tertembus benda besi. Dengan gemetar kupegang benda yang membuat ususku terburai itu. Ini.... linggis? Begitu pikiranku bertanya.

Belum juga pertanyaan itu terjawab benda itu dicabut paksa dari perutku yang membuatku terjatuh ke belakang. Dengan cahaya redup lilin yang terjatuh kulihat wanita cantik sadis itu tersenyum padaku.

“Seingatku aku menyuruhmu untuk beristirahat, bukan untuk berjalan mengelilingi ruang kerjaku” aku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya mengerang menahan sakit di perutku.

“Sebenarnya aku ingin membuatmu tidur dengan nyaman dengan kondisi badan yang sempurna. Tapi sayangnya, aku terlanjur emosi karena aku benci kepada orang yang mengintip sembarangan.” Lanjutnya dengan sedikit menyesal.

“Yah, tapi bagaimanapun, kau akan menjadi bagian koleksiku. Kau yang ke-33!! Akhirnya setelah seminggu aku akan menambah jumlah koleksiku lagi. Ups... aku lupa aku harus menyelesaikan karya perempuan jalang yang merebut pacarku itu dulu. Jadi maaf ya... kau harus sabar menunggu dulu...” katanya sambil tersenyum manis. Terlalu manis untuk seseorang yang sadis. 

Kata-katanya selanjutnya mulai lirih terdengar di telingaku. Mungkin ini akhir dari hidupku. Ah, ya... sebelum aku benar-benar kehilangan kesadaranku, aku ingatkan kalian. Hati-hati ketika melewati jalan setapak sepi yang rimbun kanan kiri dan minim penerangan. Perhatikan pula daging yang kalian makan, jika terlalu enak mungkin itu daging yang sama dengan yang kumakan tadi. Aku yakin kalian mengerti maksudku. Ah, kesadaranku menipis, yang samar-samar kulihat untuk terakhir kalinya adalah tangan wanita itu memegang catut dan dia mengarahkannya ke mataku....