"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Sabtu, 12 November 2011

Pagi Itu

        
           Pagi itu terasa berbeda. Bukan lagit biru berubah menjadi hijau. Bukan pula salju yang tiba-tiba turun di Negara seperti Indonesia. Bukan. Tapi senyum matahari yang tidak tersembul di langit yang masih kemerahan ternyata berpindah menjadi senyum seorang lajang yang masih baru resmi didaulat menjadi seorang mahasiswa beberapa bulan yang lalu. Dengan semangat dia mengenakan kaos olahraga lengkap dengan celana training bekas kakaknya, serta sepatu kets putih dengan tiga garis biru yang menghias dari bagian samping sampai depan. Senyumnya terus-menerus terkembang meski cuaca tidak senada dengannya.
           Setelah melemaskan ototnya sebentar di depan kamar kosnya yang sederhana, dia menuruni tangga menuju pintu depan. Kamarnya memang terletak di lantai 2, bersama dengan dua kamar lain, sementara di bawah adalah rumah ibu kosnya yang ternyata masih saudara jauh dengan tantenya. Keluar dari pintu depan, dia menutupnya dan memasukkan anak kunci ke dalam lubang yang ada di bawah gagang pintunya kemudian memutarnya ke arah kanan 2 kali.
           Semua penghuni kos yang ada di situ melakukan hal yang sama sepertinya karena daerah itu lumayan rawan kasus pencurian. Sepeda motor terutama. Di bawah tangga tadi adalah tempat parkir kecil bersama. Di situ ada 2 sepeda motor dan sebuah sepeda angin yang sudah lama sekali tak terpakai, terlihat sekali dari debu yang menutupi warna asli sepeda itu dan dan beberapa karat yang sudah mulai menjamur di beberapa bagian yang terbuat dari besi. Sepeda motor itu salah satunya adalah milik teman kosnya dan yang lain milik bapak kos.
          Yak, terkunci. Gumamnya setelah mengecek kembali apakah pintu itu sudah terkunci dengan benar. Kemudian dia memasukkan kunci itu di saku kanan training birunya. Sambil sedikit menahan hawa dingin yang tidak biasa, dia mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalan. Tentu masih dengan senyum yang tak hentinya tersungging.
          Sambil lalu dia beberapa kali melihat beberapa warung yang mulai buka meski baru pukul 5.30. Warung pagi yang biasanya menjual nasi pecel. Tidak hanya satu yang ditemuinya di jalan, ada beberapa. Jumlahnya banyak kalau dihitung di seluruh penjuru kota ini. Terutama di daerah anak kos. Pecelnya bisa bermacam-macam jenis. Ada nasi pecel sambal tumpang, nasi pecel madiun, nasi pecel blitar, nasi pecel ponogoro, nasi pecel kediri dan masih banyak lagi. Dia tidak terlalu peduli dengan “judul makanan” itu, yang penting dia akan menyantapnya saat lapar. Jadi bisa dibilang dia tidak terlalu mengerti apa perbedaan jenis pecel tadi. Dan dia berencana akan menyantapnya sepulangnya dari acara jalan pagi sendirinya itu.
          Hawa dingin yang dirasakannya membuatnya beberapa kali harus menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya sambil sesekali meniupnya. Dia berharap uap dari mulutnya bisa sedikit membantu meringankan dingin yang dirasakannya. Sedikit terlihat asap setiap dia menghembuskan napas. Ya, memang cukup dingin pagi ini. Namun dia yang lahir di pegunungan tidak mau kalah hanya dengan dingin yang seperti ini. Dia tetap melanjutkan langkahnya. Menyusuri jalan yang masih sangat lengang.
         Belum banyak orang yang terlihat lalu lalang. Apalagi kendaraan bermotor. Jadi udara yang dirasakannya masih sangat, sangat, dan sangat segar. Sangat berbeda jika jam sudah menunjukkan jam kerja. Polusi akan mulai merangsek, menggusur wilayah yang sebelumnya ditempati udara segar itu. Saat menghirup napas dalam-dalam, yang dirasakannya udara dingin  membersihkan paru-paru. Begitu menyejukkan. Karena itulah dia sangat suka sekali udara pagi hari. Dan karena itu pula dia semangat menggerakkan badan keluar kamar meskipun dia harus merelakan bulu kuduknya berdiri untuk beberapa saat lamanya. Tak apa, asal badannya sehat dan segar. Tidak melulu mendengkur di bawah selimut tebal sampai matahari hampir sejajar dengan kepala.
         Beberapa kali dia berhenti dan kemudian melakukan sedikit senam untuk bagian kepala, tangan, pinggang dan kakinya. Kemudian sesekali dia lari kecil dan akhirnya dia melakukan sprint. Setelah dua-tiga kali dia mengulangnya, dia melemaskan tubuhnya sambil melanjutkan perjalanannya. Akhirnya dia berhenti di sebuah taman bundar di depan hotel. Taman yang cukup cantik, beberapa bunga ada di situ, anggrek, mawar merah, putih, pink dan rumput hijau yang biasa ada di halaman villa mewah, sangat segar mengelilingi sebuah air mancur mini yang disusun berundak.
         Di situ dia duduk selonjor sambil melihat sekeliling. Menikmati indahnya pagi meski tanpa mentari. Banyak orang yang melakukan aktivitas yang sama sepertinya. Tak jarang yang membawa hewan peliharaan mereka. Anjing yang paling banyak. Sedikit begidik dia setiap melihat anjing yang berukuran cukup besar dan berwajah sadis. Scrabby-doo mungkin juga tidak akan menang menghadapi anjing model itu, batinnya. Dan dia berharap tidak ada seorang pejalan kaki-pun yang membawa ular sebagai teman seperjalanannya. Semakin dibayangkan dia semakin begidik, jadi dia memutuskan untuk mengganti topik lamunannya.
         Saat mengedarkan pandangannya ke kiri, dia melihat petugas kuning menyapu sampah-sampah yang berserakan di jalan. Dengan santainya dia memungut sampah yang terkadang tidak mempan dihadapi dengan sapu lidi besar yang gagangnya berwarna sama dengan seragam yang dipakainya. Perlahan jalanan yang tadi lumayan kotor karena berada di bawah rindangnya pohon mulai menjadi bersih. Dia terus memperhatikan sampai pekerjaan bapak yang dia perkirakan sudah berumur di atas 50 tahun itu hampir selesai. Jalanan sudah bersih. Dia tersenyum melihatnya. Tinggal tumpukan sampah yang terkumpul di masukkan ke dalam gerobak kuning, maka bapak itu akan menyelesaikan tugasnya di wilayah ini dengan baik. Dia memperkirakan bahwa bapak itu akan berjalan ke titik lain untuk melakukan hal yang sama. Membersihkan jalan.
         Kemudian dilihatnya ada pejalan kaki bersama anjingnya lewat di depan bapak itu. Dia terlihat sedang minum sesuatu dari sebuah plastik. Mungkin air minum atau minuman rasa-rasa, pikirnya. Orang itu terlihat mendongakkan kepala sambil memeras plastik itu. Sepertinya dia ingin menghabiskan minumannya hingga tetes terakhir. Setelah itu dia membuangnya begitu saja. Bukan di tempat sampah atau menitipkannya kepada bapak petugas kuning tapi dengan acuh membuangnya sembarangan di jalanan yang sudah tak bersampah. Padahal jarak mereka hanya sekitar 5 meter. Si bapak sedikit tertegun melihat hal itu, namun tanpa suara dipungutnya plastik tak berdosa itu dan memasukkan ke gerobaknya. Sementara si pejalan kaki terus melangkah tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.
        Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelus dada. Dalam batinnya dia berpikir ternyata seorang petugas kuning masih tidak dianggap dan kurang dihargai oleh beberapa atau bahkan banyak oknum orang. Padahal tugas mereka tidaklah ringan. Membersihkan jalan. Apa salahnya membuang satu sampah tidak di tempat sembarangan. Toh hal itu akan membuat jalanan menjadi lebih asri. Dan yang menikmati hal itu adalah kita sendiri. Jika di satu titik saja ada satu orang yang acuh seperti tadi, pantas saja kalau jalanan kota ini masih banyak sampah berserakan. Untung ada para petugas kuning yang sudah meminimalisasi hal itu sehingga kota ini tak perlu dipenuhi sampah, begitu pikirnya kemudian tanpa dia sadari si bapak itu telah hilang dari pandangan.

Jumat, 11 November 2011

Di kotak hijau itu

Di kotak hijau itu...
Aku titipkan lagu rinduku
Padamu
Yang telah merebut hatiku
Seiring berlalunya waktu

Di kotak hijau itu...
Aku selipkan perasaanku
Yang tertambat padamu
Semenjak setahun lalu
Saat aku mengenalmu

Di kotak hijau itu...
Kuletakkan benih hatiku
Yang masih berburu
Pelabuhan terakhirku

Di kotak hijau itu...
Ya.. di kotak hijau itu...
Di musholla itu
Aku berikan segenggam cintaku
Yang tak kau tahu.
Ya, meskipun kau tak tahu
Tetap kupersembahkan padamu
Walaupun engkau adalah bidadari keduaku