"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Senin, 17 Oktober 2011

Voila, c'est ca!

Cet homme ne montre pas son fantome
Cette dame ne suit que sa bete ame
Ils entendent des conseils comme bruits
Ils en transmettent aux matins, aux nuits
Ses tetes sont vraiment durs
Plus que centaines murs
Pendant l'oxygen coule encore
Ils roulent leurs corps
sans peur d'existance au dessus
Ils ne l'ont jamais cru
Meme si l'on donne un miroir
Ils ne font que leurs vouloirs
C'est la diminution de nos espoirs
Donc, n'ajoute pas autre ligne
On trouve deja la signe

Ne l'oublie pas



La seconde ne s'arrete jamais
Elle marche dans sa propre paix
Sans faire une attente
Elle offre toujours sa vente

Tout le monde deviendra un cochon
Qui ne regarde jamais la seconde
Tout voit tout ce qui reste devant
Sans reflechir ceux qui sont dedans

Oublie, oublie, oublie
Puis le coeur ne fleurit
Leurs ame ne seront riches
S'ils s'en fichent

Jumat, 14 Oktober 2011

S’il Te Plaît

Toujours, tu m’attends au bout de la route,
Au coin.
Ce jour, je te sens à côté de la doute,
Tres loin.

Viens chez la lumière,
Mais tu ne tiens que la bière.
Convaincs-moi de garder ta main,
Seulement pour demain.

Jusqu'à la fin de nuit,
Encore tu me poursuis,
Puis, supprime tous les bruits,
Ici, tu sentiras le paradis.

Sabtu, 08 Oktober 2011

curahan hati si Imat dari mimpi

 8 oktober 2011



Unbelieveable!! J’en ai revé!! J’ai revé de Nee… !! Ibanme!! Hime-sama!! Atau terserahlah mau apapun sebutannya… Aku memimpikannya lagi!! Setelah sekian lama!! Waw… entah harus berkata apa.. entah harus senang atau bahagia… bingung… segala perasaan bercampur aduk…
            Aku lupa… kapan terakhir kali aku memimpikannya… yang jelas sudah lama… padahal aku juga sedang tidak terlalu memikirkannya… ya, semua berjalan seperti biasanya… atau itu malah keinginan dari hati yang terdalam…? hmm… tak tahu lagi…
            Pokoknya hal ini jelas cukup mengejutkanku. Bagaimana tidak, dari Mes Trois Déesses, yang paling sering muncul Ibanme, namun ketika vakum mengisi mimpi, Nibanme yang datang. Sanbanme juga cuma sekali kurasa –dan baru ku tahu kalau ternyata Sanbanme udah punya gandengan- . Setelah masa vakum sekian lama, tiba-tiba Ibanme yang muncul, di malam pertama setelah sebulan aku tidak pulang ke home sweet home
            Mungkin kedengarannya klasik dan biasa saja, tapi bagiku pribadi tentu ini seperti salah satu obat untukku… hehe… ya anggap saja sebagai ganti tidak bertemu muka untuk setahun ke depan… paling tidak aku bisa bertemu dengannya di mimpi… bertemu dan bisa sedikit lebih dekat dengannya yang sulit kulakukan di dunia nyata…
            Mimpiku (atau juga mimpi semua orang ) terasa begitu nyata, seolah-olah semua itu bukan mimpi, namun kenyataan. Realita. Tak terasa sama sekali jika semua itu hanya taburan bunga alam maya.
            Kalau diceritakan sih mungkin biasa saja, karena sulit sekali untuk bisa mengungkapkan kejadian yang telah terjadi dalam mimpi sesuai dengan keadaan saat itu, dengan segala campur aduk perasaan yang kurasakan saat aku belum terjaga. Namun bisa dibilang pertemuanku dengannya di alam bawah sadar itu terbagi dalam dua sesi.
            Sesi pertama aku merasa kami berada di suatu ruangan kelas. Kalau menurut ingatanku sih, bentuk bangunan kelas saat itu mirip sekali dengan bentuk ruangan kelas 3 SD- ku dulu. Menghadap ke utara dan ada anak tangga di depan kelas. Dari semua ruangan yang pernah kusinggahi, memang ruangan kelas 3 SD ku itu yang paling mirip.
            Awalnya seperti biasa, aku sungkan dan tak berani menyapa ketika dia ada di dekatku, mungkin hanya seulas senyum simpul saja yang bisa kuberikan sebagai ganti salam sapaan. Aku berdiri di depan kelas sambil memainkan handphoneku, sepertinya waktu itu aku sedang menunggu seseorang, tapi aku lupa siapa itu. Dan di dalam kelas itu, dia sedang ngobrol dengan mantan anak asuhnya yang juga menjadi teman sekelasku, Sitro. Entah apa yang mereka obrolkan, yang jelas saat itu aku bisa melihat bahwa mereka tampak cukup akrab, ngobrol dengan santainya, dan sesekali bisa tersenyum dan tertawa lepas. Aku ingin sekali dari dulu bisa seperti itu. Namun tidak pernah terjadi. Atau mungkin, kelemahanku sendiri yang membuat semua itu tidak pernah terjadi selama ini? Mungkin. Bisa jadi.
            Tiba-tiba saja saat aku melamunkan sesuatu, Sitro menepuk bahuku dan berkata,” Eh, Mat! Dipanggil Mba Nina tuh! Katanya pengen ngobrol tuh… ehm ehm.. cie cie…”
            “Apaan sih..? Biasa aja napa? “ sungutku sambil menahan mukaku yang memanas karena malu.
            Sesampainya di sana malah suasana saling diam yang terjadi, entah kenapa dia agak memalingkan muka, sambil memainkan kakinya yang menggantung di sisi meja. Dan saat tidak ada suara itu, keheningan dipecah oleh godaan Sitro yang kali ini diarahkan kepada Mba Nina.
             “ Udah, sana… ngomong deeh… kok malah dieem… tadi siapa hayo yang suruh manggil si Imat.. ?? katanya pengen ngobrol berdua… cie… cie… pengen ngobrol berdua nih ye… ehm ehm… nah, Maat… noohh… ngobrol sana… cie cie… Imat… uhuyy… ehm… ehm…“
            Sitro terus saja menggodaku dan Mba Nina sambil sesekali menyenggolkan sikunya. Tentu saja hal ini membuat aku dan Mba Nina semakin malu. Sepertinya mukaku sudah sangat merah saat ini. Dan panas. Mungkin Mba Nina juga sedang merasakan hal yang sama, namun dengan lebih tenang dia menimpali godaan Sitro.
            “Udah deh, Tro…”
            Singkatnya –karena aku sendiri juga kurang begitu jelas detailnya bagaimana- kami akhirnya mengobrol bertiga. Lagi-lagi aku agak lupa dan kurang begitu ingat apa yang kami obrolkan saat itu. Kalau tidak salah Mba Nina curcol tentang sesuatu dan kalau tidak salah lagi tentang rencana kepergiannya setahun ke negerinya Nakamura.
            Satu hal yang sangat mencolok saat itu yang mungkin agak sedikit berbeda dengan keadaan asli di dunia nyata, dia bercerita dengan agak sedikit menggebu-gebu dan sangat medhok jawanya. Haha… gaya bicara dan suaranya saat itu mirip sekali dengan salah anak asuhku waktu ospek kemarin yang sedaerah denganku… hehe… padahal seingatku, suaranya itu rada gimanaaa, gitu… agak serak mungkin ndak bisa dibilang full serak juga, tapi ya begitulah. Sulit untuk mengatakannya dengan jelas… karena jujur, aku jarang sekali mendengar suaranya…
            Nah, kemudian setting mimpiku berpindah tempat ke sebuah rumah yang cukup bagus dan mempunyai halaman yang nyaman karena ada taman di situ. Hmm… kalau sekali lagi dimiripkan dengan keadaan asli, untuk rumahnya aku kurang tahu, tapi kalau jalan di depan rumah itu mirip jalan yang kulalui kalau aku pulang ke rumah. Jalannya sedikit menurun mirip di daerah sumber rejo. Ya, daerah itu. Di jalan yang sedikit menurun itu ada jalan masuk sendiri yang tidak terlalu jauh mungkin sekitar 10-15 meter saja hingga mencapai rumah itu. Dan di situ lagi-lagi aku melihat Mba Nina.



            Surprisenya, kali ini dia tidak mengenakan kerudung! Tidak seperti biasanya yang selalu tertutup rapid an rapat namun manis, kali ini penampilannya terbuka dengan memakai atasan yang bentuknya mirip kemeja yang agak berenda dan menggunakan rok biru gelap yang panjangnya masih di bawah lutut. Kalau tidak salah rambutnya yang tergerai sepanjang bahu atau sedikit lebih panjang dari itu. Kalau yang aslinya tentu saja aku tidak pernah tahu karena aku tidak pernah bertemu dengan dengan sosoknya yang tanpa busana jilbab lengkap yang anggun dan manis. Dan aku lebih menyukai tampilannya yang seperti itu. Makanya aku agak kaget walaupun hanya dalam mimpi dia tidak tampil tertutup.
            Lalu satu lagi yang membuat hatiku remuk redam adalah ternyata dia telah mempunyai gandengan… Hiks… T-T   kalau tidak salah sih sudah bertunangan, -di mimpiku itu lo ya… kalau aslinya, sekali lagi aku menjawab tidak tahu karena aku sendiri juga tidak terlalu dekat dengannya… suer deh…- huwaa… di situ pengen nanges rasanya… soalnya si Mba udah keukeuh banget dan uda bilang pula kalo gada harapan lagi buatku n dia bakal terus ama itu cowok… aku nggak tahu jelas gimana wajahe, yang jelas rada kabur… entah emang wajah itu cowok di mimpiku emang kabur ato penglihatanku yang mulai nggak jelas gara-gara air mata yang uda mulai tergenang… aku nggak tahu. Pokoknya badannya ajib banget deh… lebih tinggi dari si Mba, trus rada kekar juga. Porsi badan ideal pokoknya mah…
            Terus habis itu, aku kebangun. Sambil merem melek antara sadar n nggak sadar. Itu t`di aku mimpi? Itu tadi Nee? Kok kayaknya deket banget ama kenyataan ya? Nggak kayak mimpi…  Apa ini merupakan pesan tersembunyi yang sebenere pengen disampein Nee ke aku…? Supaya berhenti berharap…? On ne sait pas… Wakaranai…



"Hayoo.. Imaat... lagi ngapain hayo??" suara kakak perempuanku mengagetkanku dari belakang.
"Ah.. ng.. nggak lagi ngapa-ngapain kok kak.." jawabku gelagapan
"Trus? itu apaan?"
"Bukan apa-apa..."
"Surat cinta ya... cie... Imat sekarang udah tambah gedha nih ye..."
"Bukan kok kak, cuman curcolan kecil... "
"Curhat? kok nggak langsung ke kakak?"
"Nggak begitu penting kok kak, jadi lebih baik di sepucuk kertas kosong putih ini saja aku menuliskan apa yang sedang ada di pikiranku."
"Widiiihh... bahasamu... uda berlagak jadi pujangga nih... ya udah... lanjutin sana gih... tapi jangan lupa kalo ada apa-apa cerita aja ke Kakak...soalnya walopun umurmu uda hampir 20 tahun,  kamu masih butuh banyak advice terutama di bidang jalinan kasih sayang... hihihi..."
"iya, iya Kak.. nggak usah dibilangin juga udah tau... lagian mau cerita ke siapa lagi kalo bukan ke kakak? Mama Papa kan udah..."
"Sstt... udah, nggak usah dilanjutin. Mending kamu nongkrong aja gih di depan kertas putih tercintamu itu."
Aku mengangguk tanda mengerti.

Rabu, 05 Oktober 2011

Beri Aku

Beri aku genggaman
Satu saja,
Tak apa.
Darah di tangan,
enggan berhenti
Habis mendaki
Capai ingin kukikisi.

Beri aku genggaman,
Lalu senyuman,
Biar sekedipan.
Biar berkawan,
Agar tali terajutkan
Capai ingin kusisihkan.

Beri aku genggaman,
Lalu senyuman,
Kemudian dekapan..
Biar hangat badan,
Agar jauh rentan
Capai ingin kujauhkan.

Beri aku genggaman,
Beri aku senyuman,
Beri aku dekapan,
Beri aku kehangatan,
Dalam kesempurnaan..
Beri aku
Selalu..
Beri aku
Akupun begitu..
Padamu..
Aku.. Kamu.. Satu.

Pengakuan

Tanpa suara,
Dimana-mana..
Masih ada..
Bertapa,
Entah..
Menghampa..

Ukiran.. Bukan.
Sebatas kata-kata bisu,
tanpa ucapan..
Dalam catatan,
Dalam wujud tulisan,
Dalam angka rahasia perseorangan,
Dalam kesendirian,
tercurahkan..



Ada? Ya.
Pasti? Pasti.
Satu? Utuh? Tidak juga..
Mendua? Mungkin.. Bisa lebih..
Lalu? Biar saja..
Usah dipaksa..
Yang di sana, yang di situ, yang di sini..
Di sana, di situ, di sini..
Dia, kamu.. Di sini.
Masih beda porsi..
Oui.
Kuakui.
Kusadari.