"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Rabu, 27 Juli 2011

Aku... Masih......

           Kupercepat langkahku. Meski ototku terus memberontak ingin mengistirahatkan diri, tapi aku tak peduli. Lelah memang, mengingat hari memang sudah beranjak malam dan langit sudah mendung sejak sore, sementara tadi pikiranku telah banyak terkuras dengan banyaknya tugas kuliah, membuatku makin gerah. Staminaku menipis, aku merasa kuliah kadang bisa lebih melelahkan daripada bermain futsal 2 jam. Namun saat ini kelelahan dan istirahat di tengah perjalanan adalah sesuatu yang harus sejenak kulupakan. Hanya demi ini. Sepucuk surat beramplop biru yang dititipkan adik tingkatku. Dari Mbak Risa katanya.


ΩΩΩ


       Assalamualaikum,
       Adit, sebelumnya aku minta maaf karena sebelumnya aku agak lama mengenali siapa Adit ini (lebih tepatnya Adit yang mana). Dan aku juga minta maaf sebelumnya kalau nanti apa yang aku sampaikan dalam surat ini kurang menyenangkan buat Adit.
       Ini tentang apa yang pernah Adit bicarakan sama aku waktu pertama kali kita ketemu, sebenarnya sudah lama aku ingin bicara tapi sayangnya aku tidak tahu gimana cara menghubungi Adit. Berhubung sekarang kita bisa berkomunikasi (meskipun sebatas lewat surat), aku ingin menyampaikan hal ini karena cepat atau lambat aku memang harus menyampaikannya ke Adit.
       Begini, tentang apa yang kamu sampaikan pada waktu pertama kenalan, ada satu hal yang rasanya perlu Adit tahu bahwa sebenarnya dalam mencari pendamping, aku lebih berpikir untuk mencari yang berusia sama atau lebih, bukan sebaliknya (mengingat Adit lebih muda memang). Dan bisa dibilang itu sudah merupakan prinsip. Walau selama ini aku mencoba untuk memikirkan apa yang sudah Adit sampaikan waktu itu, tapi nyatanya aku belum bisa mengubah prinsip itu.
       Karena itu aku minta maaf karena aku memang tidak ingin membuat Adit terus berharap.
Semoga apa yang aku sampaikan ini tidak memutuskan tali silaturrahim kita dan semoga Adit nantinya bisa mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Amin.


Wassalamualaikum…
Risa


       Helaan napasku terdengar begitu jelas di telingaku saat surat itu selesai kubaca. Tidak panjang, tapi mengena. Masih kupandangi surat itu saat malam mulai menangis, tidak jauh berbeda dengan hatiku. Seiring dengan sebuah lagu yang sayup sayup mengalun dari tetangga kosku, air mataku meleleh menuruni relief pipi...


pernah ku simpan jauh rasa ini
berdua jalani cerita
kau ciptakan mimpiku
jujur ku hanya sesalkan diriku

kau tinggalkan mimpiku
dan itu hanya sesalkan diriku

ku harus lepaskanmu
melupakan senyummu
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
jauh, ku jauh, mimpiku dng inginku

ku harus lepaskanmu
melupakan senyummu
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
semua tentangmu, tentangku, hanya harap
jauh, ku jauh, mimpiku dng inginku



ΩΩΩ


   &nbrp;   Aduuhh... telat nih. Batinku. Gara-gara habis shubuh aku kembali memejamkan mata bagian kedua, alhasil sekarang aku harus menuju kampus dengan langkah terburu. Jam di tanganu sudah menunjukkan pukul 9.12, artinya  3 menit lagi sampai batas akhir toleransi keterlambatan, dan aku masih berada setengah jalan. Wah, bakalan keburu nggak ya...? hatiku terus bertanya-tanya tanpa peduli betapa keras usaha kaki untuk mempercepat langkahnya. Setelah usaha keras, akhirnya aku bisa mendaki anak tangga terakhir menuju kelas 2.3 dan masuk ke kelas Grammaire pada detik-detik terakhir. Huff... aku mengembuskan napas dengan lega.

&&&

       Aku melangkah dengan gontai. Tanpa semangat. Bagaimana tidak, ternyata tadi di kelas Grammaire ada kuis dadakan yang diberikan dosenku, si Killer Bee, begitu kami menjulukinya. Waktu yang diberikannya hanya 30 menit, itu artinya aku hanya mempunyai setengah dari waktu normal untuk menyelesaikan soal-soal yang membuat processor otakku memanas melebihi titik didih. Dan hasilnya bisa ditebak, aku hanya bisa menyelesaikan 15 dari 25 soal yang tersaji. Hal itu tak urung membuatku kesal pada kelalaian diriku sendiri, aku harus berusaha jauh lebih keras untuk mendongkrak nilai akhirku pada kuis dan ujian selanjutnya. Hhhh... aku mendesah di luar dan di dalam hati.
       Musholla fakultasku hanya tinggal berjarak 15-an meter. Aku ingin sejenak berdiam diri di situ sekalian menunggu waktu sholat dhuhur tiba untuk mendinginkan kepalaku yang masih sangat panas. Namun sejurus aku melihat sosok yang tidak asing bagiku. Sosok yang membuatku jatuh hati. Sosok yang kukagumi bukan hanya dari penampilannya, namun juga kepribadiannya. Dia yang selalu menutup tubuhnya rapat-rapat dengan jilbab yang mempunyai perpaduan warna yang manis. Dia yang kaget ketika tiba-tiba aku memperkenalkan diri sambil langsung menyatakan bahwa suatu saat ingin berdampingan dengannya di pelaminan. Dia yang kuanggap sebagai wanita tersempurna yang pernah kutemui di dunia ini. Dia yang beberapa hari lalu mengirimkan sepucuk surat beramplop biru kepadaku. Dia, Mbak Risa.
       Langkahnya anggun begitu keluar dan menapaki lorong depan musholla. Sambil tetap menundukkan pandangannya, dia menyusuri jalannya. Menuju ke arahku. Mendadak aku menjadi gugup. Beberapa langkah lagi kami akan berpapasan, namun aku bingung harus berbuat apa. Haruskah aku menyapanya? Haruskah? Haruskah? Hatiku belum memberikan keputusannya. Aku masih merasa sungkan padanya, tapi.... ah... akhirnya kami berpapasan, dan kami sempat bertatap muka barang sedetik. Pada saat itu pula, dengan pelan serta keraguan yang masih memenuhi dada, suaraku bisa keluar.
       "Mbak Risa..." sapaku sambil mencoba menyunggingkan senyum walaupun mungkin masih terlihat kaku.
       Dia membalas dengan senyuman manis yang terukir di bibirnya. Kelegaan tiba-tiba merebak. Seolah dahaga berkepanjangan yang dihapuskan oleh kesegaran air tejun yang tiada duanya. Aku tersenyum. Kini, pada diriku sendiri. Dia, masih tersenyum padaku. Kemudian, hatiku turut menyumbang suara ,"Mbak, tahukah?? Aku masih sangat menyayangimu. Walaupun tak kau tahu."
        Pintu musholla sudah ada di depanku, lalu kubuka dengan pelan.

&&&&####$$$$$

Sabtu, 23 Juli 2011

Dan Dia tersenyum

"Hei, tahukah kamu? Setiap aku mendengarkan lagu ini, aku selalu teringat masa saat kita baru saling mengenal. Ya. Lagu ini adalah salah satu lagu favoritku sejak awal keluarnya. Lagu yang menurutku romantis. Mungkin menurutmu juga, karena itu juga lagu kesukaanmu.
       Lagu yang selalu kau putar ketika kita saling berbagi cerita melalui sambungan telepon. Waktu itu kita belum pernah bertatap muka, kan? Tapi entah kmengapa aku merasa kita cukup atau sangat dekat waktu itu. Padahal awalnya aku hanya iseng-iseng mencoba mengirimkan pesan singkat gara-gara temanku yang mungkin ingin “menjodohkan” kita.       
       Namun siapa sangka pembicaraan kita bisa meluas ke mana-mana? Cerita ringan, karaoke ria, bahkan entah kau sadari atau tidak, kau telah berbagi padaku tentang cerita pribadimu. Tentangmu yang sebenarnya menaruh hati kepada seseorang yang sangat dekat denganmu, dan yang sering, selalu membuatmu tertawa. Membawa kebahagiaan di sela warna hidupmu yang lain.
       Kau sering menceritakannya padaku. Dan aku juga bertukar cerita denganmu, tentang masa laluku, tentang cerita patah hatiku. Banyak. Berjam-jam kita lalui tiap harinya. Hanya lewat suara. Kamu juga pernah minta dininaboo'in, yang awalnya kuanggap cukup aneh bagiku, meninabobo kan seorang cewek. Hehe, Tapi alhasil kupilihlah lagu Drive untuk mengantarmu mengarungi mimpi. Semua itu kulakukan biasa saja, apa adanya namun entah lama kelamaan mengapa pula aku merasa ini bukan hanya sekedar perasaan biasa. Aku merasa lebih dari itu.
       Tanpa kusadari, sedikit banyak aku telah menaruh hati padamu. Pastinya kamu tak tahu. Karena tak pernah kuungkapkan hal ini kepadamu. Karena kurasa kau pada saat itu tidak sedang ingin menjalin rasa. Aku tahu, kala itu hatimu sedang patah dan hampa karena seseorang yang kamu suka hanya menganggapmu sebagai saudara, dan saat itu dia sempat menggoreskan luka padamu. Aku tahu. Ya, darimu. Tentu saja darimu.
       Aku ingin sekali berkata padamu, aku ada untukmu, kamu bisa mencurahkan semua yang kamu mau padaku. Namun aku tak kulakukan itu. Hatimu sedang tertidur. Aku sadar diri, karena itu aku mundur teratur. Mengubur rasa yang mulai bersemi, agar tiada tumbuh lagi. Ya, karena memang bukan waktunya, bahkan mungkin bukan jalannya.
       Untuk itulah aku berdiam dalam hati, hari demi hari hingga rasa itu bukan rasa ingin memiliki namun rasa sebagai sahabat sejati. Hingfa akhirnya hatimu telah dibangunkan pangeran, yang nantinya akan mengajakmu bersama hingga pelaminan. Alhamdulillah dan Bismillah, semoga itu bukan sekedar harapan. Dan aku tetap bahagia di sini, karena insya Allah rasa itu akan, sedang, telah berevolusi menjadi rasa persaudaraan. Semoga dimudahkan dan diabadikan. Karena aku juga ingin setia kepada hati lain yang kusinggahi kali ini. Mari kita sama-sama menggapai mimpi di jalan kita sendiri…."

      Rendy akhirnya meletakkan pena di samping diarynya.
      "Wiihh... panjang juga ya??" gumamnya
     Kemudian dia beranjak dari kursi, menarik otot-otonya yang terasa kaku karena cukup lama berdiam diri di depan meja belajarnya. meskipun memang tidak untuk belajar, tapi menulis diar. Kebiasaannya yang tidak pernah hilang sejak SD. Perlahan dia mendekati jendela, membukanya lebar-lebar dan menghirup dalam-dalam udara malam. setelah memejamkan sebentar matanya, sejenak membiarkan udara malam itu mengisi rongga-rongga tubuhnya, dia menatap langit. melihat hamparan langit biru yang menjadi gulita namun dihiasi oleh kerlipan bintang gemintang yang bertrilyunan jumlahnya. Dan dia tersenyum.

Kamis, 07 Juli 2011

Aku Tak Tahu

Tak sepatah katapun terurai dari bibirmu
Meski kau tahu kunanti itu
Tak berdaya lagi hatiku
Terkapar di sela kesunyian bisu
Langit terbentang biru namun jiwaku kelabu
Terkoyak selalu dalam sendu
Entah
Rasa itu tak lagi seperti bulu
Membeku bagai batu di tepian waktu
Haruskah berlalu
Atau
Tetap menunggu
Hitam untukku