"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Rabu, 20 April 2011

BILUR-BILUR BAHAGIA


          “TIDAK!! Tidak mungkin!! Mustahil!! Mengapa ini harus terjadi?? Tak bisa kupercayai kini dia akan....ahh...” batinku masih meracau kala kuterima dan kubaca undangan biru berbau harum itu. Mata nanarku masih terpusat pada undangan biru namun pikiranku melayang ke berbagai penjuru tanpa pasti arah dituju. Shock? Teramat sangat. Siapa sangka wanita yang selama ini kupuja segenap jiwa, dalam hitungan hari dia akan merajut sumpah setia dengan lain pria. Bukan aku. Lalu, dimanakah realisasi sekelebat janji waktu itu? Janji yang sempat terbalut di antara kami berdua? Lekang ditelan masa?

***
         “Da…” panggilku. Dia menoleh meski sejatinya itu bukan nama panggilan asli. Sengaja memang kuhilangkan beberapa huruf untuk memanggil namanya. Menghemat tenaga yang tidak perlu, alasanku saat itu -saat pertama kali dia menanyakan mengapa aku tak memanggil seperti teman-teman yang lain-, karena beberapa huruf dalam panggilannya yang biasa, nanggung. Lebih banyak udara terhalang dan akan lebih banyak organ bekerja saat memproduksi bunyi nama panggilan biasanya, karena itulah kusederhanakan –selain untuk memberinya panggilan khusus. Khusus dariku, itu maksudku-. Kulihat wajahnya yang manis terbalut kerudung, tak terkikis meski sore ini gerimis. Berbinar malah ditimpa senjanya umur Sang Surya, ditambah efek bias-bias cahaya yang memantul di danau.
        “Apa?” tanyanya singkat tanpa mengalihkan pandangan dari novel di hadapannya. Dikiranya aku mengganggu keasyikannya membaca, yang dilakukannya sambil sesekali memandang rintik permata indah di depan latar mega merah. Hobi memang dia, meski berjam-jam harus diam. Buku bisa membuatnya terbenam dalam, berada di sampingnya serasa di lain alam. Toh pohon rindang yang disandarinya tak pernah protes, elaknya suatu kali. Gerimis pun tak jua memberikan perlawanan berarti padanya. Entah kalau hujan.

        “Suatu saat, aku ingin kita berada di sini sebagai keluarga.” Sesaat tampak dia mengernyitkan alis lalu menoleh kepadaku, seolah bertanya “Maksudmu?”

        “Kamu tahulah apa maksudku.” tanpa diminta aku melanjutkan. Ditutupnya novel itu, diletakkannya di sisi kaki, lalu menghela napas panjang. Dia bersiap untuk memulai kata pertama dalam calon ceramah panjangnya kali ini. Sudah menjadi kebiasaannya berceramah panjang lebar sampai tak terhitung berapa luasnya setelah dia menghela napas seperti itu. Wajar jika aku tahu, hampir sewindu kami bersama mengarungi haru biru kehidupan remaja dan dewasa. Tempat ini pun tempat favorit kami berdua. Bahkan sebelum kami saling mengenal, masing-masing sering menghabiskan waktu luang di tempat ini. Tempat yang sangat tepat untuk melepas lelah dan penat. Danau kecil di tengah hamparan rerumputan hijau serta pepohonan rindang sebagai tambahan aksesori alami.

        “Aku serius, Da. Aku bahkan sudah menceritakan hal ini pada bunda. Dengan senang hati beliau akan memberi restu jika kita bersama.” Dia tersenyum. Senyum yang teramat manis sehingga tak heran dia bak artis, bahkan di kalangan para aktivis meskipun kami bukan aktivis yang sebenar-benar aktivis.

        “Tidak kupungkiri niat baikmu itu, Gas, tapi untuk saat sekarang aku merasa kita belum cukup siap untuk melangkah menuju ikatan itu. Kita masih punya cita pribadi, belum terpikir olehku cita bersama. Ralat. Terpikir, sih. Sedikit. Namun, pastinya kamu maupun aku tidak ingin cita pribadi itu sekedar tertanam dalam dada tanpa ada realisasi sama sekali. Aku masih ingin menggapainya, aku yakin kamu juga. Karena itu jika sudah terlaksana, mungkin aku akan mempertimbangkannya. Insya Allah saat itu aku akan siap membangun bahtera bersama. Jika memang itu jalan kita. Tunggu saja tanggal mainnya.” Sekali lagi dia tersenyum mengakhiri perkataannya. Akupun tersenyum. Terbayang sudah masa depan indah yang akan kami lalui bersama dalam suka maupun duka. Dalam hati aku berjanji, 2-3 tahun lagi aku akan menjadi penulis terkenal dan saat itu aku akan bersimpuh untuk meminangnya. Indah nian segala terasa.

        “Ups, ada lagi yang ketinggalan.” Aku mengerutkan keningku. “Cobalah untuk memanggil namaku dengan benar, Gas.” Aku membuka mulut untuk melancarkan protes.

        “Tapi…” Dia hanya menggeleng kepala sambil memungut novelnya lalu beranjak.

        “Da…” panggilku padanya yang menjauh. Hanya lambaian tangan kanan yang memegang novel ditujukan padaku. Aku mendesah pelan. Menyerah. Biarlah.

        “Candra…” akhirnya dia menghentikan langkahnya lalu berpaling, dan lagi-lagi dia memamerkan senyum yang membuatku semakin terkagum akan segala yang ada pada dirinya. Namun segera setelah itu dia langsung berbalik dan mempercepat langkah karena sayup-sayup suara yang terlantun dari pengeras suara masjid terdengar. Mau tak mau kuikuti langkahnya, membelakangi dan mulai menjauhi mentari.

***
        “Mas Bagas, ada telepon dari rumah.” Suara Vira anak ibu kosku membuyarkan lamunan singkatku. Masih dengan raut tak percaya langkahku gontai menghampiri Vira yang segera menyodorkan gagang teleponnya padaku. Sungguh pikiranku kacau balau. Dengan enggan kugenggam gagang itu lalu kutempelkan di telinga. Masih kugenggam erat pula undangan biru di tangan kiriku.

        “Halo, assalamu’alaikum…” kubuka percakapan. Terdengar suara lelaki merespon salamku. Mendengar suara berat yang khas, berarti pamanku yang berada di ujung telepon sana. Sedikit heran mengapa beliau meneleponku sore-sore begini, biasanya malam hari selepas jam kerja. Kusimak saja apa yang akan dibicarakan, mungkin tentang sumbangan ide cerita yang biasa beliau berikan, -selain bundaku tentunya-, atau tentang acara talk show dan bedah buku yang rencananya akan kami adakan di kantor beliau. Entahlah. Pikiranku juga sedang tidak bisa diajak berkompromi.

      “Gas, sebenarnya…” kata-kata paman selanjutnya benar-benar membuatku semakin tak menentu, meluluh lantakkan pertahanan kekuatan, ketegaranku selama ini. Lebih dan lebih terpuruk. Hatiku remuk. Satu lagi cintaku harus hilang. Selamanya. Tak kan kutemui lagi damai wajah yang tenangkanku dari gelisah. Tak kan kudapati lagi hangat pelukan yang cairkan bekunya kesedihan. Tak kan terdengar lagi nasihat penuh makna yang hapuskan gundah gulana. Tak kan bisa lagi kusandarkan kepalaku di kaki tempat bernaung surga kala hati terpendam lara. Tak ada lagi belaian lembut mengacak rambut yang dulu menyapa di tiap pagiku. Semua hilang. Tak kan pernah lagi kurasakan selain dalam kenangan. Bundaku tercinta dipanggil Sang Kuasa. Jiwaku semakin merana. Dunia tak lagi berpelita. Hanya gulita. Kuharap ini hanya maya namun nyata jawabnya. Bunda, damailah selalu di sisi-Nya. Seiring do’a, linangan air mata tiada terhenti pula. Terisak sesak, tergugu pilu, terbalut dalam satu.

***
        Tak ingin sebenarnya kulangkahkan kaki ke tempat ini. Tempat aku akan melihat belahan jiwa berdua dengan pasangannya. Tak seharusnya aku berada di sini. Harusnya aku pergi menenangkan diri. Namun dalam lirih aku memilih berdiri dalam sepi terpisah dari ribuan tamu yang menjadi saksi terikatnya janji suci antara dua hati. Tempat ini hanya akan jadi saksi bisu perpisahanku dengan purnamaku. Dari tempatku kulihat wajahnya bahagia bersanding dengan mempelai pria. Terbesit luka diantara bahagia. Tak kusangka begini beratnya. Mulut ucapkan rela namun hati tak kuasa. Napaspun terbata. Rela, mudah dikata berat dirasa.

       Masih ada impian untuk bersanding dengannya beberapa hari lalu, namun kini semu. Padahal telah kuperjuangkan rasa itu sepanjang waktu. Rasa itu jua yang selalu menyemangati diri untuk mencari jati diri dan menggapai mimpi. Telah kupunya saat ini. Janji telah kutepati. Namun pasangan hati tak lagi menanti. Padahal tak kubuka hati bagi yang lain karena aku yakin dialah belahan hati ini. Aku telah bertahan tanpa kabar dalam sabar, harapkan semua kan lancar namun aku terkapar. Pudar binar mata tak percaya segalanya ilusi belaka. Lalu apa guna? Ikrar yang pernah terucap pula pada bunda terpaksa sia-sia tak terlaksana. Padahal kini bunda pun telah tiada. Tiada lagi harapan sisa tuk bangkitkan senyumnya di surga. Bunda, maafkan ananda karena tidak bisa menikahinya, padahal itu adalah harapan terakhir bunda kala melepasku ke negeri jauh, harapan suatu saat melihatku bersanding di pelaminan bersamanya. Kini entah harus bagaimana, semua tiada lagi bermakna. Aku tak tahu lagi apa yang aku rasa, segalanya hampa.

       Salahku. Ini benar-benar salahku. Andai… ah... andai… entah sampai kapan aku harus berandai. Bayangan itu melambai melandai menyusuri pantai, terbuai dalam damai… kasih tak sampai. Tak tersentuh lagi. Sudah tiada mungkin ingin ini terpenuhi. Salahku. Sesalku. Bergelut dalam satu. Andai… aku tidak hanya terpaku padanya. Andai… tak kupersembahkan seluruh harap dalam dekapnya. Andai… dan hanya andai. Kini aku sendiri meratapi diri yang terbengkalai antara hidup dan mati. Jiwaku mati suri. Keindahan asa yang terpatri telah menyepi. Menyisakan perih di hati. Kini dia telah pergi. Ke tempat yang tak kan pernah bisa kugapai, pun sekedar menghampiri. Dia telah berdiri di sisi pujaan hati, tanpa dia ketahui, dia masih kusayangi. Purnamaku selama ini… dalam sekejap jadi mimpi.

***
       Sudah tidak mungkin bertahan di sini. Aku harus pergi. Mencari duniaku sendiri. Lara hati akan menjadi jika tak angkat kaki ini menuju pelabuhan pribadi. Menjauh pergi. Menuju ujung bumi, membawa segala perih yang tersisa, segala sesal yang masih dan selalu kurasa. Entah bagaimana akhirnya. Aku pun tak tahu jawabnya. Terlalu letih jiwa ini. Terlampau sesak beban di dada. Andai amnesia di jual dimana-mana, mungkin aku akan membelinya.

***
       Menara ini tinggi. Terkenal pula di penjuru bumi. Puluhan tingkat yang bisa dicapai dengan lift. Sudah kulewati tadi antrian panjang mengular, mungkin meng-anaconda. Ramai selalu tak peduli hari biasa atau hari libur. Week-end seperti ini memang benar-benar dimanfaatkan oleh orang perancis untuk menikmati waktu libur mereka. Kadang tak tanggung-tanggung saat musim panas mereka yang berduit lebih akan menghabiskan liburan selama beberapa hari bahkan beberapa minggu di dalam maupun di luar negeri.

       Masih musim dingin memang sekarang. Harusnya banyak orang yang tinggal di rumah supaya aku bisa lebih menikmati kesendirianku. Namun dengan adanya pakaian serba tebal mereka masih saja rela untuk menikmati keindahan kota Paris dari menara kebanggaan Perancis, Eiffel. Pemandangan yang seharusnya sangat indah terasa hambar bagiku. Mungkin bagiku tempat ini lebih tepat menjadi tempat bunuh diri, selain karena didukung ketinggian, juga karena cuaca l’hiver1, musim dingin1, sangat merepresentasikan jiwa-jiwa yang membeku. Tapi bagi mereka yang ada di sekelilingku mungkin sayang jika harus menghiasi putihnya salju dengan warna merah. Berita baik untuk mereka karena aku masih waras meskipun jiwaku tidak bisa dibilang idem.

       Kulihat di bawah antrian masih panjang, orang-orang menyemut di sekitar Eiffel. Di sekelilingku kemesraan diumbar tanpa sekat. Rona-rona ceria terpancar dari pasangan yang dimabuk gelora asmara. Wajar bagi orang perancis yang liberal. Harusnya aku di sini tidak sendiri. Harusnya bisa kunikmati indahnya dunia ini. Bukan rasa sepi yang selalu menyelimuti dan tak hendak pergi. Bukan ini yang kuingini. Kulongokkan kepalaku, berusaha lagi menyisir bumi dari tingginya menara ini. Sungguh, sangat tinggi. Hampir dari ketinggian 300 meter kulihat sebagian besar permukaan tanah –anggap saja tanah meskipun banyak tanah yang sudah beralih menjadi paving dan aspal- ditutupi salju putih yang dingin. Jika saja ada setan lewat yang memanasi, bisa saja aku memilih untuk bunuh diri. Sayang hal itu tidak memungkinkan, khususnya di Eiffel ini. Kalau saja pengaman ini tidak ada, mungkinkah aku akan memilih untuk…

       “Salut2, Gas! Ça va3?” aku menoleh mendengar namaku dipanggil. Sudah kuduga. Itu dia, Sèrge. Sahabatku. Seumuranku dia, pertengahan dua puluhan. Tak kusangka dia naik bersamaan dengan rombonganku. Mungkin dia sengaja untuk mengagetkanku. Dia sedikit berhasil. Berhasil pula dia membuatku mau tidak mau menjawab sapaan yang diulanginya untuk kali kedua.

       “Gas? Ça va?” sambil bertanya dia melambai-lambaikan tangannya yang besar di depan mukaku. Terlihat amat sangat mungkin tatapan kosong dari mataku. Kualihkan pandangan ke arah luar untuk kesekian kalinya.

       “Tu m’as compris4.” Jawabku acuh sambil sedikit menghela napas. Kulayangkan kali ini pandangan menatap langit yang tak kunjung terang. Muram, semuram hatiku. Dingin membeku, sebeku hatiku. Inilah ciri khas l’hiver, yang sedang menjadi ciri hatiku juga. Belum beranjak pula bayangan kala lampau yang membuat segalanya kacau balau. Kegalauan pula yang memaraukan suaraku beberapa waktu. Menghentikan goresan penaku. Masih terasa berat merelakan segala impian itu. Aku tak tahu apa lagi yang bisa kuperbuat. Bahkan pindahnya ragaku ke negeri Ratatouille5 tak diikuti jiwaku yang masih terbelenggu di tanah air. Kulihat Sèrge mengambil posisi di sampingku, kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak.

       “Aku tak percaya.” Aku juga tak mau mempercayainya. Aku tak bisa melupakan mimpi itu begitu saja. Tiba-tiba, harus kulupakan segalanya, sahut batinku, meski belum kutahu benar arah pembicaraannya ke mana.

       “Trop bête6 kalau kau masih dipusingkan oleh hal itu, Gas.” Aku menatapnya sekilas.

       “Kau tak mengerti betapa…”

       “Aku mengerti dan sangat mengerti, karena itulah aku menerimamu di sini dan membiarkanmu barang sejenak untuk menenangkan diri, tapi tak bisa kupercaya kau…” kembali dia menggelengkan kepalanya. Kali ini sambil sedikit berkacak pinggang dia berkata. “Ayolah, Gas. Sampai kapan kau mau seperti ini? Sampai kapan kau mau semuanya terbengkalai tak karuan? Sampai akhir jaman? Jangan bodoh! Hampir dua musim kau di sini tapi kau masih tetap kehilangan hati! Kau juga terancam akan kehilangan karir dan hidupmu! Itu yang kau mau?”

       Keheningan kali ini yang mengambil alih peran utama dari kami. Sejenak kami jadi figuran. Kembali kubenamkam pikiranku. Menyelami segala yang telah kualami. Namun percuma. Masih terasa perih hati ini. Emosiku ingin menyeruak keluar namun aku masih berkuasa untuk mengendalikannya. Ingin kuledakkan segala rasa yang menggelegak. Namun hanya tundukan lesu yang kutampakkan padanya. Entah sudah berapa ratus kali dia, Sèrge, melihatku dalam keadaan seperti ini. Dugaanku dia pasti sudah terlalu bosan, sayangnya aku masih tak bisa membuat topeng diri yang lebih kuat.

       “Aku masih belum bisa… belum… bisa… “ akhirnya keluar suaraku mengganti sepi.

       “Cukup, Gas! Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku sudah tidak tahan lagi melihatmu seperti ini. Sudah cukup. Tu es trop gâté7, Gas! Kau terlalu manja7! Dunia tak akan ramah pada orang lemah! Hidup itu keras! Tak akan selesai cobaan hanya dengan tangisan! Sekarang terserah, lakukan apapun yang kau mau! Entah apa yang akan dikatakan bundamu jika melihatmu seperti ini. Beliau tidak akan bahagia, Gas! Sama sekali tidak! Camkan itu baik-baik!”

       Tersentak aku mendengar perkataan Sèrge. Jarang kutemui dia berkata sekeras itu, bahkan bisa dibilang tidak pernah. Dia orang yang lembut pada semua orang. Mungkin karena sudah keterlaluan sikapku selama ini sehingga apa yang selama ini dia pendam dariku kini meledak begitu saja. Sebegitu tidak tahannya kah dia melihatku? Kuresapi pelan-pelan kata-katanya. Gâté. Manja. Itu aku di matanya. Bahkan mungkin di mata banyak orang. Semanja itukah diriku? Jika dipikir lebih dalam tidak ada jawaban selain YA! Makin terdiam aku. Padahal kutahu bahwa tidak akan ada ujian yang melebihi kemampuan manusia. Artinya semua mampu jika mau. Aku tahu. Bertahun-tahun sudah kupelajari itu. Sayang selama ini ternyata aku hanya sekedar tahu, tidak mengerti bahkan tidak ada aplikasi sama sekali. Bodoh dan manja. Padahal aku sudah diberi kekuatan, tapi lama tak kusadari aku sendirilah yang melemahkan kemampuan pemberian Tuhan. Terlalu banyak aku melihat ke belakang bahkan apa yang ada di hadapan tiada sama sekali kelihatan.

       Terlintas lagi di benakku bahwa masa lalu itu sesuatu yang terlampau jauh untuk diraih, yang tak akan pernah mungkin kembali barang sebiji detik. Padahal Tuhan masih membentangkan masa depan namun aku terlalu asyik tenggelam dalam impian bayangan. Harusnya masa lalu menguatkan, bukan memperlemahku. Terlalu banyak aku bergelut dalam masa lalu. Hanya tenggelam dalam kubangan yang tak akan merubah keadaan. Aku malu. Pada diriku juga pada bundaku. Aku terlalu membelenggu diri pada janji yang tak bisa kutepati. Terlalu terbebani pada mimpi yang tak mungkin diraih. Harusnya aku lebih memahami ketetapan mati, rezeki dan pasangan hati. Padahal aku bisa merelakan bunda kembali ke pangkuan-Nya, mengapa jiwa selalu merana kala kutahu dia telah bahagia dengan pasangannya? Benar-benar manja. Bunda pastinya akan sedih jika hanya kusiksa diri tanpa peduli apa yang telah menanti dalam titian hidup ini. Padahal bunda pasti berharap aku bahagia, bukan melulu terbingkai lara. Maafkan Bagas, Bunda. Maafkan aku Tuhan. Aku telah alpa sekian lama. Kuhembuskan napas panjang, menguatkan hati. Berikrar bahwa ini terakhir kalinya aku bermanja pada kehidupan. Tidak akan ada perulangan. Ini janjiku. Kuatkan aku meski perlahan, Tuhan. Kali ini kulempar senyum tulus pada Sèrge. Agak terheran dia.

       “Merci8, Sèrge. Kau bukakan mataku lagi. Aku berhutang padamu.”

       “Tak sebanding dengan hutangku karena kaujadikanku saudaramu.” Ujarnya sambil tersenyum. Sekali kuucapkan terima kasih pada Sèrge yang ternyata lebih bijak dalam memaknai hidup dibandingkanku. Terima kasih sobat. Kini aku siap berjalan ke depan. Siap kutinggalkan l’hiver dan akan kusongsong le printemps9.

***
       Udara di sini masih tetap sesegar dulu, meski aku tak melihatnya selama lebih dari tiga pergantian kalender. Pemandangannya juga tetap indah. Danau kecil di tengah hamparan rerumputan hijau serta pepohonan rindang sebagai tambahan aksesori alami. Masih menjadi tempat yang cocok untuk sekedar bersantai menikmati bahasa alam. Perasaan memang selalu tenang jika mengunjungi tempat ini. Lumrah, aku mengenal tempat ini sejak lama. Suasana mendamaikan dan menyejukkan, seolah menghapus kegerahan serta kepenatan rutinitas keseharian. Tetap sama. Mungkin lebih indah, menurutku. Eits, tapi ada yang berbeda kali ini. Aku tidak lagi sendiri. Telah ada bidadari yang mendampingiku. Ziya, namanya. Putri cantik yang kupersunting hampir setahun yang lalu. Pemandangan terindah ialah wajahnya, kelembutan tiada tara itulah cerminan sifat dasarnya, dan kadang dia sangat...

       “Mas, duduk di sini juga dong! Masa' Adek dibiarin sendirian? Si jagoan kecil ini kan juga pengen ngumpul sama ayahnya.”

       Yah, itulah Ziya. Kadang dia bisa menjadi s`ngat manja, seperti saat ini. Mungkin pengaruh usia kandungannya yang sudah menginjak angka tujuh. Ya, di rahimnya sedang tumbuh buah cinta kami berdua, kata dokter insya Allah laki-laki. Kebahagiaan yang akan segera terlengkapi! Mungkin namanya nanti Gazi? Dari Bagas dan Ziya? Hm... mungkin saja. Itu bisa kami pikirkan lagi bersama, yang paling penting sekarang dia bisa tumbuh sehat dan persalinannya nanti...

       “Maaas... cepetan, ih. Ngapain coba berdiri di situ terus?” Tuh kan, mulai merajuk lagi dia. Tak apalah, toh sifatnya yang manja itu sangat menggemaskanku. Membuatku makin tak bisa berpaling darinya. Semakin hari cintaku semakin subur kepadanya. Sambil melempar senyum aku berjalan mendekatinya yang sedang duduk manis di bawah naungan pohon rindang yang...

       “Bagas...?” Eh? Suara ini... ini kan suara...

       Aku menoleh.

       “Candra...?” terkejut aku akan kehadirannya. Wah, kebetulan -lebih tepatnya ketetapan- yang sungguh tidak terduga. Tak kusangka setelah sekian lama aku bertemu lagi dengannya di tempat ini. Dan, yang berjalan menghampirinya di belakang... serta gadis kecil itu...

       “Apa kabar? Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Oh ya, kuperkenalkan, ini suamiku, Mas Ahmad, dan putri kecilku, Nindi.” tak terasa tanganku tadi menunjuk mereka dan segera kutarik begitu sadar.

       “Alhamdulillah, kamu sendiri? Lama tak jumpa. Kenalkan pula ini istriku, Ziya.” kataku sambil membantu Ziya bangkit dari duduknya. Perkenalan para pendamping kami membuka pertemuan yang sungguh di luar dugaan namun penuh senyum pancaran kebahagiaan di antara kami. Tak ada setitikpun kegalauan. Kalau seperti ini, semua terasa indah kan, Kawan?

*****



Catatan:
1. L’hiver: Musim dingin
2. Salut: Hai ; Sapaan yang sering digunakan orang Perancis (selain Bonjour; selamat pagi) saat bertemu dengan orang yang sudah akrab dengannya.
3. Ça va?: Sapaan informal ( biasanya dipakai bersambungan dengan Salut ) kepada orang yang sudah akrab untuk menanyakan kabar; kabarmu baik? Biasanya dijawab dengan Ça va pula untuk menyatakan bahwa kita dalam keadaan baik.
4. Tu m’as compris: Dalam konteks ini ; Kamu (sudah) mengerti (keadaan)ku.
5. Ratatouille: Makanan khas Perancis semacam semur yang terdiri dari berbagai macam sayuran dan biasanya dimakan dengan nasi, kentang atau roti Perancis. Juga merupakan judul film petualangan seekor tikus yang dirilis tahun 2007.
6. Trop bête: Terlalu bodoh
7. Tu es trop gâté: Kamu terlalu manja
8. Merci: Terima kasih
9. Le printemps: Musim semi; hadir setelah musim dingin.

Senin, 11 April 2011

Tous

Si je vous connaissais..
Si je vous connaissais plus profond..
je voudrais vous connaitre..
je voudrais vous comprendre..
je voudrais comprendre tous ceux que vous avons..
Je voudrais tout comprendre sur vous..
pour que je vous aime mieux..
je voudrais vous aimer de plus en plus..


andai aku mengenalmu..
andai aku lebih mengenalmu..
inginku mengenalmu..
inginku mengertimu..
inginku berada di sisimu..
biar aku di sisimu..
membuka tabirmu..
mengerti sejatinya dirimu..
'tuk perdalam cintaku..
ingin kucintai segala tentangmu..
inginku lebih dan lebih mencintaimu..
dan bersamamu..
ingin kujalani hidupku yang hanya satu..