"Kata Bagai Udara Yang Tak Pernah Habis... Bagai Bintang Yang Mampu Menyeberangi Dimensi Secara Dinamis..."

Sabtu, 23 Januari 2010

Merah Itu Pudar


Jantungku berdetak keras. Keringat dingin tak henti-hentinya mengucur dari pori kulitku. Sambil bersedekap aku menggigit bibirku. Kecemasan benar-benar melandaku saat ini.
      “Dik, tenang saja. Tak perlu sampai gemetaran begitu.” suamiku berkata sambil mendekap bahuku. Menenangkanku. Namun rasanya percuma, gemetaranku tak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti.
        “Tapi Mas….”
        “Tapi apa?” tanyanya lembut.
     “Mas ‘kan sudah tahu kalau aku takut ke dokter. Takut disuntik. Sekarang malah dibawa ke dokter.” kataku sambil cemberut.
       Suamiku malah tersenyum. Pembawaan Mas Rama memang begitu. Tenang dalam segala situasi. Sifatnya itu memang kadang bisa membuat orang yang grogi menjadi lebih tenang. Kesabarannya itu juga yang membuatnya selalu bisa menangani sifat manjaku yang tidak bisa hilang. Apalagi pada phobia ‘dokter dan suntikan’ku ini. Dia seakan menjadi orang paling sabar di dunia. Padahal dulu orang tuaku sering kewalahan menghadapiku saat hendak membawaku ke dokter. Pernah aku sampai nekat memanjat pohon mangga depan rumah supaya tidak dibawa ke dokter, padahal saat itu aku sedang demam. Orang tuaku semakin khawatir saat kulakukan hal itu. Hhh… entah mengapa sampai sekarang ketakutanku ini tak bisa hilang.
      “Ini ‘kan demi kebaikan kamu juga, Dik. Juga demi calon anak kita yang ada dalam rahimmu.” sambil mengelus perutku yang sudah terisi selama tiga bulan, dia terus mencoba meyakinkan dan menenangkanku.
     “Tapi Mas, aku ‘kan cuma demam. Minum obat nanti juga sembuh sendiri.” aku tak mau kalah berargumen.
    “Kalau cuma sehari-dua hari, aku juga tidak akan membawamu ke sini. Kamu sendiri yang merasakan kalau kamu sudah demam lebih dari 3 hari. Apalagi aku melihat demammu tak juga turun. Lihat, kamu juga terlihat pucat, kalau begini ‘kan aku tidak bisa menikmati keindahan wajahmu seperti biasanya.”
      Wajahku kurasakan terasa agak hangat. Mungkin bersemu. Entah seberapa merahnya. Mas Raka bisa-bisanya merayuku di saat begini. Apalagi ada beberapa pasien lain yang berada di ruang tunggu ini. Tapi harus aku akui bahwa apa yang telah dikatakan Mas Raka itu memang benar. Kondisiku memang bisa dibilang melemah akibat demam yang menderaku. Tapi bisa juga ini merupakan kekhawatiran berlebihan dari Mas Rama. Dia memang sangat mudah khawatir - meskipun tidak terlihat secara eksplisit - sejak tahu aku sedang mendua.
       “Tapi Mas….”
       “Tapi apa lagi? Sepertinya kamu senang sekali dengan kata ‘tapi’ ya? Kenapa sih, Dik?”
Tanganku bergulat. Kuangkat wajahku yang tadinya menunduk.
     “Nggak disuntik ‘kan, Mas? Cuma tensi, diperiksa, terus dikasih obat ‘kan? Gitu aja ‘kan?” tanyaku lirih.
        “Ya disuntik dong.” jawabnya cuek.
        “APA?? DISUNTIK??” jeritku spontan.
     “Ssst… jangan teriak-teriak di sini.” katanya memperingatkanku. Aku pun segera menyadari kesalahanku saat melihat pandangan orang-orang di sekitar kami tertuju ke arah kami. Setelah meminta maaf, dengan setengah berbisik aku protes kepada Mas Rama.
       “Kok pake disuntik sih, Mas?”
      “’Kan sama cek darah. Ngambil sampel darah. Cuma ngecek aja kok. Untuk memastikan kamu baik-baik saja. Juga buat jaga-jaga.”
       “Tapi Mas….” belum selesai kalimat memelasku tiba-tiba….
      “Bu Sinta. Giliran Anda, Bu.” panggilan asisten dokter itu benar-benar membuat jantungku mau copot. Keringat dingin kembali mengucur. Aku bingung. Aku tetap diam di tempat, tak tahu apa yang harus aku lakukan.
       “Bu Sinta, silakan masuk, Bu.”
Kutolehkan wajahku pada Mas Rama sambil menggigit bibirku(lagi). Dia hanya mengangguk. Kupasang lagi wajah memelas. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
        “Bu….”
       “Sudah. Ayo masuk.” ajakan Mas Rama akhirnya memaksaku melangkahkan kakiku memasuki ruangan serba putih itu.

#^@^#

       Beberapa hari kemudian aku diajak lagi oleh Mas Rama ke tempat Dokter Wulan untuk mengambil hasil cek darahku. Hasil pemeriksaan secara umum tidak ada yang perlu dikhawatirkan, mungkin hanya karena kecapaian dan terlalu banyak pikiran. Itu yang dikatakan Dokter Wulan. Namun karena Mas Rama juga meminta untuk dilakukan pengecekan darah, maka hasil laboratorium harus ditunggu beberapa hari setelahnya. Dokter Wulan sepertinya memahami keinginan Mas Rama yang ingin memastikan bahwa aku dalam keadaan yang sehat, apalagi mengingat keadaanku sekarang yang sedang berbadan dua. Kondisi harus benar-benar dijaga.
        Awalnya aku menolak ajakan itu, namun karena Mas Rama menegaskan tidak ada lagi acara suntik-suntikan kepadaku, akhirnya aku menurut juga. Apalagi dia berjanji akan mengajakku ke restoran favorit kami sepulang dari tempat Dokter Wulan. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak ajakannya. Keadaanku juga sudah membaik. Jadi, tak ada yang perlu aku khawatirkan lagi. Setengah jam kemudian Honda Jazz kami sampai di tujuan. Tanpa buang waktu lagi kami masuk ke dalam. Kebetulan pula tidak ada pasien lain yang berada di ruang tunggu. Asisten Dokter Wulan pun mempersilakan kami masuk.
        “Sore, Dokter.”
       “Sore, Pak Rama, Bu Sinta. Silakan duduk.” sambil tersenyum dokter cantik itu mempersilakan kami duduk. Namun entah mengapa aku merasa senyuman Dokter Wulan tidak seperti biasanya. Terasa hambar. Namun mungkin itu hanya perasaanku saja.
       “Bagaimana Dokter, hasil cek darah istri saya? Semuanya baik-baik saja ‘kan?” Mas Rama mulai membuka percakapan.
Tak seperti yang diharapkan Mas Rama, dan juga aku tentunya, Dokter Wulan hanya membisu. Gelagatnya seperti orang kebingungan, heran, mungkin juga tidak percaya. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
         “Dokter? Ada apa, Dok? Ada yang salah atau…ada masalah?”
Dokter Wulan masih diam seperti tadi. Aku mulai cemas. Namun dalam hati aku berharap semoga ini hanya salah satu trik Dokter Wulan untuk mengagetkan kami. Dia mulai menghela napas panjang dan mulai bicara.
        “Itulah, Pak, Bu, yang ingin saya bicarakan.”
        “Apa, Dokter?” kami bertanya bersamaan.
        “Hasil pengecekan darah Bu Sinta. Sepertinya….”
        Kalimat menggantung seperti itu yang tak kusukai.
        “Ada apa dengan hasilnya Dokter?” tanyaku tak sabar.
       Sekali lagi dia menghela napas panjang, seolah terlalu berat baginya untuk mengatakan apa yang akan dikatakannya kepada kami sekarang.
       “Saya harap Bapak dan Ibu bisa tabah menghadapi cobaan ini…”
Suasana menegang, seakan sulit untuk menghirup udara barang sekali pun.
        “Menurut hasil pengecekan lab, Bu Sinta positif mengidap HIV/AIDS….”
Bagai meteor yang menghantam bumi, hatiku remuk redam mendengar hal itu. Seketika air mataku meleleh begitu saja. Aku tak bisa mempercayainya. Aku benar-benar tak percaya, bagaimana bisa hal itu terjadi.
       “Ba…bagaimana….”
      “Nah, hal itu juga yang membuat saya heran, Bu. Saya juga hampir tidak bisa mempercayai ini, karena saya tahu Ibu dengan cukup baik, dan pergaulan Anda juga tidak menyimpang. Jadi rasanya mustahil Anda bisa….”
        “Dokter, apa tidak ada yang salah dengan pengecekan lab itu, Dok?”
       “Kemungkinannya sangat kecil dan bahkan hampir tidak mungkin, Pak. Hari itu, hanya sampel darah Bu Sinta saja yang dicek di lab, jadi….”
        Jawaban itu makin membuatku terpuruk. Air mata benar-benar membasahi pipiku. Aku tergugu. Pilu. Tak percaya akan nasib yang sedang menimpaku.
       “Karena itu….” Dokter Wulan melanjutkan. “Untuk mengetahui kepastian penyebab tertularnya Bu Sinta, maka dengan berat hati saya…. meminta Pak Rama untuk melakukan pengecekan darah juga….”
        “Apa Dok?” Mas Rama terbelalak tak percaya. Begitu pula aku.
      “Saya bukannya su’udzon, Pak, Bu. Hanya untuk memastikan. Anda mungkin sudah mengerti alasan saya selanjutnya. Mari, silakan berbaring di sini, Pak.”
Masih dengan tatapan tak percaya, Mas Rama beranjak dari tempat duduk. Langkahnya tak setegas biasanya. Entah hanya perasaanku atau bukan, tadi kulihat tangan Mas Rama gemetaran saat memegang kursi dan meja untuk beranjak. Aku semakin bingung dengan apa yang terjadi saat ini. Kekalutan benar-benar membalutku. Semua seolah berputar dengan cepat dan tidak jelas. Aku positif mengidap HIV/AIDS. Entah dari mana hal itu bisa terjadi. Kini Mas Rama juga diminta untuk melakukan pengecekan darah. Untuk memastikan penyebabnya. Semua itu berkecamuk dalam pikiranku. Akal sehatku kali ini sulit sekali untuk berjalan. Aku benar-benar bingung.
       Pengambilan sampel darah telah dilakukan. Setelah diberi tahu Dokter Wulan bahwa hasilnya akan keluar dalam beberapa hari, kami beranjak pulang. Membawa kebingungan, ketidakpercayaan dan semuanya, seluruhnya, dalam pikiran masing-masing. Kebisuan melanda perjalanan pulang kami. Tidak ada yang memulai pembicaraan untuk mencairkan kekakuan di antara kami saat itu. Hening. Tidak ada lagi keinginan untuk pergi ke restoran favorit kami. Percuma. Tak akan memperbaiki suasana.

#^@^#

      Kebisuan itu terus berlanjut sampai di rumah. Bahkan hari-hari berikutnya. Tidak ada lagi kehangatan, kemesraan dan kasih sayang selayaknya sepasang suami istri. Aku tahu Mas Rama pun tertekan dengan keadaannya sekarang. Memiliki istri yang divonis mengidap penyakit seperti itu dan juga pernyataan Dokter Wulan saat memintanya menjalani cek darah juga. Aku tahu dia sangat tertekan. Sama seperti aku saat ini. Namun aku tetap merindukan saat-saat indah bersamanya, ditambah lagi dengan keadaanku sekarang. Seharusnya aku menjalani kehidupan dengan penuh ketenangan, kehangatan, perhatian dan semua yang dibutuhkan oleh seorang istri, ataupun sebaliknya. Tiada. Semua menguap begitu saja. Sampai saatnya hari itu tiba. Senja itu. Ajakan Mas Rama.
        “Kita berangkat sekarang.” hanya ajakan singkat dengan balasan sebuah anggukan lemah. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang membuka suara, meskipun hanya sepatah kata dalam perjalanan kami.

#^@^#

         “Maafkan saya, Pak. Anda juga positif.”
Apa yang dikatakan Dokter Wulan benar-benar membuatku tak habis pikir. Mas Rama sendiri saat ini hanya bisa menundukkan kepalanya. Menumpukan pada genggaman tangannya di meja. Dia kini menjadi seseorang yang berbeda, sangat berbeda daripada sebelumnya. Seolah, dia bukan Mas Rama. Seorang Mas Rama? Seseorang yang kukenal sangat baik dalam kehidupan, dari kalangan yang baik pula, yang selama ini bisa mengimamiku dengan baik, yang selalu menenangkan hatiku, terinfeksi HIV/AIDS? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada sesuatu yang tak kuketahui kah? Ada yang disembunyikannya dariku?
       “Saya harap Bapak dan Ibu bisa tabah menghadapi cobaan ini. Saya tahu, saya tidak punya wewenang dan bahkan tidak berhak mengorek informasi apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu atau apapun itu dari Anda. Itu adalah privasi Anda. Namun, saya berjanji saya akan berusaha membantu Anda sekuat tenaga saya….”
       Masa lalu? Apa yang terjadi pada Mas Rama di masa lalu? Apa yang sudah dilakukannya sehingga bisa terinfeksi dan bahkan kini menularkan kepadaku yang kini sedang mengandung anaknya? Mataku nanar menatapnya tak percaya. Emosiku menggelegak. Mengapa dia tidak pernah menceritakannya kepadaku? Keterbukaan yang selalu dia nasihatkan kepadaku atau kepada orang lain kini tidak dia lakukan! Dia seolah tak menganggapku sebagai seorang istri, seorang pendamping hidupnya, sampai dia tega menyembunyikan sesuatu dariku! Atau ada kebusukan yang dia pendam dariku?? Emosi benar-benar menguasaiku. Kepercayaanku padanya meluntur.
Tanpa sanggup menahan jatuhnya air mata aku langsung beranjak pergi dengan penuh emosi sehingga kursi yang kududuki terjatuh dan mengagetkan dua orang lain yang berada di ruangan itu. Mas Rama yang tersentak kaget sepertinya mencoba mengejarku, namun kupercepat langkah. Aku pun tak tahu apa yang dirasakan oleh Dokter Wulan, mungkin kaget atau bagaimana, aku tak tahu -lebih tepatnya tidak peduli-. Keluar dari tempat praktik, aku langsung naik taksi yang kebetulan lewat di jalan itu. Kudengar suara Mas Rama memanggilku dari belakang, namun kuacuhkan. Tangisku tak bisa kubendung sepanjang perjalanan. Menangis dan menangis. Mencoba untuk meredakan emosi yang menaungi, namun gagal.
#^@^#

        Sesampainya di rumah, kubuka pintu dengan kasar dan kulempar tas tanganku ke sembarang arah. Kuhempaskan tubuhku di sofa dan menangis sejadi-jadinya di situ. Air mata seolah tak sanggup mengering menghadapi apa yang telah terjadi. Tak berapa lama Mas Rama datang dengan tergesa.
         “Dik, kenapa kamu pergi begitu saja?”
         Sambil menahan gejolak dalam dada aku menjawab pertanyaan innocent-nya itu
        “Perlukah kujelaskan kenapa?” balik ku bertanya dengan ketus. Dia diam. Seolah mengerti apa kesalahan yang telah dia perbuat.
        “Aku mohon maafkan aku, Dik….” ujarnya lemah. Matanya mulai berkaca-kaca.
       “Maaf? Apa gunanya maaf sekarang, Mas? Apa maaf bisa menyembuhkan virus ini dari tubuhku dan tubuhmu serta melindungi janin dalam rahimku ini, Mas? Bisakah? Jawab, Mas! Jawab!” teriakanku diiringi air mata yang tak hentinya meleleh.
       “Memang aku yang salah….”
      “Ya! Kau salah! Karena salahmulah semua ini terjadi…. Apa, Mas? Apa yang telah kau lakukan sehingga kau….” tak sanggup kulanjutkan kataku. Lidahku kelu. Hatiku hancur.
     “Maafkan aku, Dik….Ampuni aku….ini memang dosaku….” dia mulai meneteskan air mata. Menangis. “Dulu aku bukanlah orang yang kau kenal sekarang, Dik. Aku… aku hanyalah orang nista… hanyalah orang yang bergelimang dengan dosa besar… aku….aku….” dia berhenti. Menangis. Tergugu dia. “Aku…. Sungguh maafkan dan ampuni aku, Dik… aku…dulu… peminum dan….”
        Astaghfirullah! Hatiku menjerit. Tidak! Jangan-jangan….
        “Aku juga sering….”
       Oh, tidak! Jangan katakan kau……
  “Berhubungan dengan teman-teman perempuanku bahkan dengan…dengan wanita….tuna…susila….”
“APA??!!!” aku terbelalak. Hatiku mencelos. Godam kenyataan kembali meremukkan hatiku. Hancur berkeping-keping. Perih kurasakan di dada. Sakitnya tak terperi. Tangisnya menjadi. Dia sujud. Menangis. Tergugu pilu. Memeluk kakiku.
“Maafkan aku, Dik…. Ampuni aku….ampuni aku… aku mohon, Dik…. Sekarang aku sudah bertaubat….aku bukan orang seperti itu lagi… aku mohon….”
“Aku benar-benar tak habis pikir, Mas…Kau dulu seperti itu… Tak tahukah kau betapa aku menjaga baik-baik kehormatan demi suamiku…? Kau malah seenaknya mengobral kepada orang yang bukan hakmu! Dan tidak hanya sekali! Tak kusangka. Sebobrok itu dirimu. Dan parahnya, kau tak pernah menceritakan padaku sebelumnya! Kau anggap aku ini apa, Mas? Aku bukan patung!”
Dia tetap tergugu di kakiku. Dengan napas tersengal kulanjutkan kalimatku.
“Kalau sejak awal kau menceritakan padaku, mungkin sakit yang kurasakan tidak akan seperih ini Mas. Aku pasti bisa lebih mencoba mengerti daripada sekarang, setelah 3 tahun kebersamaan kita, terlalu berat dan sakit… Aku ini istrimu, Mas… Istrimu… Kau tahu? Hatiku kini perih. Hancur lebur. Kau telah membohongiku. Tiga tahun, Mas! Kau tahu berapa lama itu?! Tiga tahun kau sembunyikan hal itu padaku! Kau benar-benar tega, Mas…tega…Kau telah mengkhianati kepercayaanku selama ini, Mas…”
“Maafkan aku, Dik… aku takut menceritakannya padamu… aku takut… kau akan…akan…tapi aku sudah berniat akan menceritakan padamu bila tiba waktunya dan aku sudah siap, Dik…”
“Kalau tiba waktunya? Kapan, Mas? Sekarang?? Kau bahkan melewatkan waktu lebih dari 3 tahun sejak kita bersama! Sekarangkah waktu yang kau anggap tepat untuk menceritakannya padaku? Saat aku sudah terlanjur tertular? Saat aku mengandung anakmu? Astaghfirullah… kau tega, Mas…. Kau bahkan tak berniat untuk mengecek dirimu dahulu apakah kau bersih atau tidak sebelum berhubungan denganku…kau …kau…”
“Itu memang kelalaianku, Dik… maafkan aku… kukira…”
“Hanya dengan maaf tak akan mengobati penyakit ini, Mas. Bahkan anak yang kutunggu selama 3 tahun, yang baru kali ini kudapatkan, anugerah-Nya yang selalu kunantikan, kini tega kau tulari dengan virus bawaanmu… habis sudah… kepercayaanku padamu telah habis, Mas… Aku menyesal telah….”
Dia tiba-tiba bangkit dan memelukku erat. Aku berusaha lepas dari pelukannya.
“Lepaskan! Jangan sentuh aku lagi!” jeritku. Namun dia malah mempererat pelukannya. Sambil berderai air mata dia berkata.
“Kau tak akan kulepaskan, Dik. Kau adalah orang yang sangat aku cintai. Tulus dari dalam hatiku. Aku tak ingin kehilanganmu. Katakan saja bila kau menyesal telah menikah denganku, tak apa, tapi… aku akan selalu menyayangi dan mencintai dirimu sampai kapanpun, bagaimanapun keadaanmu sekarang karena kau anugerah terindah-Nya bagiku. Kita lewati bahagia dan sedih bersama. Kita berjuang bersama. Kau pasti juga tahu bahwa ada seorang anak yang bebas dari virus itu meskipun orang tuanya mengidap penyakit itu, kau tahu, ‘kan? Kita berdo’a pada-Nya semoga dia tidak tertular. Kita jalani hidup kita seperti sedia kala. Bersama-sama, Dik…bersama…selamanya… Aku tahu aku bukan manusia yang sempurna, tapi aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik bagimu, dan bagi anak kita…”
     Dengan berurai air mata, emosiku perlahan turun mendengarkan penuturannya, kucoba menggunakan akal sehatku, aku mencoba untuk mengerti dia. Namun aku tak kuasa.
          “Maaf, Mas… terlalu sulit buatku.”
        “Apa?” serak suaranya berkata lirih, memastikan bahwa apa yang didengarnya adalah benar. Dia mulai melonggarkan pelukannya dan menatapku tak percaya.
       “Terlalu sulit untukku menerima dirimu lagi, Mas. Nama kita memang Rama dan Sinta, aku berharap bisa seperti kisah cinta mereka. Tapi sepertinya tidak bisa. Sendiri lebih baik untukku dan anak ini… karena…semua telah pudar….” kataku sambil tersenyum sedih. Karena jujur sebenarnya aku juga berat untuk melakukannya ini, tapi aku merasa tak mampu lagi untuk mempertahankan semua ini. Terlalu sulit. Aku pun beranjak, namun Mas Rama meraih tanganku, menahanku.
          “Tak berhakkah aku mendapatkan maaf darimu? Apakah aku terlalu nista untukmu?”
Sambil melepaskan tangannya perlahan, aku berkata padanya.
        “Berhak, Mas. Aku sudah memaafkanmu. Maafkan aku juga tadi terlalu emosi dan berkata kasar padamu. Aku khilaf. Semoga Allah mengampuni kita semua. Namun, untuk kita bersama lagi, aku rasa tidak bisa, Mas…”
           Akupun beranjak dari tempatku berdiri dan mulai menaiki tangga.
      &nbrp; “Dik, jangan pergi dariku… aku tahu aku salah… katakan permintaanmu… aku akan berusaha mengabulkan… supaya kita bisa bersama lagi…”
          Aku berhenti. Sejenak kemudian aku membalikkan tubuhku. Aku kembali menatapnya dengan senyuman sedih. Dengan suara yang tercekat di tenggorokan, susah payah aku mengatakan…
“Permintaanku cuma satu, Mas. Relakan aku pergi. Kita tak mungkin bisa bersama lagi. Maaf… tapi…Ini… ini… yang terbaik untuk kita…”
          Dan air mataku tetap mengalir lembut meski coba kutahan.

#^@^#


Trawas, 23 Januari 2010